Sabtu, 13 April 2013

Belajar Tentang Kehidupan di Jalanan.




Mohamad Ulil Albab

Jember, 30 November, 2012. Penulisan feuture

“Jika ada daun ya, saya bertahan makan dengan daun. Tapi biasanya saya mencari makan di tempat sampah, kalau tidak ada kadang minta kepada orang,” ungkap M sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok. Saat berada di kamar kos, temannya, yang ada di jalan Bengawan Solo, Kecamatan sumber sari, kampus Tegal Boto, Jember, Jum’at 30 Oktober 2012.

Misbach panggilannya. Ia adalah lelaki kelahiran Gresik, Jawa timur tahun 1982. Ayahnya seorang direktur  pabrik kayu Barito Pasifik Timber Grup di Kalimantan. Sejak saat itu, Misbach yang sudah kelas 4 SD, harus pindah ke Banjarmasin, mengikuti orang tuanya. Pindah lagi ke Jawa timur, Kota Malang, setelah kuliah di Universitas Brawijaya, pada tahun 2000. Waktu itu, uang sakunya untuk kuliah tiap bulan sudah 500 Ribu. Uang saku yang lebih dari cukup di era krisis.

Kuliah di kota Malang dengan kebutuhan hidup yang selalu dipenuhi oleh orang tua, membuat Misbach tidak sungguh-sungguh belajar di bangku perkuliahan. ” Semenjak kuliah aktif di bidang musik. Aku bermimpi menjadi seorang musisi, Gak terlalu memikirkan kuliah.. Kerjaanku pacaran dan bermusik,” kenangnya.

Sejak tahun 2006, Misbach memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah. Proses mengerjakan skripsi di jurusan Hama Penyakit Tumbuhan (HPT), sudah mulai dikerjakan, meski dengan nilai yang jelek. Kehidupannya mulai berantakan ketika hubungan dengan sang kekasih mengharuskannya di pelaminan dan meninggalkan bangku kuliah. “Faktor x terjadi waktu kuliah. Hidup mulai berantakan saat pacar saya hamil,” ucapnya sambil mengingat masa itu. Sesekali ia mengusap mukanya dengan tangan.

Bapak Misbach yang sudah menjadi seorang direktur, pada waktu itu juga mengalami kerugian besar, dan membuat perusahaan tutup. Tidak lama kemudian, kedua orang tua Misbach bercerai. “Selain itu ada orang yang sengaja memisahkan orang tua saya. Akhirnya berdampak tidak ada kiriman bulanan. Waktu itu adik saya juga masih kuliah, jurusan administrasi niaga. brawijaya angkatan 2004,” ujar Misbach. keadaan demikian membuatnya semakin tertekan. Kehidupan yang awalnya senang, karena selalu mendapat jatah kiriman uang dari orang tua, kini sudah tidak ada lagi. Ditambah lagi, sang pacar hamil.

Sebagai lelaki, Misbach bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Terlebih lagi semenjak pacarnya menginginkan untuk menggugurkan kandungannya. Misbach selalu meyakinkan pacarnya agar tidak menggugurkan kandungan. Hal tersebut terjadi setelah melihat perut sang pacar setiap bulan semakin membuncit. Keluarga pacar mulai tahu, bahwa anaknya hamil, sebab usia kandungannya memang sudah tujuh bulan. Misbach pun memberanikan diri membawa pacarnya menghadap ibu, dengan kondisi perut yang sudah membesar.
***

Sebuah kabar yang tidak disangka oleh Ibu Misbach. Sehabis solat Ishak dengan kondisi masih memakai mukena. Ia datang menghadap Ibu bersama pacarnya, “Maaf  ibu. Dengan posisi saya duduk di bawah. Waktu itu sudah hamil 7 bulan.” 

Ibu terperanjat kaget. Bibinya yang juga sempat melihat  perut pacar Misbach  mulai curiga. Meski tidak diberi kabar. “ Akhirnya saya bisa merasa, seakan menginjak orang tua. Merasa menjadi anak durhaka. Dari abah sendiri tidak terlalu respon,” imbuh Misbach. 

Ibu Misbach sempat mengalami gangguan mental, karena ditinggal suami. Melihat kondisi demikian, sebagai seorang anak, ia harus merawat ibunya. “Rasanya seperti terkena sunami yang dahsyat. Dengan kenyataan akan menjadi seorang bapak. Juga harus mengurus ibu yang ditinggal bapak,” ucapnya  lalu sejenak terdiam. Ia teringat dengan keluarga dan orang-orang dikampungnya yang tidak ramah. Berbagai cacian sudah akrab ditelinganya.

Misbach mengaku dikenal sebagai anak yang pendiam, dan pintar dengan ilmu agama. Terlebih lagi, anak dari seorang Haji. Tidak heran jika masyarakat dibuat kaget. Setiap hari ia bekerja di tambak, dan sawah. Sebuah pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Karena pada mulanya berasal dari keluarga mampu.

Saat musim panen, Misbach mendapat kabar bahwa bapaknya akan pulang dari Kalimantan. Melihat kondisi Ibunya karena sudah lama tidak bertemu dengan suami dan Misbach yang sedang mengalami masalah. Ia sangat mengharapkan bapaknya datang. Dengan harapan agar bisa memperbaiki kondisi keluarga. Akan tetapi, yang terjadi jurstru sebaliknya. “Ternyata, bapak malah minta berpisah,” Kenangnya dengan tatapan kosong, penuh dengan kenangan yang tak terlupakan itu. 

Meski demikian, masih ada pihak yang mau membantu, dalam bentuk materi dan semangat. “Cara mendapat uang tidak semudah dahulu, Aku gak pernah bayangkan akan merumput. Aku telan mentah-mentah cibiran dari orang-orang,” ujar Misbach.

Belajar hidup mandiri

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.Prosesi pernikahan harus tetap dilaksanakan. Meski kondisi orang tua Misbach yang sudah berpisah. Pada minggu pernikahan, dilaksanakan di rumah pihak laki-laki, karena keluarga pihak perempuan belum siap.

Selama 4 bulan, Misbach merawat ibunya di Gresik karena kondisinya semakin memburuk. Tahun 2008-2009, ia kembali menemui istrinya di Malang. Setelah anaknya lahir pada tahun 2007. Istrinya masih tetap melanjutkan kuliah, dan kebutuhan susu anak ditanggung orang tua istri.  

Sulitnya mencari pekerjaan, membuat Misbach harus mau bekerja dalam hal apa pun. Ia hanya bermodalkan selembar ijazah SMA, lalu pergi ke surabaya, berharap bisa mendapatkan pekerjaan.  Pertama bekerja, Misbach tidak pernah menyangka jika pada akhirnya ia akan menjadi seorang buruh. “Karena posisi saya awalnya tergolong orang yang terbilang kaya,“ ucapnya. Pekerjaan pertama yang didapat, menjadi klining service di royal plaza, Jalan ketintang, Surabaya.

“Desakan perut lebih pernting dari akal dan hati nurani,” nilai Misbach, ketika ia sempat bekerja menjadi sales marketing kartu kredit. Sebuah pekerjaan yang bermodalkan pintar merayu, tanpa ada kebenaran manusiawi. Pekerjaan tersebut, sebenarnya tidak diinginkan, melainkan faktor desakan ekonomi. Hingga harus membohongi dirinya sendiri.

Penghasilan yang lebih besar ia dapatkan ketika bekerja menjadi klining service di Universitas Petra. Meski beban mental begitu terasa, ketika melihat mahasiswa belajar, dan ia menjadi klining service. Penghasilannya selama sebulan sebesar 460, dengan sistem pembayaran harian, antara 15-22 ribu perhari. Hal tersebut yang membuat penyesalan bertubi-tubi tiba-tiba muncul, Aku sendiri yang goblok, umur segitu sebenarnya harus memikirkan masa depan,“ keluhnya.


Memilih Hidup Di Jalan

Belajar hidup di jalan, merupakan salah satu pilihan Misbach untuk belajar tentang kehidupan. Jalan menjadikan hidupnya semakin dewasa. Ia merefleksikan hidupnya lewat bertahan hidup di jalan. Kerasnya hidup di jalan, tidak membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum, mencuri misalnya. Perjalanannya di mulai saat Misbach berpisah dengan istri, sewaktu pulang kerja, tiba-tiba ia pesan masuk di HP, “ Mas, saya minta pisah.” Tubuhnya bergetar, kantung matanya sudah tidak tahan menampung air mata. Misbach teringat akan perjuangannya mempertahankan bayi yang dikandung istri, juga saat merawat istri dan bayi yang baru dilahirkan. “Susah senang dirasakan bersama, tiba-tiba minta berpisah.”

Sudah tiga tahun Misbach hidup di jalanan. Tanpa bermodalkan uang sepeser pun. Ia hanya membawa sehelai kain bermotif kotak-kotak, berwarna hitam putih, yang tertempel ditubuhnya dan beberapa identitas diri, seperti KTP di sakunya.

Misbach mencoba menempa dirinya lewat jalanan, penyesalan yang sudah terlanjur membuat ia harus belajar menemukan jati diri. Bukan merantau untuk mencari materi, melainkan belajar tentang kehidupan di jalanan. Ia sudah berjalan kaki mulai dari Grasik, Jember, Banyuwangi, Bali, lalu kembali kebanyuwangi dan menuju ke sitobondo. Ia berhenti dan menetap untuk sementara di sebuah pondok, di Situbondo, untuk belajar masalah agama.

Selama dijalan, Misbach sering dimintai nomor togel dan jimat, oleh masyarakat karena aktifitasnya tersebut. Selain itu, juga sering ada orang yang menawari bekerja, namun ia tolak. Misbach ingin konsisten, bahwa ia di jalanan bukan untuk mencari materi. Melainkan sebuah pelajaran tentang kehidupan.

Sudah sekitar tiga minggu yang lalu, Misbach kembali lagi ke Jember, dari Situbondo. Kali ini, ia berkumpul bersama mahasiswa untuk berbagi pengalaman dan bertukar fikiran.  Untuk masalah perut, ia hanya bermodalkan harapan rasa kemanusiaan dari sesama. Ketika berada dijalan, ketika tidak menemukan makanan disampah, ia mencoba meminta kepada sesama manusia, jika tidak mendapatkan, baru ia merumput. 

Selama ini, ia sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan keluarganya. Meski demikian, Misbach menginginkan hidup secara normal. “Saya pengen seperti yang lain, hidup secara normal, teman saya semuanya sudah sukses, dan punya istri. Nanti kalau sudah saatnya saya pasti kembali,” harapnya.

 *Tulisan untuk persyaratan mengikuti PJTL di LPM Wartadinus, Universitas Diannuswantoro, Semarang. Meski saya katakan tidak layak disebut liputan anak jalanan.





Jumat, 12 April 2013

Perkuliahan Monoton


Jember, 11 Oktober 2012.
Tulisan GJ

Entah kenapa, hari ini saya malas sekali kuliah. Barangkali sedang bosan dengan metode pengajaran dosen pengampu. Dosen yang mengajar mata kuliah Sejarah Amerika ini memang tidak banyak memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya. Bahkan pernah sama sekali tidak memberi kesempatan. Setiap mengajar, ia harus menggunakan LCD , dengan tujuan agar mahasiswa juga mengetahui meteri apa yang sedang dibahas. Ia menerangkan dengan menggunakan sofwere microsof power point. Isinya seputar garis besar materi yang diajarkan. Satu persatu ia bacakan, lalu diuraikan dengan penjelasan. Ini terus dilakukan secara berulang sampai waktu perkuliahan habis.

Tugas mahasiswa hanya datang, duduk, mengisi daftar hadir, mendengarkan, lalu pulang. Tidak ada kewajiban untuk mencatat. Jika mau mencatat ya silahkan, jika tidak ya gak masalah. Hal ini yang membuat saya ogah, hanya buang buang waktu saja. Lebih baik saya menaruh rekaman di kelas lalu pulang. Jika ingin mendengarkan, tinggal putar ulang rekaman tersebut, bisa sambil tidur, makan, dan main game. Meski hal tersebut sungguh absurd, ada daftar hadir yang membuat saya takut berbuat demikian. Jika tidak hadir dan mengisi absensi, ancamannya sedikit, namun dampaknya luar biasa. Sebenarnya hanya tidak bisa mengikuti ujian, dampaknya otomatis dapat nilai E, dan harus mengulang.

Sebenarnya tidak salah jika pihak akademik mewajibkan mahasiswa hadir lalu mengisi absen. Jika tidak demikian, bukan kuliah namanya. Lantas apa yang menjadi persoalan? Saya lebih sepakat jika motode pengajaran dosen, mampu membuat mahasiswa nyaman dan ada pertukaran fikiran, itu saja.  Soal bagaimana metodenya, itu terserah dosen. Jadi mahasiswa tidak hanya ‘menerima’ materi yang disampaikan dosen. Namun ada pertukaran fikiran lewat tanggapan mahasiswa. Entah berupa kritik, saran, pujian, atau hanya sekedar ngomong tanpa beban.

Budaya belajar mahasiswa dikelas memang ditentukan oleh dosen. Jika dosennya tidak memberi kesempatan bertanya, mahasiswanya ya bosan, lalu mengantuk. Meski dosen juga memberi kesempatan bertanya, terkadang mahasiswanya diam. Bagaimana jika dosennya yang bertanya kepada mahasiswa, soal hal-hal mendasar terkait materi yang diajarkan. Barangkali hal ini bisa sedikit membuat mahasiswa harus membekali diri sebelum masuk ke dalam kelas. Dengan cara membaca atau diskusi diluar jam kuliah.

Sebenarnya sejak kapan dosen sudah menggunakan LCD  untuk mengajar, tahun 2009 saat saya masih menjadi mahasiswa baru, fasilitas tersebut sudah ada. Ini memang memudahkan dosen dalam mengajar, tidak perlu menggunakan papan tulis untuk menjelaskan, cukup dituliskan lewat laptop. Ini cukup menyita perhatian mahasiswa untuk memperhatikan tampilan sorotan LCD. Selain harus mendengarkan apa yang dikatakan dosen. Tapi saya masih suka dengan cara yang sederhana, dosen cukup mengajak mahasiswa diskusi, artinya ada proses dialogis antara keduanya.

Socrates sendiri, seorang filsuf yunani yang lahir pada IV SM, selalu mengajak pemuda Athena untuk berkumpul di alun-alun, belajar bersama dengan cara dialog. Socrates selalu mempertanyakan hal-hal yang sederhana, untuk memancing perdebatan. Dari situlah muncul pemikiran rasional yang mempertanyakan keberadaan dewa. Ia pun dihukum mati karena dianggap telah mempengaruhi pemikiran generasi muda. Namun Socrates lebih memilih mati bersama pemikirannya, untuk tetap mempertahankan kebenaran secara rasional, bukan masalah keyakinan.

Selain itu, masih ada dosen yang mengajar dengan membawa buku buku tebal, tanpa menggunakan LCD. Ia menjelaskan panjang lebar sesuai yang tercantum dalam isi buku. Terkadang juga dibacakan, seolah ia sedang lupa apa yang harus dijelaskan. Tapi anehnya, ia tidak meminjamkan buku tersebut untuk difotocopy mahasiswa. Entah takut hilang atau sebaliknya, takut dikritik mahasiswa.

Bila sudah demikian, tidak heran jika mahasiswa malas untuk berangkat kuliah. Sebab tidak mendapatkan pengajaran yang layak. Atau kuliah hanya untuk memenuhi daftar hadir. Jika ruang perkuliahan merupakan wadah untuk berbicara soal hal-hal yang ilmiah, maka harus ada celah untuk mempertanyakan kebenarannya. Entah dari dosen ke mahasiswa atau sebaliknya. Jika tidak ada pertukaran fikiran, bisa jadi apa yang dibicarakan merupakan kajian ilmiah dari perspektif dosen. Menjadi kebenaran tunggal yang diamini oleh mahasiswa.
Saya ingat dengan salah satu puisi W.S. Rendra yang mengungkap masalah pendidikan, judul puisi tersebut ‘Sajak Anak Muda’.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan
Bukan pertukaran fikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan
Dan bukan imlu latihan menguraikan
Barangkali penggalan puisi tersebut hanya sebuah ‘fiksi’ namun bisa menjelma menjadi fakta. Termasuk dalam tulisan ini.

*Tulisan pernah dimuat di facebooknya lemper

Sinopsis Berita



Berita: laporan utama Majalah Milenium
Edisi: IX 2012
Penulis laporan utama: M.Afwan Fathul Barry
Judul berita: Memetik Identitas Jember
Sinopsis dan kritik berita: Mohamad Ulil Albab

Sinopsis

UPM Millenium STAIN Jember baru saja membagikan majalah edisi IX 2012 ke setiap Lembaga Pers Mahasiswa di Jember. Majalah yang akan di-launching tanggal 29 Desember, 2012 ini bertema “Komodifikasi Batik Jember”. UPM Milenium menyajikan potensi identitas Jember yang kurang diperhatikan dan tidak banyak diketahui masyarakat. Kota Jember yang terkenal sebagai penghasil tembakau, cerutu, suwar-suwir, ternyata masyarakatnya juga memproduksi kain batik bermotif daun tembakau. Hal tersebut ditulis oleh M. Afwan Fathul Barry dalam laporan utama Majalah Milenium.

Masyarakat pengrajin batik  lokasinya berada di Jember bagian utara yaitu di Kecamatan Sumberjambe, Desa Sumberpakem. Ada dua pengusaha yang memproduksi kain batik. Unit dagang Bintang timur milik Marwadi dan Pakem Sari milik H. Maskuri. Kedua unit dagang tersebut berada di Desa Susmberpakem. `

Dalam laporan utama, Afwan bersama kawan-kawan Millenium bertemu dengan Marwadi di rumahnya. Pada awal pertemuan, Marwadi menceritakan sekilas sejarah produksi batik di desanya. Tahun 1930 merupakan awal produksi batik di Desa Sumberpakem, oleh Nenek Marwadi yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Keterampilan membatik diwariskan secara turun temurun, neneknya mewariskan  kepada orang tua Marwadi, lalu kepada dirinya sendiri.

Pemasaran produksi batik mulai dilakukan sejak keterampilan membatik ditekuni oleh orang tua Marwadi sebelum tahun 1970. Persaingan dagang dengan pengusaha batik cap membuat produksi batik orang tuanya kolaps dan sempat vakum selama lima tahun. Usaha tersebut mulai berjalan lagi sekitar tahun 1999 setelah Marwadi melanjutkan usaha milik orang tuanya. Ia memproduksi batik tulis, semi tulis dan cap, dengan motif tembakau, bunga kakao, buah naga dan lain-lain.

Kawan-kawan Millenium juga bertemu dengan  pengusaha batik selain Marwadi. Keterampilan membatik unit dagang Pakem Sari milik H. Maskuri juga hasil dari warisan. Tahun 1984, H. Maskuri baru mewarisinya. Produksi batik milik H. Maskuri tidak jauh berbeda dengan produksi milik Marwadi. Hanya saja, H. Maskuri lebih fokus menggunakan motif tembakau untuk produksi batiknya, karena Jember terkenal sebagai kota penghasil tembakau.

Produksi kain batik di Desa Sumberpakem ini telah membuka peluang lapangan pekerjaan bagi warga desanya. Selain menjadi masyarakat yang hidup mandiri dengan keterampilannya, produksi batik bermotif tembakau ini juga memperkuat potensi identitas Jember sebagai penghasil tembakau.

Pemerintah selama ini dirasa kurang memberikan perhatian terhadap unit dagang batik di Desa Sumberpakem. Meski pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) serta Dinas Pariwisata Jember, sudah merasa sudah melakukan kerjanya dengan baik terkait hubungan kemitraan dengan unit dagang batik.

Kritik dan Saran

Saya sadari, sejeli apa pun redaksi memverifikasi isi, diksi dan EYD sebuah naskah berita, rasanya masih ada saja yang kurang. Entah itu kurang titik, koma, huruf besar kecil, istilah asing yang harus dimiringkan, pemisahan dan penggabungan kata setelah “di” dan lain sebagainya. Namun, saya mencoba mengurangi kesalahan dalam naskah berita laporan utama Majalah Milenium lewat penilaian kenyamanan membaca, korelasi antar kata dan kalimat serta beberapa kesalahan EYD.
Poin Poin dan  beberapa contoh kekurangan yang menurut saya perlu kita diskusikan bersama antara lain:

1.      Penulisan berita kurang fokus.
Dalam teras  berita, saya merasa tertarik untuk terus membaca. Sebelum meneruskan membaca, saya sudah kagum karena kawan-kawan Milenium mau mengungkap hal yang tidak banyak dikatahui masyarakat. Apalagi menyangkut potensi kearifan lokal Jember yang perlu diperhatikan. Akan tetapi, masih ada pertanyaan mendasar yang belum terjawab setelah selesai membaca berita.

Dalam teras berita, ada kalimat “...kalau pun tahu, akses mereka ke batik Jember sangat minim...” Saya pun mencari tahu apa maksud dari diksi “minim” tersebut. Barangkali Afwan ingin menguatkan betapa sulit akses ke Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe. Saat menarasikan jauhnya tempat tujuan, dan minimnya informasi untuk menuju kesana di awal penulisan berita. Atau barangkali karena tidak melakukan observasi terlebih dahulu. Jadi pertama kali datang ke Desa Sumber pakem langsung liputan.

Afwan mencoba menarasikan perjalanan  menuju tempat produksi batik di awal penulisan berita, bagi saya sangat tidak mendukung saat Afwan  mendeskripsikan banyak terdapat gumuk, udara segar, jalanan mulus yang memanjakan. Jika dikaitkan dengan sulitnya akses menuju kesana. Jika sudah demikian, banyak paragraf yang harus dihapus.

Deskripsi perjalanan dengan jalan mulus tersebut sangat berbanding terbalik dengan pembahasan “akses yang sulit” di paragraf pertama dalam sub judul ‘melihat sisi lain’ “...Akses yang sulit dijangkau pembeli untuk mendapat kain batik produksi unit dagang milik Haji Maskuri menjadi kendala utama...” Saya memahami gagasan dalam paragraf tersebut bahwa, sulitnya akses jalan atau informasi menjadi penyabab kendala utama pemasaran batik. Namun, sulitnya akses tersebut tidak dijelaskan secara gamblang, padahal menjadi kendala utama. Sulitnya akses jalan atau informasi?

Selain itu, dalam paragraf tersebut, harapan apa saja dari pengusaha batik terhadap pemerintah juga belum diungkap, hanya ada seputar keluhan dangkal tanpa tahu harapannya. Apalagi tentang keluhan akses yang sulit dan menjadi kendala utama. Jika ditanyakan apa yang menjadi harapannya, barangkali maksut dari akses “yang sulit” tersebut dapat terjawab.

Bagi saya ini yang penting jika ingin mengkritisi kinerja pemerintah terkait. Tentunya terkait pemasaran dan produksi. Tidak menutup kemungkinan, kawan-kawan Millenium bisa menemukan sisi kemanusiaan dari cerita keluhan dan harapan narasumber.   
  
2.      Pembahasan masih dangkal, barangkali tidak  ada datanya.

Jika melihat ada tujuh narasumber mulai dari pak lurah, dua pengusaha batik, seorang pekerja, Pakar budaya, pihak Dinas Pariwisata dan Disperindag,  perlu sebuah kejelian agar penulisan tidak melebar dan menjadi dangkal . Seolah data yang sedikit ada hubungannya dengan pembahasan tetap dimasukkan dalam penulisan berita. Selain itu, kurang mengekspolor pembahasan lebih rinci. Jika data yang diperoleh sangat dangkal mending tidak usah dilibatkan, tidak ditulis atau wawancara ulang

Seperti paragraf dua dalam sub judul ‘Geliat Batik Jember’. Selain dua pengusaha Marwadi dan Haji Maskuri, ternyata pernah ada unit dagang batik selain mereka. Unit dagang Purnama milik Mustofa. “...Namun, menurut Ridwan unit dagang itu sudah tidak lagi produksi...” Afwan tidak menjelaskan, mengapa unit dagang tersebut tidak lagi produksi. Bagi saya itu cukup penting untuk mengetahui penyebabnya, bisa jadi karena tidak mendapat perhatian dari pemerintah atau kendala lain.

3.     Penggunaan diksi yang kurang konsisten dan kurang lugas. 

Dalam penulisan berita, tentunya diharuskan menggunakan kalimat yang lugas. Dalam artian tidak terdapat pengulangan diksi dan menuliskan gagasan yang ada hubungannya dengan pembahasan. Saya menemukan banyak sekali kata “kami” dalam mendeskripsikan atau menarasikan realitas dan peristiwa. Sebenarnya, kata kami bisa diminimalisir dengan menuliskan saja apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Kata kami cukup dituliskan sekali atau dua kali untuk mewakili keseluruhan. Bagaimana membuat pembaca sudah tahu, bahwa apa yang dideskripsikan dan diceritakan setelahnya sudah melibatkan subjek.

 Paragraf  delapan  dalam sub judul ‘menuju sumberpakem’, “ Mata kami menoleh, ke arah kiri jalan. Mendadak kami berputar balik setelah beberapa meter kami melewati penanda plang dari banner yang dicepit segi empat oleh bambu yang terpaku di batang pohon asam“ Kalau boleh usul untuk membuat deskripsi, karena di kalimat sebelumnya sudah menuliskan kata “kami”, jadi cukup itu. Selanjutnya misalkan cukup seperti ini saja, “Saat mengendarai sepeda motor, sempat terlewat beberapa meter dua buah banner dipasang di depan rumah dan pohon asam bertuliskan bla bla...” Terlebih lagi, penulis tidak menyebutkan apa yang tertulis dalam banner, untuk menguatkan identitas simbol tersebut.

Barangkali standart minimal penulisan berita di Millenium dalam setiap kalimat harus terdapat subjek, predikat dan objek. Akan tetapi, media besar seperti Pantau yang pernah menulis berita dengan penulisan jurnalisme sastrawi tidak harus demikian. Gaya penulisannya seperti bertutur dan mudah difahami. Ada yang satu kata setelah itu langsung titik juga tidak masalah, yang penting mudah difahami.

Mendeskripsikan  realitas dalam penulisan berita sebenarnya secukupnya saja. Dalam artian menuliskan simbol simbol yang ada korelasinya dengan pembahasan. Tidak semua detail dideskripsikan dan melebih-lebihkan kondisi yang sebenarnya. Misalkan suara jangkrik untuk menguatkan heningnya malam, atau simbol-simbol warna yang menjadi identitas. Saya menemukan hal aneh dalam paragraf dua dalam sub judul ‘menuju sumber pakem’, “...sinar matahari mulai menghangat. Kami harus cepat-cepat sampai di lokasi” mengapa harus cepat-cepat ke lokasi? takut kulitnya menghitam atau apa?

Contoh lain ada di paragraf pertama dalam sub judul ‘pemerintah bicara’. Terdapat Kutipan narasumber yang kurang diperhatikan, “...dalam pelatihan Pekalongan, Bangkalan dan Madura...” Setahu saya, Bangkalan salah satu kota di Madura, lalu mengapa harus dipisah dengan “dan” yang menunjukan keduanya berbeda. Ada lagi, di paragraf  ke tiga dalam sub judul ‘segurat sejarah’. “...Nenek Marwadi, seorang wanita dari Pekalongan...”Bukankah seorang nenek sudah pasti perempuan? Lantas mengapa harus dijelaskan bahwa nenek adalah seorang perempuan?

Dalam Penulisan nama panggilan narasumber, saya menemukan beberapa yang tidak konsisten. Kemudian, apa memang benar bahwa narasumber ditulis sesuai dengan nama panggilannya. Haji Maskuri ada yang ditulis H. Maskuri, dan Maskuri saja. Lihat dalam paragraf tujuh dalam sub judul ‘Menuju sumber pakem” untuk penulisan H. Maskuri. Kemudian paragraf enam dalam sub judul ‘melirik omzet batik Jember’ untuk penulisan Maskuri saja.

4.      Foto kurang mendukung isi berita.

Terkait visualisasi media, saat pertama melihat cover Majalah Millenium, saya senang karena berwarna. Tapi ternyata dalam isi tidak semuanya berwarna, hanya beberapa saja seperti Iklan Layanan Masyarakat (ILM).

 Bagi saya, akan lebih penting jika pewarnaan diberikan untuk foto dari pada karikatur. Apalagi liputan tentang batik, yang memiliki ciri warna tersendiri dibanding produk luar daerah. Ini akan menguatkan berita jika memang pewarnaan produksi batik di Jember lebih mencolok karena sesuai dengan kultur masyarakat madura di Jember. Berbeda dengan batik keratonan seperti di Jogja yang warnanya lebih kalem.
5.      Isi berita

Dalam penulisan laporan utama, kawan-kawan Millenium sama sekali tidak menuliskan sisi negatif dari industri rumahan tersebut. Barangkali bisa ditulis menjadi tulisan baru. Misalkan, Tentang kesejahteraan pekerja, berapa upahnya, bagaimana perbedaan pekerja tetap dengan yang tidak. Apa memang benar mereka sudah tercukupi, jika pekerjaan tersebut sangat menjadi kebutuhan. Jujur saja, saya lebih tertarik menulis tentang orang-orang kecil.

Apabila hanya mengungkap dari sudut pandang positif terkesan hanya promosi dan tidak jauh berbeda dengan iklan. Bisa saja penggunaan pewarna batik tidak ramah lingkungan, karena menggunakan bahan kimia dan masyarakatnya tidak menyadari hal tersebut.

Selain itu,  Proses pembuatan batik tidak dijelaskan. Barangkali bisa diceritakan produksi kain batik mulai awal sampai jadi. Hal ini bisa menjadi motivasi bagi pembaca untuk ingin belajar.

Kemudian terkait potensi identitas, mengapa Jember terkenal dengan tembakau. Sampai produksi batik menggunakan simbol tembakau untuk menunjukan bahwa produk tersebut khas Jember. Barangkali hal tersebut bisa diceritakan dari aspek sejarah misalnya, agar bisa menjadi nilai pengetahuan tersendiri.

Catatan:
 Masih banyak hal yang perlu kita diskusikan bersama terkait penulisan dan isi. Selain kita juga masih sama-sama belajar mengkritisi dan terbuka. Agar bisa menulis lebih baik lagi. Bagi saya, sebuah penilaian teks yang enak dibaca, tidak terlepas dengan unsur subjektifitas. Dari keberagaman persepsi ini lah akan muncul proses dialog agar objek yang dikaji lebih berkualitas. Terimakasih dan tetap menulis! 

Jember, 1 Januari 2013

·         Tulisan ini pernah buat lomba sinopsis di UPM Millenium STAIN Jember.

Menyontek Bukan Kesalahan Mahasiswa


Jember, 5 April 2013. Pukul 11.30

Musim Ujian Tengah Semester (UTS) di Universitas Jember baru saja selesai.  Suasana tegang saat mahasiswa menunjukan kemampuannya kepada dosen pengampu matakuliah lewat UTS sudah reda. Setelah mahasiswa menelan ribuan teks dan vokal teori yang diberikan dosen di bangku kuliah selama setengah semester.

Salah satu tolak ukur dosen untuk mengetahui kemampuan mahasiswa selama satu semester di bangku kuliah memang dengan tugas kuliah, UTS dan Ujian Akhir Semester (UAS). Metodenya kurang lebih ada dua: menguji mahasiswanya dengan dialog dan tulis. Pastinya sebagian besar mahasiswa yang kurang memahami materi yang diajarkan dosen akan memilih ujian tulis. Karena masih ada peluang bagi mahasiswa untuk menyontek. Meski pengawas ujian sebuas apa pun. Setidaknya masih ada nyali untuk  “curang”.

Bagi saya, budaya menyontek sewaktu ujian bukan murni kesalahan mahasiswa. Tapi kegagalan dosen mengajar materi kuliah. Metode pengajaran yang tidak dialogis, membosankan dan tidak bisa membuat mahasiswa senang membaca bisa menjadi penyebab merebaknya budaya menyontek. Kegagalan dosen saat mengajar bisa diamati ketika mahasiswa dijadikan objek saat berada di dikelas.   

Menurut Paulo Freire dalam buku Politik Pendidikan, semua yang ada di kelas termasuk guru adalah subjek. Dalam artian yang menjadi objek adalah materi atau permasalahan masyarakat yang ada di sekitar, bukan mahasiswa atau teks materi dosen.

Mahasiswa dikatakan menjadi ‘objek’ ketika dosen lebih dominan berbicara di kelas dan pangkal dari kebenaran adalah apa yang dikatakan dosen. Seolah mahasiswa cukup datang, duduk, diam lalu pulang. Solusi yang dikatakan Freire, seharusnya proses mengajar dosen di kelas dengan cara dialog. Sehingga muncul beragam argumentasi dari mahasiswa. Mahasiswa pun belajar menganalisa permasalahan dengan nalar berfikir dari pengalamannya masing-masing. Bukan menghafal materi yang diajarkan dosen. Selain itu, mahasiswa bisa menjadi semakin mandiri untuk belajar saat memiliki tanggung jawab berbicara di kelas.

Dengan demikian, sudah tidak perlu ragu atau kurang percaya diri saat mengerjakan soal ujian. Karena sudah difahami dan sering diperbincangkan di kelas bersama-sama. Bukan menghafal. Jika metode mengajar dosen tidak dialogis, bisa jadi mahasiswa hanya menghafal dari yang dikatakan dosen. Pokoknya mendengarkan, sambil mencatat. Sehingga tidak ada nalar kritis untuk mempertanyakan kebenaran dari materi dosen. 

Selain itu, ketika dosen lebih dominan berbicara akibatnya membuat mahasiswa bosan, mengantuk, saat berada di kelas selama satu sampai dua jam. Sehingga muncul perbuatan vandalisme, seperti corat coret bangku kuliah: yang terkadang juga berisi makian kepada dosen. Jika sudah demikian tujuan datang kuliah hanya untuk absen dan mendapat nilai, bukan memahami materi.  


Pengalaman Menyontek

Bagi saya, ada dua subtansi yang berbeda dari hal menyontek. Yang pertama melihat jawaban orang lain atau teman disebelahnya. Kedua membawa referensi materi yang diberikan dosen, dari buku, atau melihat informasi di internet lewat telefon genggam untuk menjawab soal ujian.

Saya masih ingat saat menjadi mahasiswa baru semester dua. Dosen saya sangat menyenangkan. Satu Minggu sebelum ujian berlangsung dosen saya memberi soal ujiannya terlebih dahulu: dengan tujuan agar mudah saat mengerjakan.

Menjelang ujian, saya sudah mempersiapkan jawaban di selembar kertas. Sehingga waktu ujian tinggal nulis ulang di lembar jawaban. Waktu itu pengawas ujiannya cukup buas. Matanya selalu mencari kesalahan peserta ujian. Saat melihat soal ujian, memang benar. Soalnya sama persis seperti yang diberikan dosen Minggu lalu. Saya dan teman-teman menjadi uforia, tidak ada perasaan tegang, hanya macak serius. Karena semua jawaban sudah ada, tinggal menyalin.

Saat pengawas ujian sedang ngobrol dengan temannya, itulah kesempatan saya untuk menyalin jawaban yang sudah saya siapkan. Saat ujian berlangsung, peserta ujian memang dilarang membawa buku, contekan, berbicara dengan teman mau pun megoperasikan telefon genggam. Peraturan tersebut biasanya tertempel di pintu kelas. Sanksinya bisa ditulis dalam berita acara ujian dan peserta dikeluarkan dari ruangan. Secara tidak langsung, jawaban yang sudah saya siapkan dari awal menjadi bahan contekan.

Contekan tersebut saya selipkan dibawah pantat, jika pengawas ujian sedang mengawasi peserta. Tapi sayangnya, belum selesai saya menyalin, pengawas mengetahuinya. “Kertas apa itu yang kamu duduki?” Sial, ternyata contekannya tidak sepenuhnya saya duduki sehingga masih terlihat. Setelah itu apa yang terjadi? Silahkan anda nilai sendiri.

     *Tulisan ini pernah dimuat di Mading Nuansa LPMS-Ideas.
 






Rabu, 10 April 2013

Ngerumpi




8, februari, 2012.
Selasa malam, saya ngumpul bareng dengan teman-teman satu kampus di warung kopi DPR Jember. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari system pengajaran dosen yang tidak menyenangkan, tentang temen cewek di facebook, fotografi dan hal-hal kecil lainnya yang kadang berbau ‘gosip’. 

Jika difikir-fikir, meskipun dalam aturan agama maupun etika, yang namanya ‘gosip’ atau lebih akrab dikatakan ngerumpi, itu kurang baik,  namun rasanya ada gunanya juga. Di warung kopi maupun di mana pun itu, ketika terbentuk  kerumunan, pasti terjadi proses dialogis.  Saling tukar pengalaman, gagasan, maupun canda tawa. Di situlah, ruang kebebasan untuk berbicara dan berpendapat bisa kita nikmati. Selain itu muncul beberapa kritik untuk saling membangun antar teman maupun siapapun yang menjadi bahan perbincangan sebagai bahan korenksi diri, meskipun objek yang dibicarakan terkadang tidak ada disitu. 

Sebenarnya saya sendiri ‘ogah’ dengan yang namanya tontonan infotaiment seputar selebritis di telivisi dan di berbagai media. Terkesan hanya informasi yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan realitas problem di masyarakat. Sebuah kepentingan media infotaiment, maupun artis sebagai sarana popularitas individual yang saling membutuhkan antara keduanya. 

Ada berbedaan mendasar antara ngerumpi secara terbuka dengan tertutup. Ngerumpi secara tertutup hanya akan dinikmati oleh orang-orang dalam kerumunan itu sendiri. Ngerumpi secara terbuka seperti di media selebriti, akan dipublikasi di kahalayak umum melalui media.  seseorang yang dijadikan bahan perbincangan memang saling mengetahui. Akan tetapi hal tersebut secara tidak sadar akan mengkonstruk pemikiran publik utuk turut mengikuti pola hidup mereka yang cenderung hedon. Tentang popularitas selebriti yang menjadi tren bagi kalangan muda, turut  digunakan dalam bahasa tren sehari hari. “Sesuatu banget” ala Syahrini misalnya. Namun Saya akan sepakat jika ngerumpi dalam bentuk apapun bisa mengandung unsur yang mendidik. 

 Awalnya saya malas untuk keluar dari kontrakan untuk malam itu, entah itu ngopi maupun hal lainnya. Tak lama kemudian, Firman tiba-tiba mengirimi saya pesan singkat. Ia mengajak ‘ngopi’ mala ini. Rasanya tidak enak mau menolak ajakannya, karena kami cukup lama tidak ngopi bareng. Sambil berfikir, saya sengaja tidak membalas pesan tersebut.  Sampai akhirnya Firman mengirim pesan lagi, “mbot pye? Mesti lak diSMS gak tau mbales.” Setelah membaca, serentak saya langsung membalasnya, seolah baru tahu kalau dia mengirim pesan. “heh, iyo. Ayo nangdi?.” Saya menjawab dengan penuh antusias, meskipun tidak dalam fikiran saya. 

Akhirnya saya berangkat bersama Diki menuju kos dimana Firman tinggal, sebelum berangkat menuju warung kopi. Sesampai di warung kopi, firman merasa aneh dengan tingkah laku saya yang menurutnya cenderung diam. “ Untuku sakit mbot, seng mburi tukul maneh untuku” jawabku. Oooo iyo, pancen loro, aku yo tau. Sejak itu, rasanya Firman sudah tau mengapa saya terlihat kurang antusias untuk ngopi malam itu.

Terlepas dari itu semua, saya sempat ingat dengan kejadian yang ada di perkebunan PTPN Silosanen,  Jember. Setelah membaca makalah Erna Rochiyati S, Yang juga membahas sebuah rasa perlawanan melalui ‘gosip’. Suatu makalah yang sempat disajikan dalam  Seminar Nasional “Mengangan Ulang (Ke) Indonesia (an)” Pekan Chairil Anwar. Fakultas Sastra, Universitas Jember, 18-19 Mei 2011.

Pada awalnya, terjadi peran ganda yang dijalankan oleh ibu-ibu rumah tangga pekerja buruh perkebunan PTPN Silosanen. Peran ganda tersebut berupa pekerjaan sebagai buruh dan diwilayah domestik. Pekerjaan tersebut dilakukan bukan semata sebuah aktulisasi diri untuk bekerja karena keinginan. melainkan karena tuntutan untuk turut membantu kebutuhan finansial rumah tangga, karena gaji suami yang juga  bekerja sebagai buruh terbilang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.  

Para buruh tersebut tidak mendapat upah kerja yang sesuai dengan keringat bercucuran, sebesar 350 ribu perbulan. Selain itu jaminan kesehatan yang tidak memadai juga dirasakan. Meskipun demikian, hal tersebut tidak membuat mereka tinggal diam. Muncul benih perlawanan berupa ‘ngerumpi’ untuk membicarakan keluhan yang mereka alami tentang harga sembako yang naik dan hal lain seputar kebijakan pemerintah maupun pihak perkebunan. 

 Sebuah gerakan protes yang halus, Menurut Sartono Kartodirjo, Banyak macam bentuk gerakan protes, mulai hanya sekedar diam yang melambangkan sebuah perlawanan sampai gerakan radikal. Ngerumpi atau rasan-rasan merupakan gerakan diam, Sebuah protes tertutup tanpa menyuarakannya langsung kepada objek yang diperbincangan. 

Barangkali karena meraka memang merasa butuh dengan pekerjaan tersebut, Sehingga tidak berani protes.Selain itu merasa ada penghasilan rutin setiap bulan, tempat tinggal yang sudah disediakan dan tesedia rutinitas pekerjaan, meskipun dari pekerjaan tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan hidup. 

Mahalnya pendidikan merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan dan kesenjangan dari para buruh itu sendiri, kurangnya kesadaran politis yang membuat mereka cenderung menentukan sikap ‘diam’. Namun dengan ‘rasa terekspolitasi’ karena pemerintah dan sistem perkebunan yang belum mampu menyejahterakan. para buruh menyampaikan protes dengan cara ngerumpi untuk saling berbagi cerita layaknya diwarung kopi.

*Tulisan ini pernah saya upload di facebook Uliel Petrik





Senin, 08 April 2013

Peristiwa Berdarah DI LP Cebongan



Jember, 7 April 2013.

Liputan Majalah Tempo pekan ini mengulas kasus pembunuhan empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Cebongan, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Diduga kuat pelaku pembunuhan dari Koppasus. Analisa Tempo dalam laporan investigasinya ini cukup mendalam. Dugaannya sangat masuk akal. Koppasus melakukan balas dendam setelah ke empat tahanan membunuh  Sersan Kepala Santoso Anggota Koppasus TNI AD dari Grup II, Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah. 

Sekitar pukul sebelas siang, (23/03) puluhan tahanan dari Kepolisian DIY, dititipkan di Lapas Cebongan. Empat di antaranya merupakan tersangka pembunuhan Santoso. Kepala lapas akhirnya takut akan terjadi masalah. Kepolisian DIY menghubungi Panglima Kodam TNI Diponegoro, agar tidak mengganggu dan meminta jaminan ke amanan untuk empat tahanan. Seperti yang dikutip Tempo ia menjawab, “Tenang, akan aman”

Deki salah satu dari empat tahanan lain sudah merasa ada yang tidak beres. Ia mencoba bertanya kepada sipir tentang keamanan di Lapas Cebongan. Masalah kelengkapan senjata, Sipir menjawab seolah meyakinkan. Sejumlah senjata seperti laras panjang, laras pendek, dan senjata kejut. Meski demkian ke empat tahanan masih merasa was-was. Teman-teman tahanan lama terlihat asik bermain kartu tapi mereka tidak bergabung. 

Siapa yang tidak mengenal Deki, bagi tahanan lama ia sangat disegani sehingga meski baru masuk Lapas langsung dipanggil “Bang.” Deki merupakan tahanan yang terkenal dengan aksi kejahatannya: memperkosa dan membunuh. Sehingga sebelumnya ia sudah pernah masuk bui, dan kembali melakukan tindak pidana membunuh salah satu petinggi Koppasus. 

Firasat buruk dari petugas LP Cebongan dan ke empat tahanan ternyata benar terjadi. Sekitar pukul satu dini hari, belasan orang memaksa masuk Lapas dengan mengancam akan meledakan Lapas jika permintaannya untuk membuka gerbang  pintu masuk tidak dituruti. Setelah dibuka, Petugas Lapas ditodong dengan senjata dari belakang kepala yang diminta untuk mengantar menuju “kamar” tahanan kawanan Deki. 

Dua orang masuk menuju sel tahanan, sedangkan yang lainnya menyebar untuk berjaga-jaga di luar LP cebongan, di dalam ruangan setelah pintu masuk. Pelaku merusak sejumlah kamera pengintai.  Setelah sampai di sel tahanan, satu orang berjaga-jaga satunya lagi masuk ke dalam sel untuk menjadi eksekutor.

Sejumlah tahanan sekitar 30 orang berkumpul menjadi satu, termasuk kawanan Deki. Para tahanan terlihat sedang tidur. Pelaku berteriak mencari kawanan Deki. Para tahanan tidak ada yang menjawab. Pelaku mengancam akan membunuh semua tahanan. Tapi tetap, para tahanan masih bergerombol dan tidak mau menjawab. Pelaku akhirnya menyuruh para tahanan yang bukan kawanan Deki memisahkan diri di sebelah kanan. Cara ini ternyata ampuh. Tiga orang yang masih di tempat langsung diberondong dengan timah panas.

Pelaku sadar, masih ada satu yang bersembunyi di gerombolan tahanan lain. Pelaku tidak kesulitan mencari tahanan yang ia cari. Mimik mukanya terlihat ketakutan, ia ternyata berlutut di sebelah tembok. Pelaku menembakan timah panas tepat di mulut korban.  Darah pun berhamburan mengenai tahanan yang ada disebelahnya. 

Seperti yang dikutip Tempo dari sumber anonimnya, salah satu tahanan berteriak “Hidup Koppasus.” Pelaku pun menghardik, “ Kamu bilang apa, saya bunuh kamu.” Salah satu teman pelaku mengingatkan, untuk segera keluar dengan menunjukan jam tangan. Sebelum keluar dari ruangan tiga mayat yang  ada di sebelah kiri masih ditembak lagi dengan timah panas. Ke dua pelaku tidak lari, hanya berjalan cepat.