Jumat, 12 April 2013

Sinopsis Berita



Berita: laporan utama Majalah Milenium
Edisi: IX 2012
Penulis laporan utama: M.Afwan Fathul Barry
Judul berita: Memetik Identitas Jember
Sinopsis dan kritik berita: Mohamad Ulil Albab

Sinopsis

UPM Millenium STAIN Jember baru saja membagikan majalah edisi IX 2012 ke setiap Lembaga Pers Mahasiswa di Jember. Majalah yang akan di-launching tanggal 29 Desember, 2012 ini bertema “Komodifikasi Batik Jember”. UPM Milenium menyajikan potensi identitas Jember yang kurang diperhatikan dan tidak banyak diketahui masyarakat. Kota Jember yang terkenal sebagai penghasil tembakau, cerutu, suwar-suwir, ternyata masyarakatnya juga memproduksi kain batik bermotif daun tembakau. Hal tersebut ditulis oleh M. Afwan Fathul Barry dalam laporan utama Majalah Milenium.

Masyarakat pengrajin batik  lokasinya berada di Jember bagian utara yaitu di Kecamatan Sumberjambe, Desa Sumberpakem. Ada dua pengusaha yang memproduksi kain batik. Unit dagang Bintang timur milik Marwadi dan Pakem Sari milik H. Maskuri. Kedua unit dagang tersebut berada di Desa Susmberpakem. `

Dalam laporan utama, Afwan bersama kawan-kawan Millenium bertemu dengan Marwadi di rumahnya. Pada awal pertemuan, Marwadi menceritakan sekilas sejarah produksi batik di desanya. Tahun 1930 merupakan awal produksi batik di Desa Sumberpakem, oleh Nenek Marwadi yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Keterampilan membatik diwariskan secara turun temurun, neneknya mewariskan  kepada orang tua Marwadi, lalu kepada dirinya sendiri.

Pemasaran produksi batik mulai dilakukan sejak keterampilan membatik ditekuni oleh orang tua Marwadi sebelum tahun 1970. Persaingan dagang dengan pengusaha batik cap membuat produksi batik orang tuanya kolaps dan sempat vakum selama lima tahun. Usaha tersebut mulai berjalan lagi sekitar tahun 1999 setelah Marwadi melanjutkan usaha milik orang tuanya. Ia memproduksi batik tulis, semi tulis dan cap, dengan motif tembakau, bunga kakao, buah naga dan lain-lain.

Kawan-kawan Millenium juga bertemu dengan  pengusaha batik selain Marwadi. Keterampilan membatik unit dagang Pakem Sari milik H. Maskuri juga hasil dari warisan. Tahun 1984, H. Maskuri baru mewarisinya. Produksi batik milik H. Maskuri tidak jauh berbeda dengan produksi milik Marwadi. Hanya saja, H. Maskuri lebih fokus menggunakan motif tembakau untuk produksi batiknya, karena Jember terkenal sebagai kota penghasil tembakau.

Produksi kain batik di Desa Sumberpakem ini telah membuka peluang lapangan pekerjaan bagi warga desanya. Selain menjadi masyarakat yang hidup mandiri dengan keterampilannya, produksi batik bermotif tembakau ini juga memperkuat potensi identitas Jember sebagai penghasil tembakau.

Pemerintah selama ini dirasa kurang memberikan perhatian terhadap unit dagang batik di Desa Sumberpakem. Meski pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) serta Dinas Pariwisata Jember, sudah merasa sudah melakukan kerjanya dengan baik terkait hubungan kemitraan dengan unit dagang batik.

Kritik dan Saran

Saya sadari, sejeli apa pun redaksi memverifikasi isi, diksi dan EYD sebuah naskah berita, rasanya masih ada saja yang kurang. Entah itu kurang titik, koma, huruf besar kecil, istilah asing yang harus dimiringkan, pemisahan dan penggabungan kata setelah “di” dan lain sebagainya. Namun, saya mencoba mengurangi kesalahan dalam naskah berita laporan utama Majalah Milenium lewat penilaian kenyamanan membaca, korelasi antar kata dan kalimat serta beberapa kesalahan EYD.
Poin Poin dan  beberapa contoh kekurangan yang menurut saya perlu kita diskusikan bersama antara lain:

1.      Penulisan berita kurang fokus.
Dalam teras  berita, saya merasa tertarik untuk terus membaca. Sebelum meneruskan membaca, saya sudah kagum karena kawan-kawan Milenium mau mengungkap hal yang tidak banyak dikatahui masyarakat. Apalagi menyangkut potensi kearifan lokal Jember yang perlu diperhatikan. Akan tetapi, masih ada pertanyaan mendasar yang belum terjawab setelah selesai membaca berita.

Dalam teras berita, ada kalimat “...kalau pun tahu, akses mereka ke batik Jember sangat minim...” Saya pun mencari tahu apa maksud dari diksi “minim” tersebut. Barangkali Afwan ingin menguatkan betapa sulit akses ke Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe. Saat menarasikan jauhnya tempat tujuan, dan minimnya informasi untuk menuju kesana di awal penulisan berita. Atau barangkali karena tidak melakukan observasi terlebih dahulu. Jadi pertama kali datang ke Desa Sumber pakem langsung liputan.

Afwan mencoba menarasikan perjalanan  menuju tempat produksi batik di awal penulisan berita, bagi saya sangat tidak mendukung saat Afwan  mendeskripsikan banyak terdapat gumuk, udara segar, jalanan mulus yang memanjakan. Jika dikaitkan dengan sulitnya akses menuju kesana. Jika sudah demikian, banyak paragraf yang harus dihapus.

Deskripsi perjalanan dengan jalan mulus tersebut sangat berbanding terbalik dengan pembahasan “akses yang sulit” di paragraf pertama dalam sub judul ‘melihat sisi lain’ “...Akses yang sulit dijangkau pembeli untuk mendapat kain batik produksi unit dagang milik Haji Maskuri menjadi kendala utama...” Saya memahami gagasan dalam paragraf tersebut bahwa, sulitnya akses jalan atau informasi menjadi penyabab kendala utama pemasaran batik. Namun, sulitnya akses tersebut tidak dijelaskan secara gamblang, padahal menjadi kendala utama. Sulitnya akses jalan atau informasi?

Selain itu, dalam paragraf tersebut, harapan apa saja dari pengusaha batik terhadap pemerintah juga belum diungkap, hanya ada seputar keluhan dangkal tanpa tahu harapannya. Apalagi tentang keluhan akses yang sulit dan menjadi kendala utama. Jika ditanyakan apa yang menjadi harapannya, barangkali maksut dari akses “yang sulit” tersebut dapat terjawab.

Bagi saya ini yang penting jika ingin mengkritisi kinerja pemerintah terkait. Tentunya terkait pemasaran dan produksi. Tidak menutup kemungkinan, kawan-kawan Millenium bisa menemukan sisi kemanusiaan dari cerita keluhan dan harapan narasumber.   
  
2.      Pembahasan masih dangkal, barangkali tidak  ada datanya.

Jika melihat ada tujuh narasumber mulai dari pak lurah, dua pengusaha batik, seorang pekerja, Pakar budaya, pihak Dinas Pariwisata dan Disperindag,  perlu sebuah kejelian agar penulisan tidak melebar dan menjadi dangkal . Seolah data yang sedikit ada hubungannya dengan pembahasan tetap dimasukkan dalam penulisan berita. Selain itu, kurang mengekspolor pembahasan lebih rinci. Jika data yang diperoleh sangat dangkal mending tidak usah dilibatkan, tidak ditulis atau wawancara ulang

Seperti paragraf dua dalam sub judul ‘Geliat Batik Jember’. Selain dua pengusaha Marwadi dan Haji Maskuri, ternyata pernah ada unit dagang batik selain mereka. Unit dagang Purnama milik Mustofa. “...Namun, menurut Ridwan unit dagang itu sudah tidak lagi produksi...” Afwan tidak menjelaskan, mengapa unit dagang tersebut tidak lagi produksi. Bagi saya itu cukup penting untuk mengetahui penyebabnya, bisa jadi karena tidak mendapat perhatian dari pemerintah atau kendala lain.

3.     Penggunaan diksi yang kurang konsisten dan kurang lugas. 

Dalam penulisan berita, tentunya diharuskan menggunakan kalimat yang lugas. Dalam artian tidak terdapat pengulangan diksi dan menuliskan gagasan yang ada hubungannya dengan pembahasan. Saya menemukan banyak sekali kata “kami” dalam mendeskripsikan atau menarasikan realitas dan peristiwa. Sebenarnya, kata kami bisa diminimalisir dengan menuliskan saja apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Kata kami cukup dituliskan sekali atau dua kali untuk mewakili keseluruhan. Bagaimana membuat pembaca sudah tahu, bahwa apa yang dideskripsikan dan diceritakan setelahnya sudah melibatkan subjek.

 Paragraf  delapan  dalam sub judul ‘menuju sumberpakem’, “ Mata kami menoleh, ke arah kiri jalan. Mendadak kami berputar balik setelah beberapa meter kami melewati penanda plang dari banner yang dicepit segi empat oleh bambu yang terpaku di batang pohon asam“ Kalau boleh usul untuk membuat deskripsi, karena di kalimat sebelumnya sudah menuliskan kata “kami”, jadi cukup itu. Selanjutnya misalkan cukup seperti ini saja, “Saat mengendarai sepeda motor, sempat terlewat beberapa meter dua buah banner dipasang di depan rumah dan pohon asam bertuliskan bla bla...” Terlebih lagi, penulis tidak menyebutkan apa yang tertulis dalam banner, untuk menguatkan identitas simbol tersebut.

Barangkali standart minimal penulisan berita di Millenium dalam setiap kalimat harus terdapat subjek, predikat dan objek. Akan tetapi, media besar seperti Pantau yang pernah menulis berita dengan penulisan jurnalisme sastrawi tidak harus demikian. Gaya penulisannya seperti bertutur dan mudah difahami. Ada yang satu kata setelah itu langsung titik juga tidak masalah, yang penting mudah difahami.

Mendeskripsikan  realitas dalam penulisan berita sebenarnya secukupnya saja. Dalam artian menuliskan simbol simbol yang ada korelasinya dengan pembahasan. Tidak semua detail dideskripsikan dan melebih-lebihkan kondisi yang sebenarnya. Misalkan suara jangkrik untuk menguatkan heningnya malam, atau simbol-simbol warna yang menjadi identitas. Saya menemukan hal aneh dalam paragraf dua dalam sub judul ‘menuju sumber pakem’, “...sinar matahari mulai menghangat. Kami harus cepat-cepat sampai di lokasi” mengapa harus cepat-cepat ke lokasi? takut kulitnya menghitam atau apa?

Contoh lain ada di paragraf pertama dalam sub judul ‘pemerintah bicara’. Terdapat Kutipan narasumber yang kurang diperhatikan, “...dalam pelatihan Pekalongan, Bangkalan dan Madura...” Setahu saya, Bangkalan salah satu kota di Madura, lalu mengapa harus dipisah dengan “dan” yang menunjukan keduanya berbeda. Ada lagi, di paragraf  ke tiga dalam sub judul ‘segurat sejarah’. “...Nenek Marwadi, seorang wanita dari Pekalongan...”Bukankah seorang nenek sudah pasti perempuan? Lantas mengapa harus dijelaskan bahwa nenek adalah seorang perempuan?

Dalam Penulisan nama panggilan narasumber, saya menemukan beberapa yang tidak konsisten. Kemudian, apa memang benar bahwa narasumber ditulis sesuai dengan nama panggilannya. Haji Maskuri ada yang ditulis H. Maskuri, dan Maskuri saja. Lihat dalam paragraf tujuh dalam sub judul ‘Menuju sumber pakem” untuk penulisan H. Maskuri. Kemudian paragraf enam dalam sub judul ‘melirik omzet batik Jember’ untuk penulisan Maskuri saja.

4.      Foto kurang mendukung isi berita.

Terkait visualisasi media, saat pertama melihat cover Majalah Millenium, saya senang karena berwarna. Tapi ternyata dalam isi tidak semuanya berwarna, hanya beberapa saja seperti Iklan Layanan Masyarakat (ILM).

 Bagi saya, akan lebih penting jika pewarnaan diberikan untuk foto dari pada karikatur. Apalagi liputan tentang batik, yang memiliki ciri warna tersendiri dibanding produk luar daerah. Ini akan menguatkan berita jika memang pewarnaan produksi batik di Jember lebih mencolok karena sesuai dengan kultur masyarakat madura di Jember. Berbeda dengan batik keratonan seperti di Jogja yang warnanya lebih kalem.
5.      Isi berita

Dalam penulisan laporan utama, kawan-kawan Millenium sama sekali tidak menuliskan sisi negatif dari industri rumahan tersebut. Barangkali bisa ditulis menjadi tulisan baru. Misalkan, Tentang kesejahteraan pekerja, berapa upahnya, bagaimana perbedaan pekerja tetap dengan yang tidak. Apa memang benar mereka sudah tercukupi, jika pekerjaan tersebut sangat menjadi kebutuhan. Jujur saja, saya lebih tertarik menulis tentang orang-orang kecil.

Apabila hanya mengungkap dari sudut pandang positif terkesan hanya promosi dan tidak jauh berbeda dengan iklan. Bisa saja penggunaan pewarna batik tidak ramah lingkungan, karena menggunakan bahan kimia dan masyarakatnya tidak menyadari hal tersebut.

Selain itu,  Proses pembuatan batik tidak dijelaskan. Barangkali bisa diceritakan produksi kain batik mulai awal sampai jadi. Hal ini bisa menjadi motivasi bagi pembaca untuk ingin belajar.

Kemudian terkait potensi identitas, mengapa Jember terkenal dengan tembakau. Sampai produksi batik menggunakan simbol tembakau untuk menunjukan bahwa produk tersebut khas Jember. Barangkali hal tersebut bisa diceritakan dari aspek sejarah misalnya, agar bisa menjadi nilai pengetahuan tersendiri.

Catatan:
 Masih banyak hal yang perlu kita diskusikan bersama terkait penulisan dan isi. Selain kita juga masih sama-sama belajar mengkritisi dan terbuka. Agar bisa menulis lebih baik lagi. Bagi saya, sebuah penilaian teks yang enak dibaca, tidak terlepas dengan unsur subjektifitas. Dari keberagaman persepsi ini lah akan muncul proses dialog agar objek yang dikaji lebih berkualitas. Terimakasih dan tetap menulis! 

Jember, 1 Januari 2013

·         Tulisan ini pernah buat lomba sinopsis di UPM Millenium STAIN Jember.

2 komentar:

Dieqy Hasbi Widhana mengatakan...

cie yang dapet juara pertama sekaligus uang 700ribu gara2 tulisan ini :D

Mohamad Ulil Albab mengatakan...

Hahaha, cuma gae arsip iki ben gak hilang.