Sabtu, 06 April 2013

Ke-bebasan Pers


Sabtu,28 April 2012 Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), mengadakan diskusi di skretariat AJI jalan semeru gang XX No X-17, Jember. Acara diskusi tersebut membahas mengenai ‘Hukum dan Kebebasan Pers Pasca Rezim Otoritarian di Indonesia" untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional. Pembicara yaitu Herlambang, salah satu dosen Fakultas Hukum di Universitas Negri Airlangga (UNAIR). Sekarang Sedang melakukan riset kebebasan pers dalam perspektif hukum untuk gelar S3. Dalam pembahasan studinya, muncul dari sebuah rasa ingin tahu dan pencarian kebenaran tentang berlakunya hukum kebebasan Pers setelah runtuhnya rezim Soeharto tahun 1999. Seolah-olah, kebebasan pers sudah sepenuhnya tercapai. Tapi pada kenyataannya belum. Masih terdapat kasus kekerasan, pembunuhan terhadap wartawan, dan lebih banyak dari pada masa Soeharto. Meski sudah dilakukan perubahan undang-undang hukum pers, bahwa tidak ada lagi Pembredelan, tidak ada lagi sensor, dan tidak ada lagi Izin usaha.
Ada perbedaan jiwa zaman, antara pemerintahan Soekarno (Orde lama), Soeharto (orde baru), sampai sekarang. Namun juga masih terdapat kesalahan yang hingga saat ini masih dilestarikan. Misalnya undang-undang pembredelan

Dalam diskusi tersebut, Mahbub Djunaidi dari wartawan Tempo, menjadi moderator. Peserta yang hadir bukan hanya dari wartawan lokal dan anggota AJI, namun juga temen-temen Pers Mahasiswa (Persma). Ini dilakukan kepada generasi muda sebagai sarana pemebalajaran sejak dini sebelum terjun ke dunia jurnalistik. “Bagi Temen-temen Persma, sebagaimana kegiatan AJI sebelumnya juga sering kita libatkan. Paling tidak selain menjadi tambahan wacana, sebelum nanti mungkin temen-temen ini lulus juga terjun dalam dunia jurnalistik,” ujar Mahbub.

Dalam proses penelitiannya, Herlambang mencoba mempelajari undang-undang tentang kebebasan pers di indonesia. Ternyata terdapat kesalahan, berupa undang undang warisan kolonial, dan masih terdapat undang-undang pembredelan. Selain mempelajari teks undang-undang skala nasional, yang diperoleh dari Indonesia mau pun Belanda, Ia sudah melakukan riset di berbagai daerah. Ini dilakukan untuk mengetahui kerja hukum pers di tingkat lokal. “wilayah yang saya riset itu lima wilayah. Medan, Surabaya, Jakarta, Makasar, Mataram. Nah, dapat tambahan dari Fakultas Hukum UNAIR, nambah Aceh, Denpasar, Kupang dan Papua. Tapi karena duitnya cukup, saya keliling di beberapa kantor Aji, di Pontianak, Ternate,” ungkapnya. .

Kebebasan pers, ternyata belum sepenuhnya kita miliki. Menurut Herlambang beberapa kasus pers di Indonesia, wartawan mau pun editor, belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan dari lembaga ‘Pers’nya sendiri sampai ke ranah hukum. Berbagai kasus yang dialam wartawan tidak hanya berujung pada permintaan maaf. Namun juga sampai diranah kasus pidana mau pun perdata. “Jadi wartawan menulis kemudian dilaporkan ke polisi, itu paling sering. Trendnya awal-awal reformasi, sampai kepresidenan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) itu lebih banyak kasusnya. Tapi tren itu lebih bergeser ke yang kedua, perdata. Jadi kasus pers itu lebih banyak diwarnai gugatan keperdataan. Wartawan menulis, keliru di gugat. Wartawan menulis digugatnya itu gak tanggung-tanggung. Ada yang satu milyard, tiga milyard,” ujar Herlambang.

Jika dibandingkan dengan negara lain, di Skandinavia, hukuman pidana terhadap wartawan mau pun editor sudah mulai dihapus. Di Indonesia secara hukum, sebenarnya juga memiliki peraturan yang lebih berpihak pada keadilan. Dewan Pers sudah melakukan perjanjian dengan polisi dan hakim, jika terjadi kasus pers di peradilan, yang menjadi saksi ahlinya itu harus Dewan Pers. Ini berlaku sejak munculnya surat dari Mahkaman Agung tahun 2008. Menurut Herlambang, hal tersebut merupakan perkembangan bagus dan maju, yang tidak dimiliki oleh negara lain.

Peserta diskusi dari Persma, ada yang menanyakan bagaimana jika dalam kerja-kerja jurnalistik wartawan tidak sesuai dengan kode etik. Apa masih diberi perlindungan?, Juga seperti yang pernah ditulis dalam situs online Dewan Pers, yang menyatakan bahwa sekitar 70% wartawan Indonesia, tidak memahami kode etik jurnalistik. Menurut Herlambang, dia tidak mengetahui secara kuantitas, dan untuk wartawan yang tidak mematuhi Kode etik, sudah pasti tidak mendapat perlindungan dari Dewan pers. Sebab hal tersebut sudah masuk dalam kerangka kasus pidana. Berbeda lagi dengan wartawan yang benar-benar tidak tahu atau tidak sengaja, itu baru mendapat advokasi.

Beberapa peserta diskusi, terutama wartawan, sejenak terdiam. Tidak lama kemudian, Mahbub dari Tempo membenarkan jika wartawan Indonesia banyak yang tidak memahami kode etik. “Ya mungkin memang benar, karena alasan terlalu sibuk dan lain sebagainya. Hingga muncul rasa malas hanya untuk membaca, memahami dan merasakan poin-poin dari kode etik”.



















Tidak ada komentar: