Jumat, 12 April 2013

Perkuliahan Monoton


Jember, 11 Oktober 2012.
Tulisan GJ

Entah kenapa, hari ini saya malas sekali kuliah. Barangkali sedang bosan dengan metode pengajaran dosen pengampu. Dosen yang mengajar mata kuliah Sejarah Amerika ini memang tidak banyak memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya. Bahkan pernah sama sekali tidak memberi kesempatan. Setiap mengajar, ia harus menggunakan LCD , dengan tujuan agar mahasiswa juga mengetahui meteri apa yang sedang dibahas. Ia menerangkan dengan menggunakan sofwere microsof power point. Isinya seputar garis besar materi yang diajarkan. Satu persatu ia bacakan, lalu diuraikan dengan penjelasan. Ini terus dilakukan secara berulang sampai waktu perkuliahan habis.

Tugas mahasiswa hanya datang, duduk, mengisi daftar hadir, mendengarkan, lalu pulang. Tidak ada kewajiban untuk mencatat. Jika mau mencatat ya silahkan, jika tidak ya gak masalah. Hal ini yang membuat saya ogah, hanya buang buang waktu saja. Lebih baik saya menaruh rekaman di kelas lalu pulang. Jika ingin mendengarkan, tinggal putar ulang rekaman tersebut, bisa sambil tidur, makan, dan main game. Meski hal tersebut sungguh absurd, ada daftar hadir yang membuat saya takut berbuat demikian. Jika tidak hadir dan mengisi absensi, ancamannya sedikit, namun dampaknya luar biasa. Sebenarnya hanya tidak bisa mengikuti ujian, dampaknya otomatis dapat nilai E, dan harus mengulang.

Sebenarnya tidak salah jika pihak akademik mewajibkan mahasiswa hadir lalu mengisi absen. Jika tidak demikian, bukan kuliah namanya. Lantas apa yang menjadi persoalan? Saya lebih sepakat jika motode pengajaran dosen, mampu membuat mahasiswa nyaman dan ada pertukaran fikiran, itu saja.  Soal bagaimana metodenya, itu terserah dosen. Jadi mahasiswa tidak hanya ‘menerima’ materi yang disampaikan dosen. Namun ada pertukaran fikiran lewat tanggapan mahasiswa. Entah berupa kritik, saran, pujian, atau hanya sekedar ngomong tanpa beban.

Budaya belajar mahasiswa dikelas memang ditentukan oleh dosen. Jika dosennya tidak memberi kesempatan bertanya, mahasiswanya ya bosan, lalu mengantuk. Meski dosen juga memberi kesempatan bertanya, terkadang mahasiswanya diam. Bagaimana jika dosennya yang bertanya kepada mahasiswa, soal hal-hal mendasar terkait materi yang diajarkan. Barangkali hal ini bisa sedikit membuat mahasiswa harus membekali diri sebelum masuk ke dalam kelas. Dengan cara membaca atau diskusi diluar jam kuliah.

Sebenarnya sejak kapan dosen sudah menggunakan LCD  untuk mengajar, tahun 2009 saat saya masih menjadi mahasiswa baru, fasilitas tersebut sudah ada. Ini memang memudahkan dosen dalam mengajar, tidak perlu menggunakan papan tulis untuk menjelaskan, cukup dituliskan lewat laptop. Ini cukup menyita perhatian mahasiswa untuk memperhatikan tampilan sorotan LCD. Selain harus mendengarkan apa yang dikatakan dosen. Tapi saya masih suka dengan cara yang sederhana, dosen cukup mengajak mahasiswa diskusi, artinya ada proses dialogis antara keduanya.

Socrates sendiri, seorang filsuf yunani yang lahir pada IV SM, selalu mengajak pemuda Athena untuk berkumpul di alun-alun, belajar bersama dengan cara dialog. Socrates selalu mempertanyakan hal-hal yang sederhana, untuk memancing perdebatan. Dari situlah muncul pemikiran rasional yang mempertanyakan keberadaan dewa. Ia pun dihukum mati karena dianggap telah mempengaruhi pemikiran generasi muda. Namun Socrates lebih memilih mati bersama pemikirannya, untuk tetap mempertahankan kebenaran secara rasional, bukan masalah keyakinan.

Selain itu, masih ada dosen yang mengajar dengan membawa buku buku tebal, tanpa menggunakan LCD. Ia menjelaskan panjang lebar sesuai yang tercantum dalam isi buku. Terkadang juga dibacakan, seolah ia sedang lupa apa yang harus dijelaskan. Tapi anehnya, ia tidak meminjamkan buku tersebut untuk difotocopy mahasiswa. Entah takut hilang atau sebaliknya, takut dikritik mahasiswa.

Bila sudah demikian, tidak heran jika mahasiswa malas untuk berangkat kuliah. Sebab tidak mendapatkan pengajaran yang layak. Atau kuliah hanya untuk memenuhi daftar hadir. Jika ruang perkuliahan merupakan wadah untuk berbicara soal hal-hal yang ilmiah, maka harus ada celah untuk mempertanyakan kebenarannya. Entah dari dosen ke mahasiswa atau sebaliknya. Jika tidak ada pertukaran fikiran, bisa jadi apa yang dibicarakan merupakan kajian ilmiah dari perspektif dosen. Menjadi kebenaran tunggal yang diamini oleh mahasiswa.
Saya ingat dengan salah satu puisi W.S. Rendra yang mengungkap masalah pendidikan, judul puisi tersebut ‘Sajak Anak Muda’.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan
Bukan pertukaran fikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan
Dan bukan imlu latihan menguraikan
Barangkali penggalan puisi tersebut hanya sebuah ‘fiksi’ namun bisa menjelma menjadi fakta. Termasuk dalam tulisan ini.

*Tulisan pernah dimuat di facebooknya lemper

Tidak ada komentar: