Sabtu, 02 Maret 2013

Panorama Laut Tanjung Papuma

Minggu, 25 maret 2012.

Baru saja kita pulang dari tanjung papuma, Selepas senja yang menemani, tinggal lelah yang tersisa. Kebahagiaan bersama teman-teman memang indah, ada canda tawa, gurau, meski hanya sebentar. Seperti indahnya bangunan pasir di tepi pantai, sesudah itu lenyap terhempas ombak.

Jika dihitung, sudah sekitar enam atau tujuh kali saya mengunjungi papuma. Ada keindahan tanjung papuma yang sukar untuk dilupakan. Suara deru ombak menggema di setiap tebing, bersama hembusan angin semilir yang membelai tubuh. Mata yang dimanjakan dengan biru air laut, lalu bergemulai bergerak membentuk gulungan ombak, satu persatu menuju ketepian secara teratur. Pasir putih juga terasa lembut di telapak kaki, dan meninggalkan jejak. Itu lah yang membuat rasa rindu ingin kembali kesana.

Masih ingat, kemarin sore kita berangkat bersama 7 orang dari sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa Sastra (LPMS) IDEAS dengan membawa kebutuhan logistik dan perlengkapan inap. Perjalanan ditempuh dalam waktu tiga jam dengan jarak tempuh sekitar 35 kilo meter. Sebenarnya cukup satu jam, hanya saja kita menunggu teman yang ketinggalan sebab tidak tahu jalan dan memenuhi kebutuhan seperti membeli air mineral, mengambil pinjaman tenda. Sambil menunggu, kita juga sempat makan mie, dan gorengan di pinggir jalan raya.

Sesampai di pintu gerbang, jalur menuju loket pembayaran, kita akan menyusuri areal persawahan dan lereng gunung yang ditanami pohon jati. Cukup dengan Rp. 7000, kita akan melewati jalanan naik dan turun begitu curam, lalu terlihat laut selatan dari ketinggian, sebelum sampai di tempat tujuan.
Senja kembali menghibur kepenatan, Para nelayan, pasangan sejoli, dan pengunjung lain sudah mulai menepi, menuju tempat kepulangan mereka. Namun ada yang masih termenung, berjalan di tepi laut, dan foto-foto. Kami pun segera menata perlengkapan inap, untuk menyambut datangnya malam.

Malam hari, tidak terlalu gelap, sebab sudah terdapat lampu penerang di warung-warung dan tempat inap, tidak jauh dari laut. Meski tidak se-terang di kota, lebih indah rasanya jika diterangi bintang, yang lebih terlihat jelas di sana.

Angin laut langsung menerpa tubuh kita, tanpa melewati pepohonan mau pun atap perumahan, menjadikan perut semakin lapar. Nasi dan ikan bakar yang telah kita olah sampai matang, menjadi menu makan malam itu. Menjadi suasana yang tak terlupakan, makan bersama dalam satu wadah.

Dalam gelap, lampu milik warga sekitar terlihat berjajar, jika dipandang dari kejauhan bersama laut. Para nelayan yang sedang mencari ikan juga terlihat menyala-nyalakan lampu senternya, di tengah laut.

Semakin malam, angin laut semakin terasa dingin. Deru ombak semakin jelas terdengar, saat air laut pasang dan ditambah suasana yang sepi orang. Pasir putih masih menyimpan panas matahari yang mengendap. Kita berbaring di atas pasir, membuat badan sedikit hangat, sambil memandangi bintang. Bara api unggun juga turut menghangatkan tubuh, sambil ngobrol bersama teman-teman, lalu tertidur.
Sinar matahari di pagi hari menghangatkan tubuh yang berbaring di atas pasir, terpal, dan di dalam tenda. Membuat kita terbangun sambil menyapanya dengan senyuman. Bagi teman yang sedang begadang menikmat malam, dan menjaga barang-barang, sudah gilirannya untuk gantian tidur.

Meski terdapat papan larangan “Dilarang berenang di laut”. Warna laut yang biru, membuat kita terpanggil untuk membasahi diri dan bermain bersama gulungan ombak. Ini semua yang membuat saya sukar untuk melupakan keindahan, kebersamaan dengan teman-teman di Tanjung Papuma. Rasa lelah pun akhirnya tidak sia-sia.

Tidak ada komentar: