Sabtu, 10 Oktober 2015

Untuk Hujan Sore Ini


Jember, 09. 10, 2015.

Hari ini hujan turun lebat sekali. Saya rasa ini hujan paling lebat sepanjang kemarau bulan Agustus sampai sekarang. Bahkan terasa baru kali ini ada hujan turun, saat saya melihat kedatangannya dari bibir pintu. Barangkali karena saya sudah lama merindukannya. Hujan datang bersama angin yang kencang, menjadikan butiran air hujan yang sedang melesat turun tidak beraturan, ada yang besar dan kecil. Udara yang biasanya panas, sejak sore tadi langsung menjadi dingin menyegarkan. Ini adalah pengalaman yang tidak boleh saya lewatkan. Makanya saya tadi langsung melihat keluar, seperti apa kedatangan hujan ini. Hujan telah saya rindukan sejak beberapa bulan ini. 

Rasaya bukan hanya saya saja yang sudah lama merindukan turunnya hujan. Semua orang dari beragam status sosial baik yang berhubungan dengan profesinya langsung dan tidak seperti: petani, peternak, buruh, pedagang, mahasiswa, guru, dokter, militer, pejabat birokrasi, dan masih banyak lagi, semua membutuhkan hujan. Sebab dari hujan, petani bisa kembali lancar mengairi sawahnya,  peternak sapi tidak lagi kebingungan mencari rumput karena sebentar lagi akan tumbuh lebat, dan dari semua itu, kita sendiri dan semua makhluk hidup tidak akan mengalami krisis air. Bila hujan sudah turun begini, sumur-sumur akan kembali memenuhi airnya.

Kali ini hujan memang terasa disambut dengan kegembiraan, setelah sekian bulan kebanyakan orang telah merindukannya. Apalagi untuk di kawasan bencana asap akibat api yang sulit dipadamkan membakar lahan di sejumlah wilayah Sumatera saat ini. Semoga sore tadi, hujan juga hadir di sana untuk memberi bantuan.

Mengenai hujan, pada 5 Februari 2011, ternyata saya juga pernah menulis soal hujan di musim penghujan masih berlangsung. Melihat tulisan lama, rasanya itu adalah saya yang lain haha. Berikut saya copy di paragraf bawah, tanpa saya rubah.

***

Saya hanya ingin berbagi rasa untuk pagi yang terlanjur siang ini. tanpa kopi, tanpa rokok.
Jember yang basah, sudah hampir tiga bulan sejak Desember 2011 lalu, hujan menemani. Belum satupun kata terdengar dari media maupun teman-teman di sekitar saya yang merasa senang kepada hujan. memang, bisa jadi hujan menjadi salah satu penyebab kegagalan aktivitas, atau menjadi bermalas-malasan. Selalu merasa kantuk dan tidur pada malam yang terlalu dini.

Sewaktu mengendarai sepeda motor di jalanan, atau barang kali sedang berduaan dengan sang kekasih di sudut sudut persembunyian. Tentu memiliki makna yang berbeda ketika hujan mengguyur kedua aktivitas tersebut. Bisa jadi pengendara di jalanan akan berhenti dengan penuh cemas, dengan berbagai tujuan yang belum terselesaikan sambil menunggu hujan reda. Kemudian pasangan sejoli akan merasa lebih nyaman dan saling berdekapan tanpa ragu. Hanya sebuah kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Kali ini saya sedang ingin bercumbu dengan menggandrungi hujan terlebih dahulu. Tidak ada alasan untuk mengeluh atau barangkali menghujat hujan. Ketika segala aktivitasmu tiba-tiba terhenti karena hujan yang belum kalian inginkan turun. Hujan hanyalah sebuah siklus alamiah yang sewaktu-waktu bisa terjadi, tidak memiliki perasaan layaknya manusia. Tetapi berubahan siklus iklim yang tidak beraturan bisa disebabkan oleh aktivitas manusia yang merugikan alam.

Senin, 11 Mei 2015

Mustakim, Buku, dan Guru Kehidupan: Bagian 2


Sore ini, saya kembali lagi ke rumahnya Pak Mustakim untuk mengambil kembali buku pesanan. Ia terlihat duduk sambil nonton televisi. Setelah melihat saya datang, ia kemudian mengambil air mineral gelasan, “Diminum dulu airnya.”
Pak Mustakim sedang sibuk mencarikan sebuah buku, doc. pribadi. 

Buku “Lubang Buaya” yang saya beli ternyata bukan ditulis oleh Nugroho Notosusanto, tapi oleh Yusuf A. Puar. Pada bagian bawah daftar pustaka, tertulis kutipan SK Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Penerangan dan K No. 1.3.055 Kep. 75 tgl. 12 Desember 1975,  yang berisi“Buku ini ditetapkan sebagai buku bacaan SD tingkat Nasional.” Diterbitkan oleh Pustaka Antara Jakarta tahun 1977.

Sekedar sebagai referensi, cukup dengan 10.000 ribu buku tersebut bisa saya dapatkan di lapak Mustakim.

Kemudian ada buku “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda” karya M.H Gayo yang dihargani 20.000 ribu. Saya tertarik ingin membeli, sekedar penasaran tetang sejarah lokal masyarakat Gayo yang ada di Aceh. Buku tersebut mengemas sejarah perjuangan masyarakat Gayo melawan penjajahan Kolonial Belanda.

Saya mengenal nama Gayo saat menikmati kopi Aceh Gayo di warung Srawung milik Pak Caplin. Nantinya buku “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda” ini akan saya resensi, lebih pas bila sambil minum kopi asli Aceh Gayo.

Dalam pengantar buku dijelaskan secara singkat bahwa perang Aceh berlangsung selama 31 tahun Sejak 1873. Sampai pada 1904 yang merupakan perjuangan terpuncak masyarakat Aceh di alas Gayo, sebagai benteng pertahanan terakhir. Namun dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa masyarakat Aceh tidak pernah menyerah sampai Belanda hengkang digantikan fasisme Jepang pada 1942. Indonesia memang tidak benar telah dijajah sepenuhnya selama 350 tahun.

Sambil sekilas membaca, Mustakim terlihat mematikan televisi lalu memutar lagu di tape recorder yang disambungkan ke sound. Lagu-lagu Koes Plus terdengar lembut ditelinga.

Seperti biasa, Mustakim mengajak ngobrol banyak hal. Tak lama kemudian ia mengabil foto dan Majalah. Foto tersebut ternyata tentang dirinya yang sedang duduk di samping toko bukunya, saat masih ada di sebelah Jembatan Jompo sekitar tahun 80an. Rambutnya masih terlihat hitam tebal, dengan jenggot dan kumis lebat. Sedangkan isi majalah sendiri tentang satu rubrik liputan khusus yang mengulas Mustakim dan lapak bukunya. Majalah Religia tersebut merupakan karya mahasiswa IAIN Sunan Ampel. Keterangan lainnya sudah tertutup plester yang dilekatkan Mustakim sendiri.
Pak Mustakim dulu dan sekarang, doc. pribadi
Mustakim sedang duduk di toko bukunya yang terletak
di kawasan Jembatan Jompo, doc. pribadi, (saya foto ulang)
Semua buku yang dijual mustakim, bagian cover semua dilapisi plester. “Takut kena air, biar rapi, kan eman kalau sampai rusak,” jelasnya. Caranya menghargai buku bermula saat Mustakim membaca sebuah cerita tentang Bung Hatta. Ia sudah lupa membaca buku berjudul apa. Menurutnya, Bung Hatta akan marah bila ada bukunya yang dipinjam, lalu cara menandai saat membaca dengan melipat bagian halaman. “Kalau beliau tahu pasti marah, dan tidak akan dipinjamkan lagi.”

Sama seperti kemarin, ada obrolan yang sebenarnya sudah ia katakan. “Mumpung masih muda, bacalah buku, pokoknya baca wis,” sarannya. Mustakim kemudian mengibaratkan, bila sudah tua seperti dia baru membaca, akan susah mengingat-ingat, ibaratnya seperti melukis di atas air. Beda dengan yang masih muda, itu ibarat mengukir di batu, akan tahan lama.

Baru tadi saya menanyakan, bila ia sudah berjualan buku sejak 1963, lantas Mustakim sebenarnya lahir tahun berapa. Ia coba mengingat-ingat, dan keluarlah angka 1949. Berarti, Mustakim sudah berjualan buku sejak berumur 14 tahun. Ia menikah pada tahun 1971 diusia 22 tahun. Kemungkinan, ia baru bisa belajar membaca setelah menikah.

Banyak hal yang tidak terlupakan di masa-masa ia baru menikah. Tantunya soal himpitan ekonomi. Dari buku, ia belajar tetap bertahan. Tahun 1981, Mustakim baru bisa merenovasi rumahnya. Di dalam rumah itu lah sekarang saya duduk bersama Mustakim.

Dan sekarang, saya ada di Macapat, melihat slogan perpustakaan Macapat yang mengutip ungkapan Bung Hatta“Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku. Karena dengan buku aku bebas.”

Saya dan Pak Mustakim, doc. pribadi


10 Mei 2015.




Minggu, 10 Mei 2015

Mustakim, Buku, dan Guru Kehidupan: Bagian 1

Pak Mustakim, seorang lelaki tua tak berpendidikan namun memiliki hobi membaca. Tidak ada catatan ijazah dari lembaga pendidikan yang mengajarinya baca dan tulis. Hobi membaca Mustakim muncul setelah memutuskan untuk berdagang buku-buku bekas pada 1963. Sebuah jaman yang masih berada di bawah kepemimpinan presiden Soekarno.

Sampai sekarang Mustakim masih berjualan buku bekas di rumahnya sendiri. Ia tinggal di sebuah perumahan padat dengan jalan gang sempit di dearah Gebang, Jember. Ruang tamunya dirubah menjadi lapak buku yang ditata di rak-rak tua. Ada pula yang digantung di dinding menggunakan penjepit dan tali.

Sebagian besar, buku-buku yang dijual berisi tentang ilmu-ilmu ekonomi: manajemen, akutansi, ada pula ulasan motivasi kehidupan dan tips berwirausaha.

Saya datang ke rumah Mustakim sore tadi, mengamati tumpukan buku-buku yang dijual. Sekitar 10 menit, saya masih belum menemukan buku keren tentang sejarah. Bagi Mustakim, buku sastra dan sejarah memang paling sulit dicari. Untuk itu, ia menaruh buku-buku sastra dan sejarah di bagian pojok. Tepat di belakang tempat duduknya. Bila tidak bertanya, maka buku-buku tersebut akan tertutupi oleh badannya yang sudah keriput termakan usia.

Berawal dari situ, ia mulai bercerita banyak hal tentang dirinya. Saya pun mendengarkan sambil membaca buku-buku sejarah yang ia sodorkan dan sesekali bertanya tentang perjalanannya berjualan buku.

Mustakim mulanya memang tidak bisa membaca buku. Sebelum tahun 1963, ia bekerja sebagai loper koran. Suatu ketika, di kawasan jalan Jompo ia melihat buku-buku yang dijual. Lalu ia berpikir, sebagai seorang pribumi yang tidak berpendidikan, tukang loper koran, dan harus membiyayai kebutuhan hidup sendiri setelah orang tuanya meninggal. Buku menjadi awal dari perjalanannya membuka wawasan pengetahuan tentang kehidupan. Bahwa munculnya rasa takut, sedih, gelisah dan sebangsanya itu, berawal dari ‘ketidaktahuan’. Bahasa lainnya bisa disebut kebodohan.

Mustakim hanya ingin membeli buku dengan harga-harga terjangkau, kemudian ia jual kembali. Sampai puncaknya, tahun 1984 ia gulung tikar. Buku-buku yang ia borong dari Surabaya dan Malang ternyata sudah tidak laku. “Soalnya guru-guru tidak mau membeli, alasannya ada perubahan kurikulum pendidikan, jadi sudah tidak berguna lagi,” ungkap Mustakim.

Dua tahun berhenti kerja, hanya jadi pengangguran, “Untung istri saya sabar,” kenangnya sambil terkekeh, terlihat gigi depannya yang hanya tersisa satu biji. Menyadari dirinya tidak punya keterampilan kerja selain berjualan buku, ia coba kembali berdagang lagi. “Apa saja saya jual Mas, kursi, perabot rumah, sampai celana saya jual untuk beli buku,” ceritanya. Sejak saat itu, ruang tamunya dipenuhi buku, bukan sofa dan meja.

Pertama kali saya sampai di depan rumah Mustakim, saya sama sekali tidak tahu kalau ia jualan buku. Di depan rumahnya hanya ada dagangan rujak, milik istrinya.

Ia baru bisa membaca buku ketika ada seorang guru bahasa Inggris mengajarinya membaca dan menulis. Guru tersebut sempat menawarkan Mustakim untuk belajar bahasa Inggris, tapi ia hanya tersenyum. Relasinya dengan pembeli buku seperti mahasiswa, guru, dosen, dan masyarakat umum membuat ia mendapat kesempatan untuk belajar membaca. Ketika saya tanya sejak kapan ia belajar membaca, ia sudah lupa. Tapi yang pasti sebelum tahun 1984, sewaktu ia gulung tikar.

Buku, bisa jadi merupakan istri kedua Mustakim. Setiap menghadapi persoalan kehidupan, ia membaca buku sebagai jalan perbaikan. Buku-buku yang pernah memberi pencerahan berpikir ia simpan dan tidak dijual, “Buku-buku yang saya simpan, nanti akan saya berikan untuk anak saya.”

Selepas makan rujak buatan istrinya, saya kembali mencari buku-buku sejarah yang bermutu. Setidaknya, buku yang dapat memberi jalan terang untuk penulisan tugas akhir saya. Mustakim masih duduk di tempatnya, sambil mendengarkan lagu-lagu milik Ebiet dan D’lloyd.

Saat giliran lagu “Hidup Di Bui” milik D’lloyd berbunyi, merampas suara hujan di luar rumah, saya coba tanya, apakah Mustakim tahu kalau lagu tersebut pernah dilarang sama pemerintah Orde Baru. Ia tidak tahu, pokoknya suka saja.

Di tangan saya, sebuah buku sejarah tulisan Nugroho Notosusanto berjudul “Lubang Buaya” terbitan Balai Pustaka tahun 80an yang diperuntukan untuk siswa SD, membuat saya teringat ulasan Hesri Setiawan, mantan Tapol Pulau Buru yang menulis tentang lagu “Hidup di Bui”. Lagu tersebut dilarang pemerintah Orde Baru karena menceritakan kehidupan Tapol di Nusakambangan dan Buru yang penuh penderitaan. Sedangkan tulisan-tulisan Nugroho Notosusanto yang didukung pemerintah Orde Baru, bila dibaca saat ini bisa mencipta pemaknaan bahwa golongan para Tapol merupakan orang-orang berkhianat dan tidak perlu dikasihani.

Dari catatan Hesri Setiawan, saya baru tahu kalau adanya pelarangan terhadap lagu “Hidup di Bui”membuat beberapa baris syairnya harus dipoles ulang, seperti pada bagian “Apalagi penjara di Tangerang” menjadi “Apalagi penjara jaman perang.”

Banyaknya pelarangan oleh pemerintah Orde Baru tentang pengungkapan fakta-fakta kemanusiaan dalam penulisan sejarah, membuat minimnya jumlah buku-buku yang benar-benar akademis dan bernutrusi. Seperti di lapak Pak Mustakim, hanya ada beberapa buku-buku terbitan era Orde Baru –yang bagi saya menyehatkan bila dibaca.


Mustakim kemudian mengiyakan permintaan saya, bila mendapat buku-buku sastra dan sejarah yang baru didapat, ia akan memberi kabar. Hal ini memberi satu rekomendasi untuk diri sendiri dan siapapun, bahwa di lapak buku bekas,selain harganya miring, kita bisa mendapatkan buku-buku lama untuk memperbanyak data kepustakaan yang terbit dalam beragam jiwa jaman.   

Menemukan Kebijaksanaan

Pada masa-masa tersulit mustakim mencukupi kebutuhan hidup, rumahnya yang mulanya hanya terbuat dari anyaman bambu membuat orang-orang enggan masuk ke dalam. Saya tidak tahu pasti siapa orang-orang yang enggan masuk itu. Tapi dengan membaca buku, Mustakim menjadi tahu bahwa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan dan rasa kemanusiaan itu tidak bisa dipamerkan. Sedangkan munculnya rasa takut, sedih, gelisah dan sebangsanya itu, berawal dari ‘ketidaktahuan’. Bahasa lainnya bisa disebut kebodohan.

Setelah rumahnya direnovasi, baru orang-orang tersebut mau masuk. Dari pengalamannya itu, Mustakim mengajarkan kepada anaknya bahwa jangan menilai apapun dari kemasan yang tampak, tapi nilai-lah isinya. “Makanya Mas, mumpung sampyn masih muda, banyak-banyaklah membaca.”

Bagi saya Mustakim tetap seorang yang berpendidikan. Ia seorang terdidik yang tidak terjerat dalam lingkaran ketergantungan belajar di lembaga pendidikan. Gurunya adalah setiap penulis buku yang ia baca. Baginya membaca merupakan bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan, “Kanjeng Nabi sendiri, itu pertama kali mengajarkan bukan salat, tetapi membaca.” Dan saya hanya diam melongo sambil mengangguk-angguk.

Hujan di luar sudah reda, sedangkan saya dan Mustakim di dalam ruangan yang dipenuhi buku-buku masih ngobrol santai diiringi lagu-lagu tahun 70an. Ia kembali bercerita tentang kebaikan buku bagi kehidupannya. Tidak hanya bisa menambah wawasan untuk menjawab persoalan-persoalan di sekitarnya, ia juga sempat ditolong ketika terhimpit persoalan ekonomi.

Saat istrinya melahirkan, si bayi belum bisa dibawa pulang karena Mustakim belum lunas membayar biaya persalinan. Buku, akhirnya menjadi jalan pintas untuk menebus anaknya waktu itu.

Selama ngobrol dengan Mustakim, saya tidak menemukan ungkapan yang bersifat pamer. Ia malah berulangkali menyebut dirinya dengan diksi kasar, “masih bodoh” atau tidak tahu apa-apa, sama kayak Socrates.

Barangkali ia tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi guru untuk saya sore itu.

Pukul 16.30 saya pamit pulang, ia mengantar sampai depan rumah. Eh, saya baru tahu kalau sepeda motor kami tadi sewaktu hujan telah diselimuti mantel sama Mustakim agar tidak pilek. Terimakasih Mustakim, atas rasa kemanusiaanmu sadel motor kami tetap kering. 

Jember, 09 Mei 2015.

note: sebenarnya saya datang tidak sendiri, tapi sama Cetar dan Yudis :)

Kamis, 05 Februari 2015

Kopi Dingin


Minggu sore, saya bersama teman-teman Macapat pergi ke Ijen, untuk sekedar berkunjung ke warung kopi. Perjalanan dimulai pukul 15.00 WIB. Cuaca mendung bercampur panas, udara terasa lembab. Sesampai di kawasan jalan menuju Gunung Ijen, udara mendadak berubah sejuk dan dingin. Tidak ada balutan gerah atau panas sedikitpun. Hujan dan dingin menyiksa perjalanan sampai di Paltuding, tujuan akhir tempat kami mencari warung kopi.

Mampir di Pos penjagaan. Doc. Irvan
Tidak ada perlengkapan layaknya pendaki Gunung Ijen. Kami berempat, saya, Cetar, Irvan dan Fatih hanya mengenakan celana panjang, kaos dalam, mengenakan jaket, beralas sandal, tanpa tas dan tentunya tanpa tenda. Selama perjalanan kami memang diguyur hujan. Mantel kelelawar menjadi satu-satunya alasan mengapa perjalanan terus dilanjutkan. Sesampai di Sempol, perut benar-benar terasa lapar, mata perih, dan tentunya badan sudah menggigil kedinginan.

Selama perjalanan, hujan tentunya bukan menjadi satu-satunya soal buat kami. Tapi dingin dan kabar tentang adanya longsor serta banjir bandang membuat kami berpikir ulang di meja makan. Empat nasi rawon panas satu persatu disajikan. Kabar adanya banjir tersebut datang dari seorang teman bernama VJ Lie. Kami kebetulan bertemu di warung makan yang sama. VJ Lie bercerita, sepedanya baru hanyut tersapu banjir bandang. Kejadiannya Sabtu sore (31/01), saat VJ Lie bersama seorang teman sedang lewat di kawasan Curah Macan menggunakan sepeda motor, tiba-tiba banjir bandang datang dan membuat sepedanya hanyut. Untung saja dia melepas sepedanya dan memilih untuk menyelamatkan diri. Kondisi sepedanya rusak parah, setelah dicari oleh warga sekitar.

Setelah bertukar cerita, kami disarankan untuk mengunjungi rumah Pak Titus yang tinggal di Curah Macan, bila ingin menikmati kopi tubruk arabica. Pak Titus merupakan orang yang menjemput VJ Lie di lokasi kejadian untuk diajak kerumahnya. “Tapi kalau sudah pukul 22.00 WIB, listrik di sana sudah mati,” ungkap VJ Lie, yang membuat kami jadi ragu berkunjung ke rumah Pak Titus. Selain arah jalan yang belum kami ketahui. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah delapan malam. Mau pulang tidak mungkin karena jauh dan sudah kedinginan. Mau ke rumah Pak Titus tidak enak karena sudah terlalu malam. Keputusan tetap teguh, menuju Paltuding untuk mencari warung kopi dan tempat bermalam. Meski jarak tempuh kurang lebih masih satu jam lagi.

Selama perjalanan menuju Paltuding, gerimis masih mengguyur. Kabut tebal agak mengganggu jarak pandang kami. Belum lagi aspal yang basah dilumuri bekas erosi membuat permukaan licin. Beberapa titik lokasi terlihat lumpur tebal di atas jalan, bekas banjir yang sudah surut. Selain itu, ada juga yang longsor hampir menutupi jalan. Memang harus hati-hati karena sebelah kiri tebing dan sebelah kanan sudah jurang.

Sesampai di Paltuding, tidak terlihat ada penerangan lampu samasekali. Hanya sorotan lampu penjaga gerbang mencoba memberi petunjuk jalan masuk. Tidak seperti yang kami bayangkan. Setelah memarkir motor yang sudah tanpa penjaga, kami melihat warung kopi sudah tutup. Beberapa orang yang mau mendaki Gunung Ijen terlihat berkumpul di tendanya masing-masing. Suasananya benar-benar sepi, gelap dan dinginnya membuat gigi bergetar.

Kami mencoba menyisir tempat, barangkali ada tempat duduk kosong. Tidak lama kemudian ada dua orang yang datang ke warung dengan sorot senter, terlihat mencoba membangunkan pedagang warung. Entah apa yang dibelinya, kami memanfaatkan momentum tersebut untuk datang dan memesan kopi panas. Setidaknya bisa terpenuhi bisa ngopi di lereng Gunung Ijen. Meski pikiran masih bingung, di mana harus tidur di tengah kondisi dingin dan baju setengah basah.

***

Sekitar satu jam duduk di warung kopi Paltuding, terlihat seorang petugas sedang menghidupkan ganset. Lampu menyala, dan terlihat muka pucat teman-teman. Bila berbicara, seperti asap putih sedang keluar bersama nafasnya. Si Fatih, sesekali memainkan asap yang sebenarnya adalah nafasnya sendiri dari mulutnya, “Kayak asap rokok ya,” ungkapnya sambil tertawa kecil. Suasana sial jadi hilang sekejap.

Ada satu pesan dari pedagang warung yang belum sempat kami tanya namanya, “Kalau duduk, ngopi di sini gak papa, pokoknya jangan rame.” Mengingat ungkapan tersebut, kami tidak berani tertawa kencang bila bergurau. Takut diusir, mau ke mana lagi bisa duduk dan tidur kalau tidak di warung.

Dari kejauhan, terlihat dua orang baru saja memarkir motor kemudian berjalan menuju warung tempat kami duduk. Mereka berbadan tegap, memakai jaket hitam tebal, celana panjang, sarung tangan dan syal di bagian leher. Keduanya terlihat ramah setelah memesan kopi dan duduk di samping kami. Perkenalan, basa-basi, obrolan ringan, tertawa lepas sampai dimarahi pedagang dan berujung keakraban, merupakan serangkaian perjalanan yang membuat kami bisa tidur di tenda mereka. Ini bukan strategi merayu atau meminta tumpangan tidur, tapi kami ditawari. Entah apa alasannya, mungkin kasihan.
Dalam kepungan gigil dingin dan gelap.
Ngopi bersama teman baru dari Lampung. Doc, Irvan
Masing-masing dari kami belum sempat berkenalan. Kami hanya tahu asal dua pria yang berencana akan mendaki Gunung Ijen tersebut. Keduanya berasal dari Lampung, namun fasih berbahasa Jawa. Katanya sudah terlalu banyak orang-orang Jawa yang bermigrasi ke Lampung, termasuk keluarga mereka sendiri.

Cangkrukan dilanjutkan di tempat lain, sambil mendirikan tenda, agar tidak mengganggu pedagang warung yang sedang istirahat. Setelah tenda didirikan, makan mie rebus bersama sambil menikmati kopi tubruk manis, sepertinya sudah ada rasa saling percaya. Sekitar pukul 02.00 dini hari, kami dipercaya dan dipersilahkan tidur di tendanya sambil menunggu mereka turun dari Gunung Ijen. Belum lagi masih ditawari buat kopi dan mie sendiri bila ingin. Sudah dapat tumpangan tidur di tenda, lengkap dengan sleeping bed, sama makanannya lagi. Tuhan maha pengasih.

Minum kopi di lereng Gunung Ijen terasa nikmat, namun hanya sebentar. Temperatur panas kopi di gelas sangat cepat berubah dingin. Hanya beberapa menit sudah jadi kopi dingin. Lidah tidak terasa panas, meski menyeruput kopi yang baru disajikan. Ditambah cemilan pisang goreng. “Banana Preeet,” ungkap pedagang warung mencoba menirukan bahasa wisatawan asing. Itulah yang kami lakukan di pagi hari. Menikmati pagi bersama kopi dan pisang goreng di warung kopi lereng Paltuding, setelah semalaman kedinginan tidak bisa tidur.
Cetar terlihat kedinginan, mata lebam, sedang menikmati kopi di pagi hari. Doc, Irvan

Ulil dan Irvan berada di dalam tenda, menunggu teman dari Lampung turun gunung. Doc, Cetar
Baru pukul 10.00 siang, dua orang Lampung baik hati tersebut terlihat baru sampai di tenda. Mukanya terlihat lelah setelah naik turun Gunung Ijen. Duduk-duduk sebentar, kami kemudian mengucapkan terimakasih, pamit pulang dan berharap bisa bertemu lagi. Selanjutnya, tinggal memikirkan antara melenggang pulang atau berkunjung ke rumah Pak Titus. Hanya penasaran, bagaimana rasa kopi arabica di sana.

***

Tidak kami sangka, rumah Pak Titus benar-benar menyenangkan. Sejuk dan ditaburi pemandangan gunung yang indah. Benar-benar seperti lukisan. Kami duduk dan disuguhi kopi arabica. Aromanya harum dan kental. Pak titus menunjuk ke arah gunung. “Itu yang membuat sepeda VJ Lie terseret banjir bandang,” ungkap Pak Titus dengan dialek Madura. Terlihat dari kejauhan, petak-petak berwarna hijau di gunung. Sebagian terlihat gundul seperti belum ditanami. Menurut Pak Titus, itu merupakan kerjaan warga yang membuka lahan di lereng dengan kemiringan rawan longsor, “Itu ditanami gubis, sekarang lagi musim gubis.” Entah “warga” siapa yang dimaksud Pak Titus tersebut.

Kondisi Sepeda VJ, Doc. Irvan
Menurut Pak Titus, baru tahun ini ada kejadian longsor dan banjir bandang. Sebelumnya belum pernah. “Jadi, kalau misale hujan, mending sampeyan berhenti. Nunggu hujannya reda,”tutur Pak Titus sebelum kami pamit meninggalkan rumahnya.
   
Jember, 4-02-15