Sabtu, 13 September 2014

Jalan Hidup Perempuan Sebatang Kara


Mbah Mi, sedang duduk santai di lincak (dok. pribadi)


Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, itu bunyi perjanjian negara dengan rakyat Indonesia. Seberapa jauh peraturan tersebut berlaku ?

Siang itu, saya bertemu Mbah Mi, perempuan berusia 80an tahun. Saya mengenal Mbah Mi sejak kecil. Entah kenapa waktu itu saya jadi penasaran, darimana asal Mbah Mi sebenarnya. Sebelum ia hidup sebatang kara seperti saat ini.

Mbah Mi tinggal di belakang rumah saya, terpisah dengan tegal sekitar dua ratus meter. Tetangga sebelah kanan rumahnya juga jauh, kira-kira jaraknya sama antara rumah saya dengan Mbah Mi. Hanya dua rumah tetangga itu yang bisa terlihat dari kediaman Mbah Mi. Ia memang tinggal sendiri, di tengah tegalan, agak jauh dari keriuhan jalan raya dan masyarakat.

Sudah 40 tahun, Mbah Mi menghabiskan hidupnya sendirian, di Sebuah desa bernama Wringinputih, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Sebelumnya, ia tinggal bersama sang suami bernama Tukijan, agak jauh dari rumah saya. Keduanya hidup sederhana dan saling menyayangi. Setiap pagi Mbah Mi pergi ke pasar untuk menjual tompo hasil kerajinan tangan Tukijan. Rutinitas tersebut tidak bertahan lama, setelah Tukijan meninggal, terkena penyakit. Keduanya belum sampai dikaruniai anak.

Setelah kepergian Tukijan, ada seorang duda yang meminang Mbah Mi. Ia bernama Sumiran. Status duda Sumiran ia peroleh setelah hubungan dengan istrinya kandas. Mbah Mi yang sudah tidak memiliki lelaki untuk memberi nafkah, akhirnya menerima Sumiran sebagai suami kedua.

Hubungan Mbah Mi dengan Sumiran tidak berjalan harmonis. Setiap hari Mbah Mi nyeser udang di kali untuk dijual dan dibelikan beras. Sedangkan Sumiran hanya nganggur di rumah. Kabarnya Sumiran juga sempat bekerja sebagai buruh nelayan di Muncar. Tapi penghasilan Sumiran tidak pernah diberikan kepada Mbah Mi. Cerita masa lalu Mbah Mi dengan suaminya ini saya perolah dari Mbok Sum, (Mbah saya sendiri). Waktu itu hampir setiap hari Mbah Mi berkunjung ke rumah Mbok Sum, menceritakan perlakuan semena-mena Sumiran. “Setiap berkunjung kerumah, biasanya tak suruh bantu-bantu. Lalu tak kasih uang,” ujar Mbok Sum, siang tadi.

 Pernah suatu kali, Mbah Mi merasa tertekan dengan sikap Sumiran. Bila persediaan beras habis, Mbah Mi selalu disuruh untuk hutang beras di salah satu toko kelontong dekat rumah. Sumiran sempat memarahi Mbah Mi saat hasil ngutang beras terlalu sedikit. Porsi makan Sumiran memang banyak, hingga seringkali nasi yang ditanak hanya disisakan sedikit untuk Mbah Mi.

Kehidupan sendiri Mbah Mi dimulai sejak Sumiran memutuskan untuk merantau ke pulau Sumatra. Kepergian Sumiran bisa jadi membuat hidup Mbah Mi tidak lagi tertekan. Apalagi Sumiran mau memberi nafkah, berupa uang dari hasil kerjanya di Sumatra.

Sebelum pergi meninggalkan tanah Jawa, Sumiran berjanji akan membelikan jarik (selendang yang biasa digunakan untuk menggendong bayi atau rok). Menurut Mbah saya, selendang merupakan jenis sandang yang cukup istimewa, terutama bagi masyarakat Jawa.
Selama di Sumatra, Sumiran tidak pernah memberi kabar. Apalagi uang dan selendang. Ternyata di Sumatra Sumiran kawin lagi, menurut kawan sekerjanya yang berasal dari sini, Desa Wringinputih.

***

Saya mengenal Mbah Mi sebagai orang yang tegar dan tekun. Pekerjaannya sejak dulu mulai dari saya masih kecil sampai sekarang, hanya meng-gado ayam dan membuat sapu lidi. Sebuah pekerjaan yang sederhana untuk orang lanjut usia.

Gado ayam merupakan istilah orang Jawa untuk menyebut sistem bagi hasil. Ayam yang dipelihara Mbah Mi mulanya milik orang atau tetangga. Setelah bertelur, menetas dan Anak-anak ayam sudah besar, 50% dari jumlah anak merupakan milik Mbah Mi, sisanya diberikan kepada pemilik ayam. Itulah yang disebut sistem gado atau paron

Mbah Mi bukanlah generasi melek huruf. Kisah Mbah Mi dengan suaminya saya rasa merupakan warisan sistem patron klien di kalangan masyarakat Jawa. Bukan hanya soal laki-laki yang cenderung dominan dalam keluarga, melainkan wanita yang seolah menerima keadaan tersebut. Tapi saya kira generasi kekinian lebih objektif, tidak mau terkekang oleh nilai-nilai dogmatis.

Sejak ditinggal Sumiran, hidup Mbah Mi justru lebih bebas. Tidak ada lagi yang menyuruh atau memarahinya. Sampai sekarang, ia masih hidup sendiri di rumah. Menikmati masa tuanya.
Pernah suatu kali ada orang yang mengaku keluarganya datang ke rumah Mbah Mi untuk mengajak tinggal bersama di Kalimantan. Tapi Mbah Mi lebih memilih hidup sendiri, di rumahnya sendiri dan hidup di tengah masyarakat yang peduli dengannya.

Soal makan, Mbah Mi seringkali diberi oleh tetangga. Rumahnya juga hasil sumbangan masyarakat Wringinputih. Tanah yang ia tempati sekedar meminjam dari warga desa kami. Meski begitu, ia selalu berysukur dari hasil gado ayam dan membuat sapu lidi.

“Ini bukan rumah dari sumbangan pemerintah. Ini sumbangan langsung dari masyarakat sini,” ungkap Mbah Mi.
 
Banyuwangi, 4 Juli 2014.