Jumat, 05 April 2013

Pembunuhan Masal yang Terlupakan


Saya pernah berbincang dengan tetangga, depan rumah di wilayah Muncar, Banyuwangi. Saya mencoba bertanya, seperti apa kondisi hari, bulan paska terbunuhnya 6 Jendral di Jakarta. Kondisinya begitu mencekam, suara burung setiap pagi seakan berhenti, sunyi, sungguh benar benar sunyi. Tidak ada orang orang berkeliaran di luar, setiap hari diberlakukan jam malam. semua mengalami ketakutan, dan lebih memilih berdiam diri di rumah.

Apa yang sebenarnya terjadi pasca pembantaian jendral di jakarta 30 september tersebut.? Di setiap daerah di luar jakarta tidak ada yang benar benar tahu. Masyarakat tentunya lebih memilih memikirkan apa yang harus dimakan besok daripada harus memikirkan masalah politik, yang justru menambah beban hidup. Paling tidak masih ada yang tahu, meski tidak pasti benar, hanya tahu.

Sejarah bukan hanya untuk dijadikan kenangan, cerita usang masala lalu. Sejarah merupakan lembaran dari sebuah pengalaman manusia terdahulu, untuk menjadi pembelajaran generasi seterusnya. Maka dari itu, sejarah sudah pasti akan diajarkan di pendidikan formal, bagi masyarakat yang mampu mengenyam pendidikan, dengan harga sama namun terasa beban yang berbeda, buat simiskin dan kaya.

Sejarah telah mencatat di pelajaran pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Tentang peristiwa G 30 S. Saya masih ingat dengan guru SD ketika menerangkat masalah tersebut. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 6 SD, beliau mengatakan peristiwa pembunuhan jendral tersebut merupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kata kata biadap, pembantaian, pengkhianatan, sudah lumrah menjadi diksi pendamping untuk pembahasan peristiwa tersebut. Dan ironisnya, tidak ada pembahasan pembantaian masal yang terjadi di setiap daerah Terutama di jawa, bali dalam pelajaran formal.

Siapa pelakunya, Dalam lembaran sejarah versi orde baru disebutkan, PKI adalah dalang dari pembunuhan Jendral, karena ingin mengkudeta pemerintahan yang pada tahun 1965 soekarno jatuh sakit. Apa benar dibalik kejadian tersebut, pelakunya adalah PKI?, seorang ilmuan, memang harus mencari akar permasalahan berdasarkan fakta, dengan konsepsi berfikir kritis dan analitis. Jika penelitian hanya dilakukan sepihak, otomatis menjadi tidak seimbang. Dan itulah yang terjadi. Sejarah hanya menjadi legitimasi soeharto untuk mengangkat citranya, lalu militer menjadi basis pahlawan orde baru.

Kita bisa membaca sejarah nasional sampai jilid 6, tidak ada pembahasan terkait peristiwa G 30 S di setiap daerah, atau tingkatan lokal. Itulah sejarah versi orba, dan Nugroho notosusanto menjadi sejarawan yang merekonstruksi ulang peristiwa tersebut dengan tidak berimbang. Terbukti setelah Orba runtuh pada tahun 1998, ketakutan ketakutan yang diciptakan soeharto mulai runtuh, media sudah bisa mengambil nafas dengan lega, dalam artian tidak ada lagi pembredelan, dan surat ijin penerbitan dari mentri penerangan. Sudah berarti kebebasan berbicara dan berpendapat tumbuh kembali.

Mengapa tidak terungkap, tidak lain karena tidak adanya kebebasan berbicara, berpendapat, di bawah negara demokrasi. Era orde baru, merupakan sangkar politik untuk para rakyat yang berani melawan. Di bawah pimpinan presiden soeharto, siapa melawan maka berhadapan dengan moncong senjata. Media menjadi sarana untuk menciptakan fakta untuk kepentingan politis. Selain buku buku formal yang tidak jauh berbeda. Tempo, kompas, harian rakyat, prioritas, pernah dibredel karena terdapat nilai berita yang kritis. Buku buku yang berhaluan ke kirian, seperti ideologi marxisme leninisme dilarang terbit di Indonesia. Sebab Citra PKI yang telah berkhianat.

Seperti karya novel Pramoedya Ananta Toer yang jumlahnya sekitar 40, dilarang beredar. Meski demikian sudah banyak diterjemahkan diluar negara dengan berbagai bahasa. Karya Pram memang sangat monumental, pram mampu merekam daya ingatnya dan dituangkan bersama imajinasinya menjadi novel. Ia tidak pernah membela sia pun, tapi menulis apa adanya. Tidak heran jika karya karya pram disebut sebagai novel sejarah. Pram banyak menulis di pulau buru saat menjadi tahanan politik soeharto, karena dituduh terlibat dengan komunis.

Selain pram, masih ada novel karya mas marco kartodikromo berjudul student hijo, dan beberapa buku ilmiah seperti ‘Palu Arit di Ladang Tebu’ karya Hermawan sulistyo. Hermawan mencoba mengungkap permasalahan lokal tentang peristiwa pembunuhan masal tersebut, yaitu didaerah Jombang dan kediri. Sebuah lembaran sejarah kelam telah mewarnai bangsa ini. Ribuan nyawa melayang, tanpa ada yang tahu berapa jumlah sesungguhnya korban yang telah meninggal.

Di Jombang dan kediri, terdapat pabrik gula yang dikelola oleh pemerintah. Sudah sering terjadi aksi protes yang dilakukan oleh PKI untuk membela kaum buruh. Tarutama dengan kelompok Ansor, sebuah organisasi berlandaskan idiologi islam Nahdatul Ulama (NU). Setelah peristiwa G 30 S pecah, kelompok ansor yang sudah sering mengalami perseteruan dengan PKI menjadi lebih geram. Pambantaian yang tidak manusiawi pun terjadi di mana pun. Ketika melihat orang PKI. Bisa dipasar, atau melalui operasi malam dan di bunuh di tepi sungai brantas.

Kejadiannya terus berlangsung sekitar setahun lebih, sejak November 1965 sampai Januari 1966. Bulan bulan November sampai juni, pembantaian terhadap orang PKI cukup terbuka. Dan bulan bulan selanjutnya sudah mulai tertutup.
Hermawan pernah melihat sewaktu kecil, mayat mayat terapung di sungai berantas, dan itu sudah dianggap sebagai hal biasa, dan wajar wajar saja. Menurutnya itu merupakan awal dari rasa penasarannya untuk menulis hal tersebut.

Menurut Asvi Warman adam, dalam buku Panggung sejarah mengatakan, peristiwa G 30 S merupakan peristiwa yang penting untuk di ungkap sebelum pelaku-pelaku sejarahnya meninggal. Dalam historiografi modern, kita sudah tidak menggunakan lagi istilah no document no history, melainkan bisa memanfaatkan lewat sumber lisan, atau wawancara kepada pelaku sejarah. Untuk merekam hal-hal yang tidak ada dalam dokumen, bahkan yang belum terungkap.

Paling tidak dengan turut membahas permasalahan tersebut, bisa mengungkap kembali apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan tidak benar-benar dilupakan, sebab dalam sejarah versi orde baru, peristiwa tersebut benar benar ingin dilenyapkan. Beberapa media yang memuat seputar G 30 S di tahun 65-66 sudah disita dan disimpan oleh militer. Agar peritiwa tersebut lenyap, dengan menenggelamkan data.


Jember, 15 Oktober 2012.

-Mohamad Ulil Albab-

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Nenekku juga anti PKI, dulu katanya Nenek sungai Brantas Jombang sampai berwarna merah gara-gara mayat PKI dibuang ke sungai dan dulu (sekitar tahun 1990an) pernah ditemukan tengkoraknya kepala manusia disitu! Nenekku orang Jombang asli, tapi aku orang Sidoarjo! :D