Senin, 15 Juli 2013

Kami Ingin Pulang

Anak-anak Syiah rindu sekolah
Foto: Aris Setiawan

  
“Orang-orang mungkin mengira kami kerasan di sini, tapi sebenarnya tidak. Kami ingin pulang ke rumah kami yang dulu, walaupun sekarang sudah tidak ada. Kami menginginkan kedamaian, bukan kekerasan. Kami tahu agama Islam tidak mengajarkan kekerasan tapi kedamaian,” ujar Tohir.



Siang itu, Jum’at (06/07), sekitar pukul 14.00 WIB, dengan senyum mengembang beberapa warga Syiah berdatangan satu demi satu menjabat tangan kami, peserta workshop Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), yang sudah berada di depan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawaawa) Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur. “Silahkan duduk, mari!” Salah satu dari warga Syiah dengan ramah mempersilakan kami duduk di ruangan terbuka, setelah beberapa dari mereka membersihkan lantai Rusunawa paling bawah.

Selain bersilaturahmi dan menyampaikan simpati atas musibah yang ditanggung warga Syiah Sampang, kunjungan kami untuk mendokumentasikan situasi yang tengah mereka hadapi di pengungsian. Gedung Rusunawa pengungsian ini bertingkat lima dengan cat hijau, lantai keramik putih. Kami bertemu dengan Tohir, warga Islam Syiah yang berasal dari Desa Karang Gayam, Sampang, Madura di lantai dua.

Masih segar dalam ingatan Tohir bagaimana rumah tempat tinggalnya dan rumah-rumah milik warga Syiah lainnya hangus dibakar saat mereka diserang. Ia juga kehilangan pekerjaan sebagai petani setelah Bupati Sampang merelokasi warga Syiah dari Gor ke Rusunawa Sidoarjo pada 20 Juni 2013. “Saya itu petani. Saya ingin bercocok tanam seperti dulu,” ungkap Tohir.

Puncak kekerasan terjadi ketika ketika massa Sunni membakar pondok Nangkernang milik warga Syiah pada 29 Desember 2011. Kerusuhan kembali meletus saat ribuan massa membakar 37 rumah warga Syiah pada 26 Agustus 2012. Satu Warga Syiah juga meninggal dan enam orang luka-luka. Masyarakat Islam Sunni yang tidak menerima faham Islam Syiah merupakan salah satu penyebab konflik tersebut meletus.

Saat ditemui, Tohir sedang bersama Istrinya, Rimah. Mereka berdiri di depan pintu kamarnya. Beberapa orang yang lewat di depan kami selalu membungkukan punggungnya disertai senyuman. Entah itu masih remaja, anak kecil, sampai yang lebih tua dari kami. Konflik sesame saudara di Sampang tersebut membuat Hasyim, kakak kandung Tohir, meninggal.

Tohir berharap bisa segera kembali ke kampung halamannya dengan damai. “Orang-orang mungkin mengira kami kerasan, tapi sebenarnya tidak. Kami ingin pulang ke rumah kami yang dulu walaupun sudah tidak ada sekarang. Kami menginginkan kedamaian, bukan kekerasan. Kami tahu Agama Islam tidak mengajarkan kekerasan tapi kedamaian,” ujar Tohir.

Di sela-sela pembicaraan kami, seorang anak kecil duduk menangis sambil menyandarkan tubuhnya di tembok. “Itu anak saya. Saya tidak tega melihatnya meminta jajan. Anak saya dua belas, sekarang tinggal sepuluh. Yang dua meninggal,” cerita Tohir lirih dengan tatapan mengambang.

Tidak lama kemudian, Hizbullah anak laki-laki Tohir, juga ikut dalam pembicaraan kami. Saat ini, Hizbullah tidak bisa lagi belajar sekolah di SMA, Pamekasan. Teman-temannya yang tidak sefaham dengan Syiah memusuhinya. “Di sini ngasih tahu belajar ngaji, main bola,” Hizbullah menjelaskan aktivitasnya dari siang sampai malam selama di pengungsian.

Tohir selalu mengingatkan kepada anak-anaknya agar tidak menyimpan dendam pada masyarakat Madura yang memusuhinya. Permasalahan tersebut baginya merupakan ujian dari Tuhan untuk bersabar. “Agama Islam tidak mengajarkan sesama manusia melakukan kekerasan. Apalagi memaksa mengikuti ajaran agama dengan kekerasan,” demikian Tohir meyakini.

“Saya tidak marah. Saya tidak dendam. Semoga Allah memberikan kesabaran kepada kami dan keluarga. Kita adalah sesama muslim. Mengapa harus saling menyerang dan melakukan kekerasan?”
Tohir menggantungkan harapannya kepada pemerintah, “Saya hanya orang kecil yang harus tunduk pada pemerintah. Semoga pemerintah bisa cepat-cepat menyelesaikan masalah ini dan memulangkan kami ke desa kami. Kami ingin hidup kembali dengan masyarakat secara damai.”

Di Rusunawa, kami juga melihat seorang ibu terlihat sedang menggendong anaknya yang masih berumur 8 bulan. Fitri melahirkan bayi tersebut saat berada di GOR Sampang. Pada mulanya, Fitri mau saja tinggal di GOR karena pemerintah ingin mengamankan Warga Syiah.

“Kami kan punya tempat tinggal juga di sana, katanya demi keamanan ya terpaksa juga kami akhirnya mengikuti kemauan pemerintah”

Meski demikian, Fitri merasa terusir dari kampung halamannya sendiri. Saat pemerintah menempatkannya di GOR, beberapa kali bantuan kebutuhan logistik dan air sempat mampet. Untungnya, masyarakat Madura yang tidak menempati GOR ada yang mau membantu kebutuhan tersebut. “Makan sempat diputus, air juga sempat diputus. Untungnya, teman-teman yang di luar itu bantuin kami. Jadi kami tetap bertahan.”

Menurut Fitri, selama warga Syiah direlokasi, tidak ada pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Warga Syiah hanya bergantung kebutuhan hidup dan kesehatannya pada pemerintah. “Untuk saat ini kalau cuma makan sama air lancar. Nggak tahu ke belakangnya nanti,” Fitri menyesalkan nasibnya.

Fitri sangat merindukan kesibukan sehari-hari yang sebelumnya ia dan warga Syiah lainnya lakukan di desanya, yang mayoritas bekerja sebagai petani. Ia tidak mau bergantung terus kepada pemerintah dan terus berharap bisa segera pulang ke kampung halamannya. “Pengangguran di sini. Kita kan orang desa, biasa bertani di kampung. Kami di sini terpaksa.”

Bagi mereka, apa yang mereka yakini tidak lantas menjadi alasan menjadi warga negara Indonesia yang menanggung penderitaan yang sangat kejam: diusir dari kampung halaman.

“Apalagi, Undang-Undang Dasar di Indonesia sudah menjamin kebebasan beragama. Setiap warga negara wajib mendapat perlindungan dari negara,” Muktiono, pakar hukum dari Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) Universitas Brawijaya Malang, menegaskan ketika menyampaikan materi HAM dan Kebebasan Beragama sebelum para peserta berkunjung ke Rusunawa. Ia juga menggaris bawahi bahwa yang melakukan pelanggaran HAM adalah pemerintah sebagai pemegang kewajiban. Konflik horisontal antar masyarakat yang menimpa warga Syiah Sampang merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk membuat hubungan keduanya kembali harmonis. “Sebab, pemerintah punya wewenang mengatur warga negara sesuai kontrak agung, konstitusi, UUD 1945,” imbuhnya.

Muktiono mencoba menjelaskan bahwa, ada sebuah persamaan moral universal dari sesama manusia, sesama warga negara Indonesia. Warga Syiah tidak mungkin dipaksa, dengan cara kekerasan sekalipun, agar mau memahami faham Sunni. Demikianpun, warga Sunni tidak boleh dipaksa memahami dan menganut Syiah. Sebaliknya, di antara warga Negara harus menghormati keyakinan atau faham yang berbeda. “Itu merupakan kewajiban moral antar-sesama pemegang hak,” tegasnya.

Di pihak lain, Fannan, Bupati Sampang, mengaku tidak tinggal diam dan masih mencari langkah pemecahan yang dapat diterima oleh kedua kelompok. Selama ini upaya yang ditawarkan belum mendapatkan tanggapan positif baik dari pengungsi Syiah maupun warga Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran, Sampang (Kompas.com, 3/6/2013). Fannan juga berdalih, "Penanganan Syiah dan anti-Syiah di Sampang bukan hanya tugas Pemerintah Kabupaten Sampang, tetapi tugas semua pihak" (Kompas.com, 3/6/2013).

Namun begitu, Fitri, Tohir, dan warga Syiah di pengungsian merasa menjadi korban atas pengabaian negara terhadap hak-hak mereka sebagai warga negara untuk hidup secara aman di daerah yang dikehendakinya dan untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

Tim Liputan : Aris Setiawan (LPM Universitas Bengkulu), Laily Fauziyah (LPM Alpha Universitas Jember), Miftahul Arifin (LPM Idea IAIN Semarang), Moh. Ulil Albab (LPMS-Ideas Universitas Jember), dan Siti Fatimahtuzzahro (LPM Kosa Kata IAIN Cirebon).


*Tulisan ini hasil liputan pelatihan Sejuk dan sudah dimuat di Website Sejuk



Minggu, 14 Juli 2013

Teluk Gubis

Pada pagi yang buta itu, aku sematkan sepucuk kerinduan di keningmu.
Aku tahu, tiada yang bisa memiliki kebenaran tunggal, kecuali kepercayaanku kepadamu.
Pada hari pertemuan kita yang ke sekian kali di teluk gubis itu.
Ada sebuah kenangan yang masih menebal sampai sekarang.

kenangan itu berupa kata-kata yang sempat kamu ucapkan hingga membuat kita saling menyambung tawa. Pada pagi yang gigil itu, kita sudah bersemangat membelah dingin menuju air yang biru.
Itu adalah lahan yang tidak sempat distempel oleh kelompok bersepatu.
 Lahan yang siap kita panen kapan pun, semau kita.

Apakah kamu masih ingat, pada malam yang sempat membuatmu mengaguminya.
Malam yang biasanya membuat gendang telingamu retak.
Malam yang biasanya membuat kantongmu harus berbagi antara perut dengan cahaya.

Tapi tidak pada malam itu, kamu terlihat sungguh bahagia.
 Malam itu, hanya ada cahaya bintang dan bulan.
 Saat kita kembali untuk pulang, aku menyuruhmu melihat langit.
 Bulan dan bintang itu seolah mengikuti langkahmu.

M. Ulil. A