Berita: laporan utama Majalah
Milenium
Edisi: IX 2012
Penulis laporan utama:
M.Afwan Fathul Barry
Judul berita: Memetik
Identitas Jember
Sinopsis dan kritik
berita: Mohamad Ulil Albab
Sinopsis
UPM
Millenium STAIN Jember baru saja membagikan majalah edisi IX 2012 ke setiap Lembaga
Pers Mahasiswa di Jember. Majalah yang akan di-launching tanggal 29 Desember, 2012 ini bertema “Komodifikasi Batik
Jember”. UPM Milenium menyajikan
potensi identitas Jember yang kurang diperhatikan dan tidak banyak diketahui masyarakat.
Kota Jember yang terkenal sebagai penghasil tembakau, cerutu, suwar-suwir,
ternyata masyarakatnya juga memproduksi kain batik bermotif daun tembakau. Hal
tersebut ditulis oleh M. Afwan Fathul Barry dalam laporan utama Majalah
Milenium.
Masyarakat
pengrajin batik lokasinya berada di Jember
bagian utara yaitu di Kecamatan Sumberjambe, Desa Sumberpakem. Ada dua
pengusaha yang memproduksi kain batik. Unit dagang Bintang timur milik Marwadi
dan Pakem Sari milik H. Maskuri. Kedua unit dagang tersebut berada di Desa Susmberpakem.
`
Dalam
laporan utama, Afwan bersama kawan-kawan Millenium
bertemu dengan Marwadi di rumahnya. Pada awal pertemuan, Marwadi menceritakan
sekilas sejarah produksi batik di desanya. Tahun 1930 merupakan awal produksi
batik di Desa Sumberpakem, oleh Nenek Marwadi yang berasal dari Pekalongan,
Jawa Tengah. Keterampilan membatik diwariskan secara turun temurun, neneknya
mewariskan kepada orang tua Marwadi,
lalu kepada dirinya sendiri.
Pemasaran
produksi batik mulai dilakukan sejak keterampilan membatik ditekuni oleh orang
tua Marwadi sebelum tahun 1970. Persaingan dagang dengan pengusaha batik cap
membuat produksi batik orang tuanya kolaps dan sempat vakum selama lima tahun.
Usaha tersebut mulai berjalan lagi sekitar tahun 1999 setelah Marwadi
melanjutkan usaha milik orang tuanya. Ia memproduksi batik tulis, semi tulis
dan cap, dengan motif tembakau, bunga kakao, buah naga dan lain-lain.
Kawan-kawan
Millenium juga bertemu dengan pengusaha batik selain Marwadi. Keterampilan
membatik unit dagang Pakem Sari milik H. Maskuri juga hasil dari warisan. Tahun
1984, H. Maskuri baru mewarisinya. Produksi batik milik H. Maskuri tidak jauh
berbeda dengan produksi milik Marwadi. Hanya saja, H. Maskuri lebih fokus menggunakan
motif tembakau untuk produksi batiknya, karena Jember terkenal sebagai kota
penghasil tembakau.
Produksi
kain batik di Desa Sumberpakem ini telah membuka peluang lapangan pekerjaan
bagi warga desanya. Selain menjadi masyarakat yang hidup mandiri dengan
keterampilannya, produksi batik bermotif tembakau ini juga memperkuat potensi
identitas Jember sebagai penghasil tembakau.
Pemerintah
selama ini dirasa kurang memberikan perhatian terhadap unit dagang batik di
Desa Sumberpakem. Meski pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag)
serta Dinas Pariwisata Jember, sudah merasa sudah melakukan kerjanya dengan
baik terkait hubungan kemitraan dengan unit dagang batik.
Kritik
dan Saran
Saya
sadari, sejeli apa pun redaksi memverifikasi isi, diksi dan EYD sebuah naskah
berita, rasanya masih ada saja yang kurang. Entah itu kurang titik, koma, huruf
besar kecil, istilah asing yang harus dimiringkan, pemisahan dan penggabungan
kata setelah “di” dan lain sebagainya. Namun, saya mencoba mengurangi kesalahan
dalam naskah berita laporan utama Majalah Milenium
lewat penilaian kenyamanan membaca, korelasi antar kata dan kalimat serta
beberapa kesalahan EYD.
Poin Poin dan beberapa contoh kekurangan yang menurut saya
perlu kita diskusikan bersama antara lain:
1. Penulisan berita kurang fokus.
Dalam
teras berita, saya merasa tertarik untuk
terus membaca. Sebelum meneruskan membaca, saya sudah kagum karena kawan-kawan Milenium mau mengungkap hal yang tidak
banyak dikatahui masyarakat. Apalagi menyangkut potensi kearifan lokal Jember
yang perlu diperhatikan. Akan tetapi, masih ada pertanyaan mendasar yang belum
terjawab setelah selesai membaca berita.
Dalam
teras berita, ada kalimat “...kalau pun
tahu, akses mereka ke batik Jember sangat minim...” Saya pun mencari tahu
apa maksud dari diksi “minim” tersebut. Barangkali Afwan ingin menguatkan
betapa sulit akses ke Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe. Saat menarasikan
jauhnya tempat tujuan, dan minimnya informasi untuk menuju kesana di awal
penulisan berita. Atau barangkali karena tidak melakukan observasi terlebih
dahulu. Jadi pertama kali datang ke Desa Sumber pakem langsung liputan.
Afwan
mencoba menarasikan perjalanan menuju
tempat produksi batik di awal penulisan berita, bagi saya sangat tidak
mendukung saat Afwan mendeskripsikan
banyak terdapat gumuk, udara segar, jalanan mulus yang memanjakan. Jika
dikaitkan dengan sulitnya akses menuju kesana. Jika sudah demikian, banyak
paragraf yang harus dihapus.
Deskripsi
perjalanan dengan jalan mulus tersebut sangat berbanding terbalik dengan pembahasan
“akses yang sulit” di paragraf pertama dalam sub judul ‘melihat sisi lain’ “...Akses yang sulit dijangkau pembeli untuk
mendapat kain batik produksi unit dagang milik Haji Maskuri menjadi kendala
utama...” Saya memahami gagasan dalam paragraf tersebut bahwa, sulitnya
akses jalan atau informasi menjadi penyabab kendala utama pemasaran batik.
Namun, sulitnya akses tersebut tidak dijelaskan secara gamblang, padahal
menjadi kendala utama. Sulitnya akses jalan atau informasi?
Selain
itu, dalam paragraf tersebut, harapan apa saja dari pengusaha batik terhadap
pemerintah juga belum diungkap, hanya ada seputar keluhan dangkal tanpa tahu
harapannya. Apalagi tentang keluhan akses yang sulit dan menjadi kendala utama.
Jika ditanyakan apa yang menjadi harapannya, barangkali maksut dari akses “yang
sulit” tersebut dapat terjawab.
Bagi
saya ini yang penting jika ingin mengkritisi kinerja pemerintah terkait.
Tentunya terkait pemasaran dan produksi. Tidak menutup kemungkinan, kawan-kawan
Millenium bisa menemukan sisi
kemanusiaan dari cerita keluhan dan harapan narasumber.
2. Pembahasan masih dangkal,
barangkali tidak ada datanya.
Jika
melihat ada tujuh narasumber mulai dari pak lurah, dua pengusaha batik, seorang
pekerja, Pakar budaya, pihak Dinas Pariwisata dan Disperindag, perlu sebuah kejelian agar penulisan tidak
melebar dan menjadi dangkal . Seolah data yang sedikit ada hubungannya dengan
pembahasan tetap dimasukkan dalam penulisan berita. Selain itu, kurang
mengekspolor pembahasan lebih rinci. Jika data yang diperoleh sangat dangkal mending
tidak usah dilibatkan, tidak ditulis atau wawancara ulang
Seperti
paragraf dua dalam sub judul ‘Geliat Batik Jember’. Selain dua pengusaha
Marwadi dan Haji Maskuri, ternyata pernah ada unit dagang batik selain mereka.
Unit dagang Purnama milik Mustofa. “...Namun,
menurut Ridwan unit dagang itu sudah tidak lagi produksi...” Afwan tidak
menjelaskan, mengapa unit dagang tersebut tidak lagi produksi. Bagi saya itu
cukup penting untuk mengetahui penyebabnya, bisa jadi karena tidak mendapat
perhatian dari pemerintah atau kendala lain.
3. Penggunaan diksi yang kurang konsisten dan kurang lugas.
Dalam
penulisan berita, tentunya diharuskan menggunakan kalimat yang lugas. Dalam
artian tidak terdapat pengulangan diksi dan menuliskan gagasan yang ada
hubungannya dengan pembahasan. Saya menemukan banyak sekali kata “kami” dalam
mendeskripsikan atau menarasikan realitas dan peristiwa. Sebenarnya, kata kami
bisa diminimalisir dengan menuliskan saja apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan. Kata kami cukup dituliskan sekali atau dua kali untuk mewakili
keseluruhan. Bagaimana membuat pembaca sudah tahu, bahwa apa yang
dideskripsikan dan diceritakan setelahnya sudah melibatkan subjek.
Paragraf
delapan dalam sub judul ‘menuju
sumberpakem’, “ Mata kami menoleh, ke
arah kiri jalan. Mendadak kami berputar balik setelah beberapa meter kami
melewati penanda plang dari banner yang dicepit segi empat oleh bambu yang
terpaku di batang pohon asam“ Kalau boleh usul untuk membuat deskripsi,
karena di kalimat sebelumnya sudah menuliskan kata “kami”, jadi cukup itu.
Selanjutnya misalkan cukup seperti ini saja, “Saat mengendarai sepeda motor,
sempat terlewat beberapa meter dua buah banner dipasang di depan rumah dan
pohon asam bertuliskan bla bla...” Terlebih lagi, penulis tidak menyebutkan apa
yang tertulis dalam banner, untuk menguatkan identitas simbol tersebut.
Barangkali
standart minimal penulisan berita di Millenium
dalam setiap kalimat harus terdapat subjek, predikat dan objek. Akan
tetapi, media besar seperti Pantau
yang pernah menulis berita dengan penulisan jurnalisme sastrawi tidak harus
demikian. Gaya penulisannya seperti bertutur dan mudah difahami. Ada yang satu
kata setelah itu langsung titik juga tidak masalah, yang penting mudah
difahami.
Mendeskripsikan realitas dalam penulisan berita sebenarnya secukupnya
saja. Dalam artian menuliskan simbol simbol yang ada korelasinya dengan pembahasan.
Tidak semua detail dideskripsikan dan melebih-lebihkan kondisi yang sebenarnya.
Misalkan suara jangkrik untuk menguatkan heningnya malam, atau simbol-simbol
warna yang menjadi identitas. Saya menemukan hal aneh dalam paragraf dua dalam sub
judul ‘menuju sumber pakem’, “...sinar
matahari mulai menghangat. Kami harus cepat-cepat sampai di lokasi” mengapa
harus cepat-cepat ke lokasi? takut kulitnya menghitam atau apa?
Contoh
lain ada di paragraf pertama dalam sub judul ‘pemerintah bicara’. Terdapat
Kutipan narasumber yang kurang diperhatikan, “...dalam pelatihan Pekalongan, Bangkalan dan Madura...” Setahu
saya, Bangkalan salah satu kota di Madura, lalu mengapa harus dipisah dengan
“dan” yang menunjukan keduanya berbeda. Ada lagi, di paragraf ke tiga dalam sub judul ‘segurat sejarah’. “...Nenek Marwadi, seorang wanita dari
Pekalongan...”Bukankah seorang nenek sudah pasti perempuan? Lantas mengapa
harus dijelaskan bahwa nenek adalah seorang perempuan?
Dalam
Penulisan nama panggilan narasumber, saya menemukan beberapa yang tidak
konsisten. Kemudian, apa memang benar bahwa narasumber ditulis sesuai dengan nama
panggilannya. Haji Maskuri ada yang ditulis H. Maskuri, dan Maskuri saja. Lihat
dalam paragraf tujuh dalam sub judul ‘Menuju sumber pakem” untuk penulisan H.
Maskuri. Kemudian paragraf enam dalam sub judul ‘melirik omzet batik Jember’
untuk penulisan Maskuri saja.
4. Foto kurang mendukung isi berita.
Terkait
visualisasi media, saat pertama melihat cover Majalah Millenium, saya senang
karena berwarna. Tapi ternyata dalam isi tidak semuanya berwarna, hanya
beberapa saja seperti Iklan Layanan Masyarakat (ILM).
Bagi saya, akan lebih penting jika pewarnaan
diberikan untuk foto dari pada karikatur. Apalagi liputan tentang batik, yang
memiliki ciri warna tersendiri dibanding produk luar daerah. Ini akan
menguatkan berita jika memang pewarnaan produksi batik di Jember lebih mencolok
karena sesuai dengan kultur masyarakat madura di Jember. Berbeda dengan batik
keratonan seperti di Jogja yang warnanya lebih kalem.
5. Isi berita
Dalam
penulisan laporan utama, kawan-kawan Millenium
sama sekali tidak menuliskan sisi negatif dari industri rumahan tersebut.
Barangkali bisa ditulis menjadi tulisan baru. Misalkan, Tentang kesejahteraan
pekerja, berapa upahnya, bagaimana perbedaan pekerja tetap dengan yang tidak.
Apa memang benar mereka sudah tercukupi, jika pekerjaan tersebut sangat menjadi
kebutuhan. Jujur saja, saya lebih tertarik menulis tentang orang-orang kecil.
Apabila
hanya mengungkap dari sudut pandang positif terkesan hanya promosi dan tidak
jauh berbeda dengan iklan. Bisa saja penggunaan pewarna batik tidak ramah
lingkungan, karena menggunakan bahan kimia dan masyarakatnya tidak menyadari
hal tersebut.
Selain
itu, Proses pembuatan batik tidak
dijelaskan. Barangkali bisa diceritakan produksi kain batik mulai awal sampai
jadi. Hal ini bisa menjadi motivasi bagi pembaca untuk ingin belajar.
Kemudian
terkait potensi identitas, mengapa Jember terkenal dengan tembakau. Sampai
produksi batik menggunakan simbol tembakau untuk menunjukan bahwa produk
tersebut khas Jember. Barangkali hal tersebut bisa diceritakan dari aspek
sejarah misalnya, agar bisa menjadi nilai pengetahuan tersendiri.
Catatan:
Masih banyak hal yang perlu kita diskusikan bersama
terkait penulisan dan isi. Selain kita juga masih sama-sama belajar mengkritisi
dan terbuka. Agar bisa menulis lebih baik lagi. Bagi saya, sebuah penilaian
teks yang enak dibaca, tidak terlepas dengan unsur subjektifitas. Dari
keberagaman persepsi ini lah akan muncul proses dialog agar objek yang dikaji
lebih berkualitas. Terimakasih dan tetap menulis!
Jember, 1 Januari 2013
Jember, 1 Januari 2013
·
Tulisan ini pernah buat lomba sinopsis
di UPM Millenium STAIN Jember.
2 komentar:
cie yang dapet juara pertama sekaligus uang 700ribu gara2 tulisan ini :D
Hahaha, cuma gae arsip iki ben gak hilang.
Posting Komentar