pencarian identitas idiologi perma kekinian.
Perbandingannya dengan pers mahasiswa tempo dulu.
Terlihat rona wajah asing, beberapa juga baru saling kenal. Mereka berkumpul dalam satu ruangan yang sedikit mewah dari sebelumnya, rumah baca atau yang lebih akrab disebut tikungan. Di tempat itulah, Jum'at 10 Desember 2011 diadakan diskusi bersama yang dihadiri oleh beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) se-Jember. Kegiatan tersebut dibentuk oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) kota jember yang bekerja sama dengan kelompok tikungan. Dalam diskusi tersebut, membahas tentang ‘seperti apa media pers mahasiswa (Persma) sekarang’.
Setelah tor diskusi dibagikan, suasana diruang
yang terbilang cukup lebar tersebut mulai reda, terlihat mulai membaca
pengantar diskusi. Tidak lama kemudian, diskusi dibuka oleh Sekertaris jendral PPMI jember, Riski
Akbari S. “PPMI merupakan tempat berkumpulnya wajah-wajah LPM sejember, dan
nama ketuanya Sekjend,” ujar Riski.
dangan saling memperkenalkan diri, mereka terlihat malu-malu dan
diiringi canda tawa. Tersedia dua Teman bicara untuk berbagi pengalaman.
Pertama dari Ecpose, Nody Arizona. Ia pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi
(Pemred) dua periode. Selanjutnya dari Tegal Boto (TB), Didik Saputra, Sekarang
menjabat sebagai pemimpin umum (PU).
Persma
Tempo dulu.
Persma terbentuk salah satunya sebagai
media alternatif ketika rezim orde baru (Orba) berkuasa. Ini terjadi saat Soeharto membungkam
dan membekukan media umum yang terbilang kritis terhadap pemerintah. Mahasiswa yang merupakan ras intelektual,
menuntut hati nurani mereka untuk bergerak ‘bersama’ dari beragam latar
belakang Organ, ekstra maupun intra kampus. Suara mereka satu, walaupun latar
belakang ideologi mereka berbeda. Dengan demikian, persma saat itu terbentuk
dalam ideologi satu untuk musuh bersama. Terbukti dengan banyaknya media yang
dibredel kala itu, salah satunya seperti pernah terjadi dengan SAS yang
merupakan lembaga persma dari sastra dan akhirnya berubah nama menjadi IDEAS.
Semangat mereka jelas sangat terasa, sampai
puncaknya tahun 1998. Mahasiswa menjadi motor penggerak reformasi dengan
runtuhnya rezim Soeharto. Akhirnya media
umum ‘meluap’ setelah mendapat kebebasan
untuk berbicara kritis diranah politik. Namun, bagaimana dengan pers mahasiswa
kekinian? Dengan segenap ketegasannya, Riski
memulai pembicaraan dengan menjelaskan
segurat sejarah persma tersebut.
Kemudian Riski mencoba memancing pendengar
diskusi yang dihadiri oleh beberapa LPM se-Jember tersebut. ia membandingkan persma
tempo dulu dengan sekarang untuk semangatnya “Apakah persma lupa dengan
sejarahnya? Kok terbitnya satu tahun sekali,” ujarnya lalu disambut dengan
suasana penuh keheningan.
Sejarah
singkat beberapa LPM dengan era kekinian
Setelah dirasa usai menjelaskan segurat
sejarah Persma, Riski memberi kesempatan kepada Nody untuk menjelaskan lebih
lanjut tentang bagaimana perkembangan media persma. Pemred berambut ikal tersebut mencoba menceritakan tantang media
yang selama ini lebih dekat dengannya yaitu produk Ecpose sendiri.
Persma memang selalu bergerak melawan,
melindungi dan lebih memihak demi kebenaran. Dan semua LPM memiliki sejarah
tersendiri. Kalaupun semangat mereka sudah luntur,apakah karena sudah lupa
dengan sejarah tempo dulu ?. Zamannya memang sudah berbeda. Lantas seperti apa sejatinya media Persma sekarang? ‘Menjadi
media alternatif atau hanya media kampus sebagai ruang pembelajaran’ tegas
Nody. Setelah beberapa saat, terlihat mimik muka teman-teman LPM tampak bisu.
Akhinya di Ecpose sendiri menciptakan
produk semi jurnal ‘Buldok’ untuk bisa menampung isu kekinian dan
penggarapannya lebih mudah.” karena tidak memungkin kita terlalu lama menggodok
isu dalam skala kecil terlalu lama.” Imbuh Nody sambil menutup perbincangannya.
Dialog dalam bentuk Tanya jawab belum
dibuka. Selanjutnya pemaparan dari PU Tegal Boto (TB), Didik. Dengan terperinci ia
menjelaskan sejarah singkat TB yang
merupakan lembaga pers mahasiswa dalam skala Universitas Jember (UJ). Tahun
1993, TB lahir dari rahim temen-temen LPM disetiap fakultas UJ. antara lain
dari IDEAS, Ecpose dan masih banyak yang lain. Dalam tubuh TB, terdapat
dualisme latar belakang organisasi yang berbeda. Antara delegasi pengurus dari organisasi
intra (LPM, Red.) dan organisasi Ekstra kampus. Medianya pun berbeda “Untuk
ekstra nama medianya ‘Tawang alun’ dan TB tetap Tegal Boto,” ujar Didik.
Pengurus TB diambil dari delegasi setiap LPM, sehingga sudah
membekali ilmu kejurnalistikan. Dari majalahnya tahun 1997, tag line media TB
di wilayah politis yaitu ‘ Amanat nurani mahasiswa’ saat punya musuh bersama
yaitu soeharto. Kemudian Tahun 1998
setalah rezim runtuh dan tidak memiliki musuh bersama tag linenya berubah ‘menuju tradisi kerakyatan’.
Banyak terjadi konflik idiologis
setelah berbagai organisasi mahasiswa
tidak memiliki musuh bersama dengan runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998. Akhirnya pada tahun 1999 ketika rezim Orba
runtuh, banyak masalah yang dialami TB. Muncul persaingan untuk saling
menjatuhkan yang walaupun berada dalam satu tubuh antara golongan ekstra dan
intra. “Kadang waktu temen-temen dari intra nulis, diam-diam mereka hapus.
Begitu juga sebaliknya,” ujar Didik dengan sedikit mengenang masa itu. Namun akhirnya disepakati untuk menghapus organ
ekstra di TB Pada kongres tahun 2000.
Tahun 2001 kembali berubah ‘Menuju
pencerahan masyarakat’ dengan menyesuaikan pada jiwa zaman. Menggunakan pisau
analisis filsafat dengan menghilangkan metode penulisan jurnalisme, seperti ‘reportase’.
“Namun kita juga membuat produk untuk ke hal reportase, ada TB post yang Isinya
berita,” imbuhnya
.
.
pembicaraan berlanjut dengan saling tukar
pendapat antar temen-temen LPM. Beberapa diantaranya juga bertanya mengenai
permasalahan yang sedang dialami lembaga. Mulai dari permasalahan paling rumit
hingga yang paling mendasar. Seperti yang dialami eksplant, LPM dari Politeknik
Negri Jember (Poltek). “Kita pernah dipanggil dekanat waktu mengangkat isu yang
terbilang sensitif,” ujar salah satu awak lembaga.
Cahaya matahari terlihat mulai redup, tidak
lama kemudian Rizki menutup diskusi dengan beberapa kesimpulan, “Kerja pers itu
kerja kaki dan aku tidak akan menarik benang merah dari diskusi ini, paling
tidak diskusi ini bisa berlanjut.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar