Senin, 11 Mei 2015

Mustakim, Buku, dan Guru Kehidupan: Bagian 2


Sore ini, saya kembali lagi ke rumahnya Pak Mustakim untuk mengambil kembali buku pesanan. Ia terlihat duduk sambil nonton televisi. Setelah melihat saya datang, ia kemudian mengambil air mineral gelasan, “Diminum dulu airnya.”
Pak Mustakim sedang sibuk mencarikan sebuah buku, doc. pribadi. 

Buku “Lubang Buaya” yang saya beli ternyata bukan ditulis oleh Nugroho Notosusanto, tapi oleh Yusuf A. Puar. Pada bagian bawah daftar pustaka, tertulis kutipan SK Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Penerangan dan K No. 1.3.055 Kep. 75 tgl. 12 Desember 1975,  yang berisi“Buku ini ditetapkan sebagai buku bacaan SD tingkat Nasional.” Diterbitkan oleh Pustaka Antara Jakarta tahun 1977.

Sekedar sebagai referensi, cukup dengan 10.000 ribu buku tersebut bisa saya dapatkan di lapak Mustakim.

Kemudian ada buku “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda” karya M.H Gayo yang dihargani 20.000 ribu. Saya tertarik ingin membeli, sekedar penasaran tetang sejarah lokal masyarakat Gayo yang ada di Aceh. Buku tersebut mengemas sejarah perjuangan masyarakat Gayo melawan penjajahan Kolonial Belanda.

Saya mengenal nama Gayo saat menikmati kopi Aceh Gayo di warung Srawung milik Pak Caplin. Nantinya buku “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda” ini akan saya resensi, lebih pas bila sambil minum kopi asli Aceh Gayo.

Dalam pengantar buku dijelaskan secara singkat bahwa perang Aceh berlangsung selama 31 tahun Sejak 1873. Sampai pada 1904 yang merupakan perjuangan terpuncak masyarakat Aceh di alas Gayo, sebagai benteng pertahanan terakhir. Namun dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa masyarakat Aceh tidak pernah menyerah sampai Belanda hengkang digantikan fasisme Jepang pada 1942. Indonesia memang tidak benar telah dijajah sepenuhnya selama 350 tahun.

Sambil sekilas membaca, Mustakim terlihat mematikan televisi lalu memutar lagu di tape recorder yang disambungkan ke sound. Lagu-lagu Koes Plus terdengar lembut ditelinga.

Seperti biasa, Mustakim mengajak ngobrol banyak hal. Tak lama kemudian ia mengabil foto dan Majalah. Foto tersebut ternyata tentang dirinya yang sedang duduk di samping toko bukunya, saat masih ada di sebelah Jembatan Jompo sekitar tahun 80an. Rambutnya masih terlihat hitam tebal, dengan jenggot dan kumis lebat. Sedangkan isi majalah sendiri tentang satu rubrik liputan khusus yang mengulas Mustakim dan lapak bukunya. Majalah Religia tersebut merupakan karya mahasiswa IAIN Sunan Ampel. Keterangan lainnya sudah tertutup plester yang dilekatkan Mustakim sendiri.
Pak Mustakim dulu dan sekarang, doc. pribadi
Mustakim sedang duduk di toko bukunya yang terletak
di kawasan Jembatan Jompo, doc. pribadi, (saya foto ulang)
Semua buku yang dijual mustakim, bagian cover semua dilapisi plester. “Takut kena air, biar rapi, kan eman kalau sampai rusak,” jelasnya. Caranya menghargai buku bermula saat Mustakim membaca sebuah cerita tentang Bung Hatta. Ia sudah lupa membaca buku berjudul apa. Menurutnya, Bung Hatta akan marah bila ada bukunya yang dipinjam, lalu cara menandai saat membaca dengan melipat bagian halaman. “Kalau beliau tahu pasti marah, dan tidak akan dipinjamkan lagi.”

Sama seperti kemarin, ada obrolan yang sebenarnya sudah ia katakan. “Mumpung masih muda, bacalah buku, pokoknya baca wis,” sarannya. Mustakim kemudian mengibaratkan, bila sudah tua seperti dia baru membaca, akan susah mengingat-ingat, ibaratnya seperti melukis di atas air. Beda dengan yang masih muda, itu ibarat mengukir di batu, akan tahan lama.

Baru tadi saya menanyakan, bila ia sudah berjualan buku sejak 1963, lantas Mustakim sebenarnya lahir tahun berapa. Ia coba mengingat-ingat, dan keluarlah angka 1949. Berarti, Mustakim sudah berjualan buku sejak berumur 14 tahun. Ia menikah pada tahun 1971 diusia 22 tahun. Kemungkinan, ia baru bisa belajar membaca setelah menikah.

Banyak hal yang tidak terlupakan di masa-masa ia baru menikah. Tantunya soal himpitan ekonomi. Dari buku, ia belajar tetap bertahan. Tahun 1981, Mustakim baru bisa merenovasi rumahnya. Di dalam rumah itu lah sekarang saya duduk bersama Mustakim.

Dan sekarang, saya ada di Macapat, melihat slogan perpustakaan Macapat yang mengutip ungkapan Bung Hatta“Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku. Karena dengan buku aku bebas.”

Saya dan Pak Mustakim, doc. pribadi


10 Mei 2015.




Tidak ada komentar: