Sabtu, 13 September 2014

Jalan Hidup Perempuan Sebatang Kara


Mbah Mi, sedang duduk santai di lincak (dok. pribadi)


Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, itu bunyi perjanjian negara dengan rakyat Indonesia. Seberapa jauh peraturan tersebut berlaku ?

Siang itu, saya bertemu Mbah Mi, perempuan berusia 80an tahun. Saya mengenal Mbah Mi sejak kecil. Entah kenapa waktu itu saya jadi penasaran, darimana asal Mbah Mi sebenarnya. Sebelum ia hidup sebatang kara seperti saat ini.

Mbah Mi tinggal di belakang rumah saya, terpisah dengan tegal sekitar dua ratus meter. Tetangga sebelah kanan rumahnya juga jauh, kira-kira jaraknya sama antara rumah saya dengan Mbah Mi. Hanya dua rumah tetangga itu yang bisa terlihat dari kediaman Mbah Mi. Ia memang tinggal sendiri, di tengah tegalan, agak jauh dari keriuhan jalan raya dan masyarakat.

Sudah 40 tahun, Mbah Mi menghabiskan hidupnya sendirian, di Sebuah desa bernama Wringinputih, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Sebelumnya, ia tinggal bersama sang suami bernama Tukijan, agak jauh dari rumah saya. Keduanya hidup sederhana dan saling menyayangi. Setiap pagi Mbah Mi pergi ke pasar untuk menjual tompo hasil kerajinan tangan Tukijan. Rutinitas tersebut tidak bertahan lama, setelah Tukijan meninggal, terkena penyakit. Keduanya belum sampai dikaruniai anak.

Setelah kepergian Tukijan, ada seorang duda yang meminang Mbah Mi. Ia bernama Sumiran. Status duda Sumiran ia peroleh setelah hubungan dengan istrinya kandas. Mbah Mi yang sudah tidak memiliki lelaki untuk memberi nafkah, akhirnya menerima Sumiran sebagai suami kedua.

Hubungan Mbah Mi dengan Sumiran tidak berjalan harmonis. Setiap hari Mbah Mi nyeser udang di kali untuk dijual dan dibelikan beras. Sedangkan Sumiran hanya nganggur di rumah. Kabarnya Sumiran juga sempat bekerja sebagai buruh nelayan di Muncar. Tapi penghasilan Sumiran tidak pernah diberikan kepada Mbah Mi. Cerita masa lalu Mbah Mi dengan suaminya ini saya perolah dari Mbok Sum, (Mbah saya sendiri). Waktu itu hampir setiap hari Mbah Mi berkunjung ke rumah Mbok Sum, menceritakan perlakuan semena-mena Sumiran. “Setiap berkunjung kerumah, biasanya tak suruh bantu-bantu. Lalu tak kasih uang,” ujar Mbok Sum, siang tadi.

 Pernah suatu kali, Mbah Mi merasa tertekan dengan sikap Sumiran. Bila persediaan beras habis, Mbah Mi selalu disuruh untuk hutang beras di salah satu toko kelontong dekat rumah. Sumiran sempat memarahi Mbah Mi saat hasil ngutang beras terlalu sedikit. Porsi makan Sumiran memang banyak, hingga seringkali nasi yang ditanak hanya disisakan sedikit untuk Mbah Mi.

Kehidupan sendiri Mbah Mi dimulai sejak Sumiran memutuskan untuk merantau ke pulau Sumatra. Kepergian Sumiran bisa jadi membuat hidup Mbah Mi tidak lagi tertekan. Apalagi Sumiran mau memberi nafkah, berupa uang dari hasil kerjanya di Sumatra.

Sebelum pergi meninggalkan tanah Jawa, Sumiran berjanji akan membelikan jarik (selendang yang biasa digunakan untuk menggendong bayi atau rok). Menurut Mbah saya, selendang merupakan jenis sandang yang cukup istimewa, terutama bagi masyarakat Jawa.
Selama di Sumatra, Sumiran tidak pernah memberi kabar. Apalagi uang dan selendang. Ternyata di Sumatra Sumiran kawin lagi, menurut kawan sekerjanya yang berasal dari sini, Desa Wringinputih.

***

Saya mengenal Mbah Mi sebagai orang yang tegar dan tekun. Pekerjaannya sejak dulu mulai dari saya masih kecil sampai sekarang, hanya meng-gado ayam dan membuat sapu lidi. Sebuah pekerjaan yang sederhana untuk orang lanjut usia.

Gado ayam merupakan istilah orang Jawa untuk menyebut sistem bagi hasil. Ayam yang dipelihara Mbah Mi mulanya milik orang atau tetangga. Setelah bertelur, menetas dan Anak-anak ayam sudah besar, 50% dari jumlah anak merupakan milik Mbah Mi, sisanya diberikan kepada pemilik ayam. Itulah yang disebut sistem gado atau paron

Mbah Mi bukanlah generasi melek huruf. Kisah Mbah Mi dengan suaminya saya rasa merupakan warisan sistem patron klien di kalangan masyarakat Jawa. Bukan hanya soal laki-laki yang cenderung dominan dalam keluarga, melainkan wanita yang seolah menerima keadaan tersebut. Tapi saya kira generasi kekinian lebih objektif, tidak mau terkekang oleh nilai-nilai dogmatis.

Sejak ditinggal Sumiran, hidup Mbah Mi justru lebih bebas. Tidak ada lagi yang menyuruh atau memarahinya. Sampai sekarang, ia masih hidup sendiri di rumah. Menikmati masa tuanya.
Pernah suatu kali ada orang yang mengaku keluarganya datang ke rumah Mbah Mi untuk mengajak tinggal bersama di Kalimantan. Tapi Mbah Mi lebih memilih hidup sendiri, di rumahnya sendiri dan hidup di tengah masyarakat yang peduli dengannya.

Soal makan, Mbah Mi seringkali diberi oleh tetangga. Rumahnya juga hasil sumbangan masyarakat Wringinputih. Tanah yang ia tempati sekedar meminjam dari warga desa kami. Meski begitu, ia selalu berysukur dari hasil gado ayam dan membuat sapu lidi.

“Ini bukan rumah dari sumbangan pemerintah. Ini sumbangan langsung dari masyarakat sini,” ungkap Mbah Mi.
 
Banyuwangi, 4 Juli 2014.
  



Rabu, 23 Juli 2014

Buyut Awet Muda dan Sebuah Kelahiran Baru



Sore ini, saya berkunjung ke rumah Pak Wek. Sebutan kami untuk memanggil seorang Kakek. Saya duduk dengannya di depan televisi sambil buka puasa. Umurnya sudah 71 tahun. Ia lahir pada 1943, dua tahun sebelum Indonesia merdeka.

Setelah berbuka puasa, di samping saya ada setoples marning, camilan tradisional buatan sendiri. Sambil leyeh-leyeh saya memakan marning dengan tenang. Rasanya renyah, sedikit membandel bila dikunyah: renyah tapi keras. Suara renyahnya bisa terdengar jelas.

“Kriuk, kriuk,” terdengar suara serupa di samping saya. Dengan santai Pak Wek melahap marning tanpa ada rasa was-was saat mengunyahnya. Orang sesusia Pak Wek biasanya, bila mengunyah marning kecenderungannya was-was. Takut mengenai gigi yang sakit, keropos, bahkan tidak mau memakannya karena gigi gerahamnya sudah ompong.

Basa-basi dimulai. Saya tanya solah bagaimana proses pembuatan marning. Prosesnya ternyata cukup gampang. Hanya menyiapkan jagung yang direbus dengan enjet. Setelah itu baru digoreng dengan bumbu. Selesai.

Bahasa daerah di Indonesia memang memiliki pembendaharaan kata yang kaya. Enjet sebenarnya berasal dari kapur. Dalam bahasa Indonesia sendiri, untuk menyebut enjet harus ada penjelasan lebih. Tidak ada diksi spesifik yang memiliki makna serupa dengan enjet. Dalam bahasa Jawa, enjet bermakna kapur yang digunakan sebagai campuran pengolahan makanan, menginang dan obat-obatan.”

Sehingga, kapur dalam bahasa indonesia bisa bermakna enjet  dan pemutih dinding. Meski sebenarnya, enjet berbeda dengan kapur yang masih bisa dibuat mengecat dinding atau campuran bahan cor bangunan. Enjet sudah tidak memiliki reaksi panas. Orang Jawa menyebutnya kapur yang sudah mati.

Setelah bertanya tentang proses pembuatan marning. Saya jadi penasaran, orang seusia Pak Wek kok giginya masih kuat digunakan untuk mengunyah makanan sekeras marning. Sayapun bertanya seputar kisah perawatan gigi Pak Wek.

Sejak masih muda, ia selalu rutin berkumur getah tanaman jarak. Paling tidak satu bulan sekali. Saya pun penasaran dan ingin langsung mencobanya. Tidak banyak basa-basi Pak Wek mengambil senter, mengantar saya ke lokasi tanaman jarak.

Batang jarak yang paling ujung, ditekuk sampai mengeluarkan getah. Setelah itu langsung dihisap. Rasanya  sangat sepat bercampur pahit. Di dalam mulut terasa berbusa. Itu yang digunakan untuk berkumur, dua sampai tiga menit lalu dimuntahkan. Setelah itu, rasanya enak dimulut. Kalau tidak percaya silahkan mencoba.

Pak Wek saya lalu melanjutkan cerita, seputar pengalaman pengobatan tradisional. Bila ia merasa pusing, gelisah, tidak enak badan. Ia cukup menaruh air putih yang sudah direbus ke dalam cawan. Sekitar pukul 19.00 WIB, cawan berisi air tersebut ditaruh di halaman rumah. Atau di manapun yang penting di luar rumah.
Menurut Anthonya Reid dalam buku, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1860 Jilid 1, masyarakat Eropa ternyata juga banyak belajar tentang medis di Asia Tenggara. Masyarakat Asia Tenggara yang dianggap masih primitif, belum beradap, ternyata memiliki keistimewaan dalam hal medis. Yaitu pengobatan dengan rempah-rempah.

***

Pagi ini saya juga mendapatkan kabar, bahwa Pak Wek mulai hari ini sudah menjadi Buyut. Selamat ya, sudah menjadi tua dengan status struktur sosial keturunanmu. Mulai saat ini saya akan menyebutnya Buyut yang awet muda. Buyut yang masih lahap makan marning.

Sekarang sudah pukul 05.00 WIB. Di luar saudara-saudara saya riuh membicarakan kelahiran Cicit baru. Ternyata hari ulang tahun keponakan saya ini sama dengan adik kandung saya Jihan, 21 Juli 2014. Dari dalam rumah Pak Wek, saya keluar untuk sekedar mencari informasi lebih. Saudara-saudara saya sudah berkumpul di depan rumah, membicarakan kelahiran saudara baru sambil persiapan memanen tembakau na oogst.

Kabarnya sang bayi berkelamin Laki-laki, bertubuh gendut dan berambut lebat. Ia lahir pukul 03.00 WIB. Saya langsung berkomentar, “Pasti gedenya jadi keren kayak saya.” Semua langsung tertawa dan mengiyakan, J. Adik baru saya yang belum tahu siapa namanya ini kabarnya lahir dalam kondisi melumah, tidak tengkurap. Sehingga agak susah dan lama. Tapi syukur, Ibu dan anaknya sehat dan selamat.

Cuaca di Jember semalam sangat dingin. Pagi tadi sekitar pukul 05.30, saya ikut menjenguk Si Bayi bersama keluarga. Kabut tipis masih terlihat mengendap di Jember selatan ini. Tepatnya di Desa Kesilir, Kecamatan Wuluhan. Sekarang musim tembakau, saya naik sepeda motor membelah kabut. Inilah istimewanya Jember. Setiap pagi pasti dipenuhi kabut. Barangkali ini yang membuat Jember menjadi bagus ditanami tembakau.
Wuluhan, Jember: Tembakau Na oogst yang masih diselimuti kabut (dok. pribadi)

Wuluhan, Jember: Kabut masih mengendap dalam tanaman tembakau. (dok. pribadi)
Di kawasan Jenggawah, saya melihat tanaman tembakau yang dekerodong dengan waring, seperti jaring. Iklim di Jember akhir-akhir ini memang tidak lagi stabil. Tidak sebagus dahulu, di era Kolonial Belanda, saat tanaman tembakau bisa sangat tinggi, sehingga untuk memanen harus menggunakan tangga.Hal ini tidak bisa terlepas dari berkurangnya gumuk di Jember.Penggunaan waring ternyata agar panas sinar matahari tidak sepenuhnya memanasi tembakau. Sehingga daunnya bisa lebar dan memiliki warna yang bagus.

Jenggawah, Jember :Tembakau yang dikerodong waring (dok. pribadi)

Sampai di rumah persalinan, saya melihat bayi laki-laki itu. Ia sudah dibersihkan dan diberi bedak lalu diimunisasi. Saya jadi ingat ungkapan Antony Reid yang pernah menyebut kondisi kehidupan masyarakat Asia Tenggara yang sangat dekat dengan alam antara abad 15-17. Untuk mendeskripsikan kejernihan sungai ia menulis, ada bayi-bayi baru lahir langsung dimandikan di sungai. Itulah budaya masyarakat Asia Tenggara.

Dalam ruang persalinan, Adik bayi yang baru lahir (dok. pribadi)

Masih di kawasan Jenggawah, masuk di Desa Seruni, saya melihat sungai yang diberi tanda larangan meracun ikan dan menyetrum. Saya rasa ini sebuah kemajuan, untuk menjadikan sungai sebagai tempat khusus memancing. Dan tentunya lebih mendekatkan lagi hubungan antara manusia dengan alam, -yang dirasa semakin berjarak. 

Jenggawah, Jember : Sungai khusus memancing (dok. pribadi)
Selain itu, Masyarakat Asia Tenggara memiliki kebiasaan mandi tiga kali sehari, membuat badan jadi segar dan bisa meluruhkan penyakit. Hal ini membuat orang-orang Eropa yang berkunjung menjadi kagum. Masyarakat Eropa biasanya hanya mandi sehari sekali, itupun di dalam bak.

Besok adalah hari yang menentukan untuk bangsa ini. Adik saya yang baru lahir ini, menyapa Indonesia dalam kondisi politik yang sedang tegang. Menunggu hasil penghitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum. Semoga yang menjadi presiden merupakan orang bijaksana. Tidak otoriter, sentralistik, apalagi intoleran yang bisa memicu konflik horizontal. Adik yang belum punya nama, kamu punya kesempatan untuk menjadi pemimpin. Semoga.

Jember, 21 Juli 2014



Minggu, 20 Juli 2014

Kebebasan Berpikir di Ruang Publik


Bagi kalangan pelajar yang saya kenal di Jember, Alun-alun disebut sebagai taman kota. Tempat bermain, berkumpul dan olah raga. Bagi masyarakat Jember selatan, beberapa keluarga saya yang ada di sana menyebutnya sebagai pusat kota. Bayangan kehidupan yang berjarak dari rutinitas masyarakat urban. Saya sendiri menyebut alun-alun tidak lebih hanya ruang politis Pemkab Jember. Ia hanyalah identitas yang dipaksa agar dikagumi dan menjadi ruang publik eksklusif.

Siang itu, saya, Budi dan Dian Cetar, datang ke alun-alun untuk sekedar mengusir penat. Beragam kegiatan bercampur aduk di Alun-alun. Mulai dari  orang berumur tua yang sedang lari-lari kecil mengelilingi Alun-alun, para pemuda bermain basket, nongkrong, pacaran, semua tumpah ruah di Alun-alun. Semua lapisan masyarakat bisa hadir di sini dan bebas membicarakan apapun. Tidak ada dominasi kekuasaan yang membatasi kebebasan berpendapat.
Para pemuda sedang bermain basket (Dok. Cetar)


Apakah ini yang dinamakan ruang publik abad 21?. Setelah reformasi, kebebasan berpendapat sudah bisa dirasakan. Kebebasan itupun tidak dimaknai secara liar, sikap demokrasi tetap menuntut tanggungjawab. Alun-alun merupakan proyeksi pemerintah untuk memberikan fasilitas kebebasan aktivitas masyarakat. Bukan dimaknai milik masyarakat sepenuhnya. Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi sesuai instruksi dari pemerintah. Seperti, pedagang kaki lima dilarang berjualan di Alun-alun. Meski peraturan tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi.
Peraturan dari Pemkab (Dok Ulil)


Ruang publik di era kekinian memang tidak hanya berlaku di lapangan. Ia juga muncul di dunia maya: internet. Setelah munculnya kapitalisasi percetakan di abad 18, media-media cetak telah memberikan kontribusi untuk menciptakan opini publik. Bagaimana akhirnya kita bisa mengenal bangsa-bangsa yang berjarak. Atau jauh dari realitas kehidupan sekitar. Dari keberjarakan tersebut, bagi Benedict Anderson dalam buku Imagined Communities, konsep kebangsaan atau rasa nasionalisme bisa terbentuk lewat media. Meski hanya ada di dalam bayangan. Bila kita ada di Jawa, kebudayaan-kebudayaan masyarakat Papua, Aceh dan daerah luar Jawa yang tidak pernah kita saksikan secara langsung, bisa lebih dikenali.

Saya mencoba berjalan mengelilingi Alun-alun, orang-orang yang menikmati keberadaan Alun-alun, terlihat beragam. Bila dilihat dari pakaian yang dikenakan. Ada yang mengenakan pakaian necis. Ada pula hanya ala kadarnya. Barangkali ini juga menggambarkan keberagaman masyarakat Jember. Beragam etnis dan budaya. Masyarakat Jember semuanya memang pendatang. Sehingga, tidak terbentuk satu keseragaman yang dominan.

Sebuah Tesis Program Studi Ilmu Sejarah, karya Chandra Aprianto, Dekolonisasi Perkebunan di Jember Tahun 1930-1960an, sempat menyinggung awal mula munculnya arus migrasi masyarakat yang datang ke Jember. Jember pada mulanya merupakan daerah yang terisolir. Sejak masuknya perkebunan swasta, perkembangan Jember menjadi semakin pesat dibandingkan dengan daerah di Karesidenan Besuki, (Panarukan, Bondowoso dan Banyuwangi).

Jember dikenal sebagai salah satu kota perkebunan di Indonesia, sejak pertengahan abad XIX sampai awal abad XX. Dimulai dari masuknya pengusaha swasta untuk membuka perkebunan di Jember pada 1859. Salah satunya adalah Goerge Bernie yang memiliki perusahaan LMOD terbesar di Jember.

Munculnya pengusaha swasta tersebut merupakan respon dari kaum liberal karena melihat kekejaman sistem tanam paksa di Jawa. Pemerintah kolonian Belanda menerapkan system of Interprise, sebagai kelanjutan dari tanam paksa yang membawa kemelaratan masyarakat di sekitar perkebunan. System of Interprise diprakarsai oleh kelompok liberal yang menentang sistem tanam paksa. Sistem ini memunculkan perkebunan swasta, dengan harapan komoditi tanaman ekspor dapat memberi keuntungan kepada pemerintah. 

Keberadaan perkebunan di Jember tersebut, telah mendorong arus migrasi untuk dijadikan tenaga kerja.
Etnis Madura yang lebih mendominasi wilayah Jember terjadi karena pencarian wilayah yang lebih subur. Arus migrasi pada mulanya terjadi dari pulau Madura dan wilayah Panarukan. Terutama setelah Munculnya pengusaha perkebunan pada 1859 yang membutuhkan jasa untuk membuka hutan guna lahan perkebunan kopi, tembakau, kakao, tebu, karet dan lain-lain.

Kemajuan perekonomian di Jember dan derasnya arus migrasi dari Pulau Jawa dan Madura, terjadi setelah adanya perbaikan infrastruktur seperti jalan serta rel kereta api. Membuat Jember menjadi kota tersendiri pada Tahun 1883. Dalam artian tidak lagi menjadi onder distrik dari Bondowoso. Sekarang, jalur kereta yang menghubungkan Jember menuju Bondowoso dan Situbondo sudah tidak difungsikan lagi.
Dari arus migrasi itulah, masyarakat Jember menjadi beragam, membawa kebudayaan daerahnya masing-masing, sehingga memunculkan perpaduan kebudayaan yang disebut pandalungan.

***

Dari keberagaman tersebut, saya sempat berpikir. Apakah ruang pertemuan publik bernama Alun-alun ini masih menyimpan kesadaran sejarah? Paling tidak bisa menjadi bahan obrolan bagi siapapun yang berkunjung ke Alun-alun Jember. Saat sampai di Alun-alun bagian utara, saya melihat dua tugu besar berlapis tembaga. Tugu sebelah barat bertuliskan Adipura dan sebelah timur tertulis Adiwiyata, keduanya berjajar, dengan tinggi sekitar 7 meter.

Simbol prestasi Pemkab (Dok Dian Cetar).

Tugu tersebut setidaknya telah memberi ingatan politis, bahwa Jember pernah mendapatkan penghargaan kementrian lingkungan hidup. Sebuah simbol penghargaan kebersihan dan keteduhan lingkungan kota untuk Adipura dan simbol kesadaran pelestarian lingkungan melalui lembaga pendidikan untuk Adiwiyata. Apakah simbol tersebut masih berlaku di Jember? Bila masih melihat sampah berserakan di sungai dan aktivitas proyeksi tambang di gunung Manggar, Jember selatan. Simbol kebesaran Jember tersebut memang bisa menjadi pemantik sebuah perdebatan, atau paling tidak menciptakan opini publik. Bagi siapapun yang berkunjung ke Alun-alun Jember.

Bila dilihat dan dirasakan, berada di Alun-alun Jember memang menyenangkan. Banyak pohon kelapa berjajar rapi di selatan taman bermain anak-anak. Ada lapangan hijau luas yang biasa dimanfaatkan untuk bermain sepak bola. Serta pohon-pohon besar yang ada di setiap sudut Alun-alun. Ada pot-pot bunga besar, yang beberapa tanamannya sudah mati, atau barangkali sengaja dimatikan. Ada pula sejenis tanaman kurma yang berjajar rapi di tepi Alun-alun. Bila malam, pohon kurma tersebut menyala, karena dilingkari lampu-lampu kecil yang genit J. Cukup cocok sebagai ruang romantisme penghargaan Adipuran dan Adiwiyata.

Pohon-pohon kelapa di selatan taman bermain Anak-anak (Dok. Dian Cetar)
Tanaman di pot yang terlihat sengaja diikat (Dok. Cetar)
Ruang bermain Anak-anak (Dok Cetar)

Saya sempat duduk-duduk santai di bawah rindang pohon kelapan Alun-alun Jember. Dari situ terlihat patung M. Letkol Seroeji, tepat di dapan kantor Pemkab Jember. Salah satu simbol perjuangan Jember saat mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Kolonial Belanda. Ia merupakan patriot lokal yang belum banyak diwacanakan dalam bangku sekolah. Ternyata Jember juga punya pahlawan. Dalam perspektif penulisan sejarah baru di Indonesia, definisi pahlawan tidak harus orang-orang besar yang harus memberi pengaruh dalam skala nasional. Dalam tingkat kota sampai desa, seseorang yang berjuang demi kepentingan bersama bisa disebut pahlawan. Meski seorang petani sekalipun.

Saya rasa, keberadaan patung M. Letkol Sroedji bisa dijadikan pemantik rasa ingin tahu untuk mengenalnya lebih jauh. Perjuangan M. Letkol Sroedji tidak bisa dilepaskan dari adanya perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, yang merugikan persatuan bangsa Indonesia. Dari perjanjian tersebut, salah satunya berisi : Belanda hanya mengakui Sumatra dan Jawa Tengah sebagai wilayah Republik Indonesia. Barangkali itu yang akhirnya membuat M. Letkol Sroedji mempertahankan Jember, yang masuk dalam administratif Jawa Timur.

Patung M. Letkol Sroedji di depan kantor Pemkab Jember (Dok. Ulil)


***

Perjalanan kami lanjutkan ke seberang jalan. Ada keramaian di depan Masjid Baitul Amien. Sebuah masjid dengan arsitektur yang eksotis. Atap yang berbentuk setengah lingkaran terlihat seperti bangunan kantor DPR RI. Karena jalan raya yang menghubungkan Surabaya dengan Jember ini terlalu padat, kami menyebrang melalui jembatan layang. Sebelum naik ke Jembatan, di depan yayasan Masjid Jami’ Al Baitul Amien, kami menemukan tanda titik nol kilometer Jember.

Tanda titik nol kilometer Jember (Dok. Dian Cetar)
Dari atas jembatan : Anak-anak mengaji terlihat di sekitar Masjid Baitul Amien (Dok. Ulil)

Keramaian yang ada di depan Masjid Baitul Amien, setelah kami dekati ada pos makanan gratis. Terlihat juga bus donor darah dari Palang Merah Indonesia (PMI). Kegiatan donor tersebut dilakukan setiap malam, selama bulan Ramadhan.
Dari seberang jalan, terlihat keramaian masyarakat (Dok. Ulil)

Posko buka bersama dan donor darah (Dok Dian Cetar)


Dari titik nol kilometer Jember, kami memutuskan kembali ke tempat awal perjalanan dimulai. Alun-alun sebagai ruang publik, merupakan fasilitas umum yang akan siap menampung kebebasan berpikir kapanpun. Terlepas dari konstruksi politis tata ruang Alun-alun dari Pemkab. Semoga dominasi kekuasaan orde baru yang mengekang kebebasan berpendapat tidak akan hidup kembali di era kekinian.

Jember, 17 Juli 2014. 

Kamis, 17 Juli 2014

Perjalanan Membaca Ruang Publik


Siang itu, saya ingin membaca. Tapi bukan membaca teks di buku ilmiah atau fiksi. Saya ingin membaca ruang publik di Jember. Perjalanan dimulai dari jalan Kalimantan sekitar pukul 15.00. 

Setiap sore di bulan Ramadhan, jalan di sekitar kampus menjadi semakin padat. Analisis sederhananya karena banyak aktivitas jual beli makanan terutama di sepanjang trotoar jalan Kalimantan dan Jawa. Ada yang berjualan di atas trotoar dan membuka lapak di tepi jalan. Ada pula yang berjualan minuman takjil sambil berdiri di tepi jalan.

Perdebatan yang cukup rumit memang, bila membahas keberadaan pedagang kaki lima. Mau tidak mau, realitas tersebut menunjukkan tingkat perekonomian masyarakat masih rendah. Ruang kreativitas untuk memproduksi hasil kerja secara mandiri belum didukung oleh pemerintah. Kesempatan berdagang secara legal formal masih dipegang oleh pemilik modal. Bayangkan saja, berapa harga sewa ruko di sekitar kampus? 

Bila ditelan mentah-mentah, realitas macet dan pejalan kaki yang tidak bisa lenggang kangkung di trotoar memang disebabkan oleh pedagang kaki lima. Ternyata itu hanyalah potret lapangan pekerjaan yang masih minim di Jember. Sehingga, masyarakat cenderung mengakses pekerjaan yang sebenarnya belum mengantongi izin. Di atas trotoar misalnya, memang lebih murah bila ada transaksi dari perantara dibanding sewa ruko. Tentunya dengan modal relatif terjangkau. 

Saat menyuri jalan Letjend Suprapto, atau lebih mudah dikenali di kawasan markas Batalyon Armed,  Saya berpapasan dengan pedagang sangkar ayam keliling. Ada pula padagang sayur keliling. Menyunggi sayurannya dengan tampah. Barangkali inilah realitas masyarakat lapisan bawah yang terpinggirkan secara persaingan ekonomi. Seperti yang dikatakan Antony Gidden, dalam buku The Third Way. Tidak adanya pemerataan perekonomian atau munculnya kesenjangan sosial karena pemerintah masih membiarkan pasar bebas saling berkompetisi. Bagi yang tidak memiliki modal, siap saja tersingkir. Ia pun menawarkan adanya bentuk kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat untuk meraih kesejahteraan sosial. Salah satunya dengan mendukung pemodal kecil yang memiliki kreatifitas dalam berkarya. 
Seorang lelaki tua sedang berjalan membawa sangkar ayam, di jalan Letjend Suprapto (Dok. Budi)

Pedagang sangkar ayam keliling ini sudah berusia tua. Bila dilihat secara fisik. Misalnya bila ia memiliki kemampuan untuk membuat sangkar ayam, itu hanya dalam jumlah terbatas. Tentunya kalah dengan industri yang bisa memproduksi secara masal, apalagi bisa menawarkan harga lebih murah. Pastinya.

***

Pada mulanya saya dan Budi hanya iseng saja. Ingin melakukan perjalanan, meski tidak jelas tujuannya kemana. “Yang penting jalan Bud, kalau ada yang menarik langsung potret saja,” tawarku penuh percaya diri. Budi pun tidak banyak komentar, dia hanya mengiyakan saja. Kami mengamati sekitar dengan laju motor perlahan. Sampai di kawasan jembatan Semanggi, kami berhenti sejenak. Memotret grafiti yang ada di dinding jalan melingkar menuju jembatan Semanggi. Saya tersenyum melihatnya, inilah bentuk ekspresi seni visual. Bisa dinikmati secara estetik dan tentunya ada pesan yang ingin disampaikan. Entah itu bentuk eksistensi diri kelompok grafiti atau sekaligus ingin menyampaikan kritik kepada pemerintah dan penyadaran kepada masyarakat.

Seni grafiti di bawab jembatan Semanggi (Dok. Budi)

Saya melihat, ada emosi di balik gambar tersebut. Ruang publik memang sudah banyak diciderai oleh papan-papan reklame iklan. Ada yang ditancapkan di pohon sampai yang skala besar dengan tiang besi. Saya pribadi merasa senang bila melihat grafiti daripada iklan. Meski ada yang menganggap aktifitas tersebut tidak bertanggungjawab karena corat-coret dinding ruang publik. Tapi saya rasa itulah salahsatu bentuk demokrasi. Kebebasan berekspresi dan berpikir.
Beberapa kawan saya yang punya pengalaman melakukan vandalisme juga tidak seenaknya sendiri. Masih ada proses izin kepada pemilik tembok. Pun tidak semua tembok akan digambari. Tembok rumah orang misalnya, jelas dimarahi. Jadi ada ruang-ruang tertentu yang dianggap strategis untuk menyampaikan pesan. Terutama ruang milik publik yang sebenarnya tidak perlu ada proses izin. 

Tembok-tembok yang seringkali saya lihat terdapat grafiti dan mural memang terletak di tepi-tepi jalan. Biasanya tembok pembatas. Di jembatan Semanggi ini saya melihat beberapa papan reklame kosong telah dicoret-coret dengan kurang estetik. Tapi tak apalah, barangkali hanya ada sedikit waktu atau keberanian untuk mempercantik. Paling tidak, sudah ada keberanian untuk mengisi kekosongan. 
Papan reklame iklan dijadikan ruang kreatif sekaligus kritik (Dok. Budi)

Dari atas jembatan Semanggi, saya dan Budi melihat kali Bedadung -yang memiliki cerita rakyat menarik. Kabarnya, bila ada pendatang yang mandi di kali Bedadung maka akan berjodoh dengan orang Jember. Tapi sayangnya, cerita menarik tersebut dibaluti dengan kondisi sampah berserakan ditepi kali Bedadung. Waktu itu saya melihat ada masyarakat yang mencuci baju dan anak-anak kecil sedang mandi. Tepat di sekitarnya ada tumpukan sampah rumah tangga. 

Bila kali Bedadung masih menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat, sanitasi yang buruk di kali akan menambah resiko terserang penyakit. Tepat di samping perkampungan padat sekitar kali Bedadung, dari atas jembatas Semanggi terlihat jelas Rumah Sakit Jember Klinik. Apakah keduanya tidak pernah berinteraksi?

Sampah menumpuk di tepi sungai Bedadung (Dok. Budi)

RS. Jember Klinik, terletak di sekitar pemukiman belantaran kali Bedadung (Dok. Budi)

Tidak jauh dari jembatan Semanggi, sebelah barat, terdapat mural petani bersama tembakau. Dan tentunya kretek khas indonesia sebagai kekuatan yang ingin dikenalkan. Akhir-akhir ini, pemerintah mengesahkan peraturan iklan mengerikan di kemasan rokok. Gambar yang dipasang bukan membuat takut, melainkan menjijikkan. Selain ketakutan visual yang mengerikan, teks yang ditaruh tidak lagi “Merokok Menyebabkan...” Melainkan “Merokok Membunuhmu.” Tanpa basa basi dan semakin terlihat tidak mendidik samasekali. 

Gambar mural tersebut saya rasa akan tetap membumi sampai kapanpun. Tidak usah terlalu jauh seperti apa permainan dagang melalui legitimasi WHO dan perusahaan farmasi. Realistis saja, hasil riset-riset kesehatan akan terbantah dengan sendirinya ketika mbah-mbah kita di rumah tetap merokok, dan tidak ada persoalan selebay iklan bahaya merokok. Bukankah masih banyak lagi produk yang lebih berbahaya daripada rokok? Selama masyarakat berpola hidup seimbang, saya rasa rokok tidak akan jadi soal. 

Mural yang mengajak untuk mencintai tembakau dan kretek (Dok. Budi)

Perjalanan membaca,kami lanjutkan di jalan PB. Sudirman, di sana terdapat halte yang sudah kusam. Tinggal sekat bekas telepon umum koin. Di belakangnya terdapat tembok bergambar anak kecil sedang bermain, burung, jerapah, taman dan gambar-gambar mendidik untuk diperkenalkan kepada anak-anak. Ternyata itu milik sekolahan TK Kemala Bhayangkari 29.  Gambar-gambar tersebut secara tidak langsung bisa memantik siswa memiliki rasa ingin tahu dan mendidik karakternya. Saya rasa, itulah ruang publik yang ideal. 
Halte dan gambar ruang publik yang mendidik di jalan PB. Sudirman (Dok. Budi)

Kami juga menemukan lagi dua halte yang sudah tidak terawat, di jalan Trunojoyo arah ke Pasar Tanjung, dan barat bundaran Mastrib. Di Jalan Trunojoyo saya melihat masih tersisa dua pesawat telepon umum yang masih utuh. Entah masih berfungsi atau tidak, yang pasti masyarakat saat ini sudah beralih ke telepon genggam. Tapi saya rasa, telepon umum masih layak untuk dipertahankan serta dirawat keberadaannya. Ia menjadi salahsatu alat komunikasi yang biasanya digunakan untuk interaksi penting. Bukan hanya obrolan basa-basi. 

Terlihat dua pasang telepon umum masih dalam kondisi baik di jalan Trunojoyo. (Dok. Budi)
Alih fungsi, sebuah halte di barat bundaran Mastrib dipenuhi meja lapak pedagang (Dok. Budi)

Dari perjalanan saya dan Budi melewati beberapa jalan di kota Jember, ternyata ada banyak hal yang seringkali luput dari perhatian. Mulai dari persoalan jalanan macet, pedagang kaki lima, sampah di kali, seni visual, saya rasa semua merupakan bagian dari cerminan kondisi masyarakat Jember. Sebuah materi bacaan perjalanan yang tidak terpisah dengan realitas sekitar, dan tetap bebas dimaknai. Jadi tidak hanya lewat, lalu tetap acuh.   

Jember, 17 Juli 2014.

Selasa, 15 Juli 2014

Merawat Gumuk




Siang yang gersang. Tentu saja, karena kerongkongan mulut sudah mulai kering. Perut keroncongan. Tapi semua itu tidak jadi soal. Kami bertiga: Saya, Dian Cetar dan Budi bertekat untuk mendaki Gumuk Kerang. Sebuah Gumuk terbesar di pusat kota Jember. Tepatnya di kawasan jalan Tidar, Jember. Gumuk ini juga mudah dilihat dari jalan Karimata. 

Siang itu, sekitar pukul 14.00 WIB, kami jalan kaki menuju Gumuk Kerang. Perjalanan dimulai dari warung Macapat yang terletak di jalan Kalimantan. Memang cukup jauh bila berjalan kaki. Biasa, alasan masih puasa menjadi penyebabnya. Namun, saya tatap ngotot agar perjalanan tetap dilanjutkan. Sebelumnya, Budi dan Dian Cetar mengajak naik Gumuk yang ada di belakang Fakultas Tekhnologi Pertanian Universitas Jember, karena Lokasinya lebih dekat. Tapi Gumuk Kerang lebih eksotis. 
 
Perjalanan: masih berada di dalam area kampus UJ (Dok. Budi)

Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Biasa sambil ngobrol tidak jelas sepanjang jalan. Sehingga tidak terasa lama. Untuk mempercepat sampai ke tempat tujuan, kami melewati gang samping kantor radio Prosalina. Melewati jalan sempit di antara gedung, perkampungan dan perumahan. Sebenarnya, saya sendiri belum tahu pasti jalan terabasan menuju Gumuk Kerang. Pokoknya asal lewat. Sekalian membuat kesan baru tetang perjalanan dengan sengaja tersesat terlebih dahulu. 

Saya hanya pura-pura tahu, lokasi Gumuk Kerang, bila melalui jalur terabasan ini. Lebih tepatnya bergaya sok tahu. Tapi anehnya, Si Budi dan Dian Cetar percaya saja. Hanya ada sedikit rasa ragu di kedua mimik muka mereka. Saat itu, saya berada di garda depan. Seolah memimpin perjalanan. Dalam hati, semoga tidak tersesat. Hari itu, saya sedang beruntung. Perjalanan berlalu mulus sampai di lokasi Gumuk Kerang. 

Saya mencoba mengamati lokasi Gumuk Kerang dalam-dalam. Di lereng Gumuk Kerang ternyata ada tempat pemandian umum. Ini menunjukkan bahwa, gumuk berfungsi sebagai penampung resapan air. Masyarakat sekitar secara tidak langsung, baik sadar maupun tidak, telah memanfaatkan keberadaan gumuk. Beberapa kali kami berpapasan dengan Ibu-ibu yang sedang mencuci baju menggunakan air sumber dan Bapak-bapak selesai mandi. 

Saya juga melihat beberapa pusara di lereng Gumuk Kerang. Nama orang yang meninggal di nisan sudah tidak terlihat. Barangkali sudah sangat lama. Bagaimana sejarahnya saya belum tahu pasti. Namun di beberapa gumuk yang saya temui di Jember, memang terdapat pusara atau pekuburan orang meninggal.
Kami memang sudah sampai di lokasi Gumuk Kerang. Namun kami masih bingung jalan mendaki Gumuk Kerang yang memiliki ketinggian lebih dari 50 meter ini. Dari bawah gumuk terlihat menjulang tinggi dengan sudut kemiringan sekitar 45 derajat. Keputusan diambil dengan mengelilingi gumuk, sambil mencari jalan mendaki. Saya juga melihat, beberapa pohon sengon dan perkebunan warga dengan tanaman subsisten di lereng Gumuk Kerang. 

Tidak lama kemudian, jalanan setapak mendaki gumuk sudah ditemukan. Ada beberapa bagian jalan yang terdapat batuan piring dengan kondisi pecahan kecil-kecil. Gumuk yang ada di Jember ini memang memiliki kandungan galian tambang. Seperti batu piring, batu pondasi, batu koral dan tanah. Untuk itu, gumuk menjadi rentan dieksploitasi. Bila dipandang secara ekonomis, gumuk memang bisa memberi keuntungan untuk beberapa orang saja. Namun, dampak negatifnya akan dirasakan masyarakat Jember. Terutama yang tinggal di kawasan gumuk. Jember memang sempat disebut sebagai kota seribu gumuk. Namun sayangnya sekarang sudah banyak yang rata dengan tanah. Semoga masyarakat bisa saling menjaga keberadaan gumuk. 

