Mohamad Ulil Albab
Jember, 30 November, 2012. Penulisan feuture
“Jika ada daun ya, saya bertahan makan dengan daun. Tapi biasanya saya
mencari makan di tempat sampah, kalau tidak ada kadang minta kepada orang,” ungkap
M sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok. Saat berada di kamar kos, temannya,
yang ada di jalan Bengawan Solo, Kecamatan sumber sari, kampus Tegal Boto,
Jember, Jum’at 30 Oktober 2012.
Misbach panggilannya. Ia adalah lelaki kelahiran Gresik, Jawa timur tahun
1982. Ayahnya seorang direktur pabrik kayu Barito Pasifik Timber Grup di
Kalimantan. Sejak saat itu, Misbach yang sudah kelas 4 SD, harus pindah ke
Banjarmasin, mengikuti orang tuanya. Pindah lagi ke Jawa timur, Kota Malang,
setelah kuliah di Universitas Brawijaya, pada tahun 2000. Waktu itu, uang
sakunya untuk kuliah tiap bulan sudah 500 Ribu. Uang saku yang lebih dari cukup
di era krisis.
Kuliah di kota Malang dengan kebutuhan hidup yang selalu dipenuhi oleh
orang tua, membuat Misbach tidak sungguh-sungguh belajar di bangku perkuliahan.
” Semenjak kuliah aktif di bidang musik. Aku bermimpi menjadi seorang musisi,
Gak terlalu memikirkan kuliah.. Kerjaanku pacaran dan bermusik,” kenangnya.
Sejak tahun 2006, Misbach memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah.
Proses mengerjakan skripsi di jurusan Hama Penyakit Tumbuhan (HPT), sudah mulai
dikerjakan, meski dengan nilai yang jelek. Kehidupannya mulai berantakan ketika
hubungan dengan sang kekasih mengharuskannya di pelaminan dan meninggalkan bangku
kuliah. “Faktor x terjadi waktu kuliah. Hidup mulai berantakan saat pacar saya
hamil,” ucapnya sambil mengingat masa itu. Sesekali ia mengusap mukanya dengan
tangan.
Bapak Misbach yang sudah menjadi seorang direktur, pada waktu itu juga
mengalami kerugian besar, dan membuat perusahaan tutup. Tidak lama kemudian,
kedua orang tua Misbach bercerai. “Selain itu ada orang yang sengaja memisahkan
orang tua saya. Akhirnya berdampak tidak ada kiriman bulanan. Waktu itu adik
saya juga masih kuliah, jurusan administrasi niaga. brawijaya angkatan 2004,”
ujar Misbach. keadaan demikian membuatnya semakin tertekan. Kehidupan yang
awalnya senang, karena selalu mendapat jatah kiriman uang dari orang tua, kini
sudah tidak ada lagi. Ditambah lagi, sang pacar hamil.
Sebagai lelaki, Misbach bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Terlebih lagi semenjak pacarnya menginginkan untuk menggugurkan kandungannya.
Misbach selalu meyakinkan pacarnya agar tidak menggugurkan kandungan. Hal
tersebut terjadi setelah melihat perut sang pacar setiap bulan semakin
membuncit. Keluarga pacar mulai tahu, bahwa anaknya hamil, sebab usia
kandungannya memang sudah tujuh bulan. Misbach pun memberanikan diri membawa
pacarnya menghadap ibu, dengan kondisi perut yang sudah membesar.
***
Sebuah kabar yang tidak disangka oleh Ibu Misbach. Sehabis solat Ishak
dengan kondisi masih memakai mukena. Ia datang menghadap Ibu bersama pacarnya,
“Maaf ibu. Dengan posisi saya duduk di bawah. Waktu itu sudah hamil 7
bulan.”
Ibu terperanjat kaget. Bibinya yang juga sempat melihat perut pacar
Misbach mulai curiga. Meski tidak diberi kabar. “ Akhirnya saya bisa
merasa, seakan menginjak orang tua. Merasa menjadi anak durhaka. Dari abah
sendiri tidak terlalu respon,” imbuh Misbach.
Ibu Misbach sempat mengalami gangguan mental, karena ditinggal suami.
Melihat kondisi demikian, sebagai seorang anak, ia harus merawat ibunya.
“Rasanya seperti terkena sunami yang dahsyat. Dengan kenyataan akan menjadi
seorang bapak. Juga harus mengurus ibu yang ditinggal bapak,” ucapnya
lalu sejenak terdiam. Ia teringat dengan keluarga dan orang-orang
dikampungnya yang tidak ramah. Berbagai cacian sudah akrab ditelinganya.
Misbach mengaku dikenal sebagai anak yang pendiam, dan pintar dengan ilmu
agama. Terlebih lagi, anak dari seorang Haji. Tidak heran jika masyarakat
dibuat kaget. Setiap hari ia bekerja di tambak, dan sawah. Sebuah pekerjaan
yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Karena pada mulanya berasal dari
keluarga mampu.
Saat musim panen, Misbach mendapat kabar bahwa bapaknya akan pulang dari
Kalimantan. Melihat kondisi Ibunya karena sudah lama tidak bertemu dengan suami
dan Misbach yang sedang mengalami masalah. Ia sangat mengharapkan bapaknya
datang. Dengan harapan agar bisa memperbaiki kondisi keluarga. Akan tetapi,
yang terjadi jurstru sebaliknya. “Ternyata, bapak malah minta berpisah,”
Kenangnya dengan tatapan kosong, penuh dengan kenangan yang tak terlupakan
itu.
Meski demikian, masih ada pihak yang mau membantu, dalam bentuk materi dan
semangat. “Cara mendapat uang tidak semudah dahulu, Aku gak pernah bayangkan
akan merumput. Aku telan mentah-mentah cibiran dari orang-orang,” ujar Misbach.
Belajar hidup mandiri
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.Prosesi pernikahan harus tetap
dilaksanakan. Meski kondisi orang tua Misbach yang sudah berpisah. Pada minggu
pernikahan, dilaksanakan di rumah pihak laki-laki, karena keluarga pihak
perempuan belum siap.
Selama 4 bulan, Misbach merawat ibunya di Gresik karena kondisinya semakin
memburuk. Tahun 2008-2009, ia kembali menemui istrinya di Malang. Setelah
anaknya lahir pada tahun 2007. Istrinya masih tetap melanjutkan kuliah, dan
kebutuhan susu anak ditanggung orang tua istri.
Sulitnya mencari pekerjaan, membuat Misbach harus mau bekerja dalam hal apa
pun. Ia hanya bermodalkan selembar ijazah SMA, lalu pergi ke surabaya, berharap
bisa mendapatkan pekerjaan. Pertama bekerja, Misbach tidak pernah
menyangka jika pada akhirnya ia akan menjadi seorang buruh. “Karena posisi saya
awalnya tergolong orang yang terbilang kaya,“ ucapnya. Pekerjaan pertama yang
didapat, menjadi klining service di royal plaza, Jalan
ketintang, Surabaya.
“Desakan perut lebih pernting dari akal dan hati nurani,” nilai Misbach,
ketika ia sempat bekerja menjadi sales marketing kartu kredit. Sebuah pekerjaan
yang bermodalkan pintar merayu, tanpa ada kebenaran manusiawi. Pekerjaan
tersebut, sebenarnya tidak diinginkan, melainkan faktor desakan ekonomi. Hingga
harus membohongi dirinya sendiri.
Penghasilan yang lebih besar ia dapatkan ketika bekerja menjadi klining
service di Universitas Petra. Meski beban mental begitu terasa, ketika melihat
mahasiswa belajar, dan ia menjadi klining service. Penghasilannya selama
sebulan sebesar 460, dengan sistem pembayaran harian, antara 15-22 ribu
perhari. Hal tersebut yang membuat penyesalan bertubi-tubi tiba-tiba muncul,
Aku sendiri yang goblok, umur segitu sebenarnya harus memikirkan masa depan,“
keluhnya.
Memilih Hidup Di Jalan
Belajar hidup di jalan, merupakan salah satu pilihan Misbach untuk belajar
tentang kehidupan. Jalan menjadikan hidupnya semakin dewasa. Ia merefleksikan
hidupnya lewat bertahan hidup di jalan. Kerasnya hidup di jalan, tidak
membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum, mencuri misalnya.
Perjalanannya di mulai saat Misbach berpisah dengan istri, sewaktu pulang
kerja, tiba-tiba ia pesan masuk di HP, “ Mas, saya minta pisah.” Tubuhnya
bergetar, kantung matanya sudah tidak tahan menampung air mata. Misbach
teringat akan perjuangannya mempertahankan bayi yang dikandung istri, juga saat
merawat istri dan bayi yang baru dilahirkan. “Susah senang dirasakan bersama,
tiba-tiba minta berpisah.”
Sudah tiga tahun Misbach hidup di jalanan. Tanpa bermodalkan uang sepeser
pun. Ia hanya membawa sehelai kain bermotif kotak-kotak, berwarna hitam putih,
yang tertempel ditubuhnya dan beberapa identitas diri, seperti KTP di sakunya.
Misbach mencoba menempa dirinya lewat jalanan, penyesalan yang sudah
terlanjur membuat ia harus belajar menemukan jati diri. Bukan merantau untuk
mencari materi, melainkan belajar tentang kehidupan di jalanan. Ia sudah
berjalan kaki mulai dari Grasik, Jember, Banyuwangi, Bali, lalu kembali
kebanyuwangi dan menuju ke sitobondo. Ia berhenti dan menetap untuk sementara
di sebuah pondok, di Situbondo, untuk belajar masalah agama.
Selama dijalan, Misbach sering dimintai nomor togel dan jimat, oleh
masyarakat karena aktifitasnya tersebut. Selain itu, juga sering ada orang yang
menawari bekerja, namun ia tolak. Misbach ingin konsisten, bahwa ia di jalanan
bukan untuk mencari materi. Melainkan sebuah pelajaran tentang kehidupan.
Sudah sekitar tiga minggu yang lalu, Misbach kembali lagi ke Jember, dari
Situbondo. Kali ini, ia berkumpul bersama mahasiswa untuk berbagi pengalaman
dan bertukar fikiran. Untuk masalah perut, ia hanya bermodalkan harapan
rasa kemanusiaan dari sesama. Ketika berada dijalan, ketika tidak menemukan
makanan disampah, ia mencoba meminta kepada sesama manusia, jika tidak
mendapatkan, baru ia merumput.
Selama ini, ia sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan keluarganya.
Meski demikian, Misbach menginginkan hidup secara normal. “Saya pengen seperti
yang lain, hidup secara normal, teman saya semuanya sudah sukses, dan punya
istri. Nanti kalau sudah saatnya saya pasti kembali,” harapnya.
*Tulisan untuk persyaratan mengikuti PJTL di LPM Wartadinus,
Universitas Diannuswantoro, Semarang. Meski saya katakan tidak layak disebut
liputan anak jalanan.