Sabtu, 10 Oktober 2015

Untuk Hujan Sore Ini


Jember, 09. 10, 2015.

Hari ini hujan turun lebat sekali. Saya rasa ini hujan paling lebat sepanjang kemarau bulan Agustus sampai sekarang. Bahkan terasa baru kali ini ada hujan turun, saat saya melihat kedatangannya dari bibir pintu. Barangkali karena saya sudah lama merindukannya. Hujan datang bersama angin yang kencang, menjadikan butiran air hujan yang sedang melesat turun tidak beraturan, ada yang besar dan kecil. Udara yang biasanya panas, sejak sore tadi langsung menjadi dingin menyegarkan. Ini adalah pengalaman yang tidak boleh saya lewatkan. Makanya saya tadi langsung melihat keluar, seperti apa kedatangan hujan ini. Hujan telah saya rindukan sejak beberapa bulan ini. 

Rasaya bukan hanya saya saja yang sudah lama merindukan turunnya hujan. Semua orang dari beragam status sosial baik yang berhubungan dengan profesinya langsung dan tidak seperti: petani, peternak, buruh, pedagang, mahasiswa, guru, dokter, militer, pejabat birokrasi, dan masih banyak lagi, semua membutuhkan hujan. Sebab dari hujan, petani bisa kembali lancar mengairi sawahnya,  peternak sapi tidak lagi kebingungan mencari rumput karena sebentar lagi akan tumbuh lebat, dan dari semua itu, kita sendiri dan semua makhluk hidup tidak akan mengalami krisis air. Bila hujan sudah turun begini, sumur-sumur akan kembali memenuhi airnya.

Kali ini hujan memang terasa disambut dengan kegembiraan, setelah sekian bulan kebanyakan orang telah merindukannya. Apalagi untuk di kawasan bencana asap akibat api yang sulit dipadamkan membakar lahan di sejumlah wilayah Sumatera saat ini. Semoga sore tadi, hujan juga hadir di sana untuk memberi bantuan.

Mengenai hujan, pada 5 Februari 2011, ternyata saya juga pernah menulis soal hujan di musim penghujan masih berlangsung. Melihat tulisan lama, rasanya itu adalah saya yang lain haha. Berikut saya copy di paragraf bawah, tanpa saya rubah.

***

Saya hanya ingin berbagi rasa untuk pagi yang terlanjur siang ini. tanpa kopi, tanpa rokok.
Jember yang basah, sudah hampir tiga bulan sejak Desember 2011 lalu, hujan menemani. Belum satupun kata terdengar dari media maupun teman-teman di sekitar saya yang merasa senang kepada hujan. memang, bisa jadi hujan menjadi salah satu penyebab kegagalan aktivitas, atau menjadi bermalas-malasan. Selalu merasa kantuk dan tidur pada malam yang terlalu dini.

Sewaktu mengendarai sepeda motor di jalanan, atau barang kali sedang berduaan dengan sang kekasih di sudut sudut persembunyian. Tentu memiliki makna yang berbeda ketika hujan mengguyur kedua aktivitas tersebut. Bisa jadi pengendara di jalanan akan berhenti dengan penuh cemas, dengan berbagai tujuan yang belum terselesaikan sambil menunggu hujan reda. Kemudian pasangan sejoli akan merasa lebih nyaman dan saling berdekapan tanpa ragu. Hanya sebuah kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Kali ini saya sedang ingin bercumbu dengan menggandrungi hujan terlebih dahulu. Tidak ada alasan untuk mengeluh atau barangkali menghujat hujan. Ketika segala aktivitasmu tiba-tiba terhenti karena hujan yang belum kalian inginkan turun. Hujan hanyalah sebuah siklus alamiah yang sewaktu-waktu bisa terjadi, tidak memiliki perasaan layaknya manusia. Tetapi berubahan siklus iklim yang tidak beraturan bisa disebabkan oleh aktivitas manusia yang merugikan alam.

Senin, 11 Mei 2015

Mustakim, Buku, dan Guru Kehidupan: Bagian 2


Sore ini, saya kembali lagi ke rumahnya Pak Mustakim untuk mengambil kembali buku pesanan. Ia terlihat duduk sambil nonton televisi. Setelah melihat saya datang, ia kemudian mengambil air mineral gelasan, “Diminum dulu airnya.”
Pak Mustakim sedang sibuk mencarikan sebuah buku, doc. pribadi. 

Buku “Lubang Buaya” yang saya beli ternyata bukan ditulis oleh Nugroho Notosusanto, tapi oleh Yusuf A. Puar. Pada bagian bawah daftar pustaka, tertulis kutipan SK Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Penerangan dan K No. 1.3.055 Kep. 75 tgl. 12 Desember 1975,  yang berisi“Buku ini ditetapkan sebagai buku bacaan SD tingkat Nasional.” Diterbitkan oleh Pustaka Antara Jakarta tahun 1977.

Sekedar sebagai referensi, cukup dengan 10.000 ribu buku tersebut bisa saya dapatkan di lapak Mustakim.

Kemudian ada buku “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda” karya M.H Gayo yang dihargani 20.000 ribu. Saya tertarik ingin membeli, sekedar penasaran tetang sejarah lokal masyarakat Gayo yang ada di Aceh. Buku tersebut mengemas sejarah perjuangan masyarakat Gayo melawan penjajahan Kolonial Belanda.

Saya mengenal nama Gayo saat menikmati kopi Aceh Gayo di warung Srawung milik Pak Caplin. Nantinya buku “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda” ini akan saya resensi, lebih pas bila sambil minum kopi asli Aceh Gayo.

Dalam pengantar buku dijelaskan secara singkat bahwa perang Aceh berlangsung selama 31 tahun Sejak 1873. Sampai pada 1904 yang merupakan perjuangan terpuncak masyarakat Aceh di alas Gayo, sebagai benteng pertahanan terakhir. Namun dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa masyarakat Aceh tidak pernah menyerah sampai Belanda hengkang digantikan fasisme Jepang pada 1942. Indonesia memang tidak benar telah dijajah sepenuhnya selama 350 tahun.

Sambil sekilas membaca, Mustakim terlihat mematikan televisi lalu memutar lagu di tape recorder yang disambungkan ke sound. Lagu-lagu Koes Plus terdengar lembut ditelinga.

Seperti biasa, Mustakim mengajak ngobrol banyak hal. Tak lama kemudian ia mengabil foto dan Majalah. Foto tersebut ternyata tentang dirinya yang sedang duduk di samping toko bukunya, saat masih ada di sebelah Jembatan Jompo sekitar tahun 80an. Rambutnya masih terlihat hitam tebal, dengan jenggot dan kumis lebat. Sedangkan isi majalah sendiri tentang satu rubrik liputan khusus yang mengulas Mustakim dan lapak bukunya. Majalah Religia tersebut merupakan karya mahasiswa IAIN Sunan Ampel. Keterangan lainnya sudah tertutup plester yang dilekatkan Mustakim sendiri.
Pak Mustakim dulu dan sekarang, doc. pribadi
Mustakim sedang duduk di toko bukunya yang terletak
di kawasan Jembatan Jompo, doc. pribadi, (saya foto ulang)
Semua buku yang dijual mustakim, bagian cover semua dilapisi plester. “Takut kena air, biar rapi, kan eman kalau sampai rusak,” jelasnya. Caranya menghargai buku bermula saat Mustakim membaca sebuah cerita tentang Bung Hatta. Ia sudah lupa membaca buku berjudul apa. Menurutnya, Bung Hatta akan marah bila ada bukunya yang dipinjam, lalu cara menandai saat membaca dengan melipat bagian halaman. “Kalau beliau tahu pasti marah, dan tidak akan dipinjamkan lagi.”

Sama seperti kemarin, ada obrolan yang sebenarnya sudah ia katakan. “Mumpung masih muda, bacalah buku, pokoknya baca wis,” sarannya. Mustakim kemudian mengibaratkan, bila sudah tua seperti dia baru membaca, akan susah mengingat-ingat, ibaratnya seperti melukis di atas air. Beda dengan yang masih muda, itu ibarat mengukir di batu, akan tahan lama.

Baru tadi saya menanyakan, bila ia sudah berjualan buku sejak 1963, lantas Mustakim sebenarnya lahir tahun berapa. Ia coba mengingat-ingat, dan keluarlah angka 1949. Berarti, Mustakim sudah berjualan buku sejak berumur 14 tahun. Ia menikah pada tahun 1971 diusia 22 tahun. Kemungkinan, ia baru bisa belajar membaca setelah menikah.

Banyak hal yang tidak terlupakan di masa-masa ia baru menikah. Tantunya soal himpitan ekonomi. Dari buku, ia belajar tetap bertahan. Tahun 1981, Mustakim baru bisa merenovasi rumahnya. Di dalam rumah itu lah sekarang saya duduk bersama Mustakim.

Dan sekarang, saya ada di Macapat, melihat slogan perpustakaan Macapat yang mengutip ungkapan Bung Hatta“Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku. Karena dengan buku aku bebas.”

Saya dan Pak Mustakim, doc. pribadi


10 Mei 2015.