Dari beberapa informasi yang saya dapat dari Tabloid Ideas dan wacana ilmiah, gumuk berasal dari bekas aliran larva dan lahar dari Gunung Raung, kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Keberadaan gumuk sendiri  yang cukup banyak hanya terdapat di Jember dan Tasik Malaya, meski kabarnya juga sudah mulai habis. Padahal, selain berfungsi sebagai resapan air. Gumuk berfungsi sebagai penahan angin, penjaga keragaman hayati, iklim dan ekosistem rantai kehidupan hewan serta masyarakat. 

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Kaki saya sudah mulai lelah. Setelah menemukan jalan mendaki Gumuk Kerang, saya mulai semangat lagi. Tapi apa benar pemandangan yang saya lihat ini. Pepohonan alami gumuk sudah banyak yang hilang, berganti tanaman sengon. Pepohonan di Gumuk Kerang memang tidak sepenuhnya habis. Apakah memang demikian keadaannya. Maklum, baru dua kali saya mendaki Gumuk Kerang. Namun, bila penebangan dilakukan hanya untuk menanam sengon agar cepat tumbuh saya rasa kurang bijak. Sebab, potensi erosi bisa saja terjadi. Tidak heran bila saat kami mendaki, jalanan setapak banyak terdapat kerikil. Lapisan tanah sepertinya mulai ada yang terkikis. 

Sekali lagi saya tetap sengaja sok tahu jalan mendaki gumuk J. Selain alasan semangat. Untuk itu saya berada di depan sendiri, disusul Dian Cetar lalu paling belakang sendiri Si Budi. Nafas saya mulai ngos-ngosan. Apalagi Budi sama Cetar. Tambah paraaah :).

Sampai di tengah perjalanan mendaki. Saya berhenti sejenak. Sekedar melihat indahnya kota Jember dari ketinggian Gumuk Kerang. Lalu tancap gas lagi. Saya tidak sabar melihatnya dari puncak. Dengan nafas terbata bata, saya sampai terlebih dahulu di puncak. Kota jember terlihat sangat jelas dari ketinggian. Pandangan saya melihat Jember bisa lebih bebas. Gunung Argopuro dan Semeru begitu tampak jelas dan eksotik. Bila melihat di bagian timur Gumuk Kerang, hamparan sawah terlihat seperti lukisan. Petak-petak sawah seperti puzzle  warna-warni.    

Kami bertiga duduk berselonjor menghadap barat. Memandang kota Jember dengan bebas sambil menunggu sunset. Angin berhembus semilir mengeringkan keringat dan menyembuhkan lelah. Jarang-jarang saya bisa merasakan segarnya oksigen seperti ini. Benar-benar murni. Tidak bercampur asap knalpot kendaraan. 

Bukti berada di atas Gumuk Kerang :). (Dok. Budi)

Pemandangan kota Jember dari puncak Gumuk Kerang. (Dok. oleh Dian Cetar)

Di puncak Gumuk Kerang terdapat jambu mete. Bila di kampung saya disebut jambu mente.Telihat sangat natural. Semoga saja tidak ada pendaki yang mengotori dengan meninggalkan sampah. Saya melihat ada bekas tumpukan kayu yang dibakar. Sepertinya ada yang baru menginap. Untung saja tidak ada sampah tertinggal. Berarti yang mendaki orang yang sadar kebersihan lingkungan dan berpendidikan tuuh  :).

Seperti biasa, dalam moment seperti ini kami menyempatkan diri untuk dokumentasi diri. Meski Budi pada mulanya berlagak acuh tidak mau difoto. Pada akhirnya dia yang paling bersemangat, saat Dian Cetar bilang kalau baterai Hp-nya sudah mulai habis. Budi sampai foto loncat-loncat. Menunjukkan kegirangannya. 
Budi sedang meloncat. (Dok. oleh Dian Cetar).


Kami pulang sekitar pukul 16.00 WIB. Dengan estimasi waktu sampai di Macapat sudah mendekati Maghrib. Saat perjalanan turun, saya beberapa kali terpeleset. Selain jalan yang berkerikil (barangkali sudah ter-erosi), sudah sangat jarang terdapat tanaman liar sebagai pegangan. Masak, tanaman sengon yang masih kecil mau saya jadikan pegangan. Kalau rusak, siapa yang tanggungjawab. 

Perjalanan pulang dipenuhi rasa lega. Namun sempat geleng-geleng kepala setelah melihat gumuk kecil di sekitar Gumuk Kerang yang sudah hampir habis. Ada beberapa makam yang nyaris roboh. Prediksi saya kalau tidak ada pusaranya pasti sudah dilahap habis gumuk tersebut.

Saya rasa, masyarakat Jember pada khususnya perlu mendapatkan penyadaran akan fungsi gumuk. Agar Jember tetap menjadi kota yang bagus ditanami tembakau. Tidak terkena angin puting beliung semakin parah, dan tentunya tidak kekeringan kebutuhan air. Saya menyinggung tembakau karena gumuk memiliki satu kesatuan dengan pertanian di Jember. Sebagai penyeimbang iklim.

 Persoalan gumuk memang kompleks. Gumuk rata-rata hanya dimiliki personal. Sehingga pemilik gumuk cenderung memiliki otoritas. Saya dan kawan-kawan berharap, gumuk di Jember tidak lagi dieksploitasi. Apalagi sampai dijadikan monumen. Apakah itu berarti Jember hanya akan ada beberapa gumuk saja? Gumuk tidak hanya dilindungi keberadaannya. Gumuk juga perlu dirawat ekosistemnya.
Perjalanan sore ini sudah tuntas. Saya, Dian Cetar dan Budi sudah kembali ke habitatnya masing-masing. Menunggu Maghrib tiba. 


Jember, 14 Juli 2014.