Jember, 11
Oktober 2012.
Tulisan GJ
Entah kenapa,
hari ini saya malas sekali kuliah. Barangkali sedang bosan dengan metode
pengajaran dosen pengampu. Dosen yang mengajar mata kuliah Sejarah Amerika ini
memang tidak banyak memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya. Bahkan
pernah sama sekali tidak memberi kesempatan. Setiap mengajar, ia harus
menggunakan LCD , dengan tujuan agar mahasiswa juga mengetahui meteri apa yang
sedang dibahas. Ia menerangkan dengan menggunakan sofwere microsof power point.
Isinya seputar garis besar materi yang diajarkan. Satu persatu ia bacakan, lalu
diuraikan dengan penjelasan. Ini terus dilakukan secara berulang sampai waktu
perkuliahan habis.
Tugas
mahasiswa hanya datang, duduk, mengisi daftar hadir, mendengarkan, lalu pulang.
Tidak ada kewajiban untuk mencatat. Jika mau mencatat ya silahkan, jika tidak
ya gak masalah. Hal ini yang membuat saya ogah, hanya buang buang waktu saja.
Lebih baik saya menaruh rekaman di kelas lalu pulang. Jika ingin mendengarkan,
tinggal putar ulang rekaman tersebut, bisa sambil tidur, makan, dan main game. Meski
hal tersebut sungguh absurd, ada daftar hadir yang membuat saya takut berbuat
demikian. Jika tidak hadir dan mengisi absensi, ancamannya sedikit, namun
dampaknya luar biasa. Sebenarnya hanya tidak bisa mengikuti ujian, dampaknya
otomatis dapat nilai E, dan harus mengulang.
Sebenarnya
tidak salah jika pihak akademik mewajibkan mahasiswa hadir lalu mengisi absen.
Jika tidak demikian, bukan kuliah namanya. Lantas apa yang menjadi persoalan?
Saya lebih sepakat jika motode pengajaran dosen, mampu membuat mahasiswa nyaman
dan ada pertukaran fikiran, itu saja. Soal
bagaimana metodenya, itu terserah dosen. Jadi mahasiswa tidak hanya ‘menerima’
materi yang disampaikan dosen. Namun ada pertukaran fikiran lewat tanggapan
mahasiswa. Entah berupa kritik, saran, pujian, atau hanya sekedar ngomong tanpa
beban.
Budaya
belajar mahasiswa dikelas memang ditentukan oleh dosen. Jika dosennya tidak
memberi kesempatan bertanya, mahasiswanya ya bosan, lalu mengantuk. Meski dosen
juga memberi kesempatan bertanya, terkadang mahasiswanya diam. Bagaimana jika
dosennya yang bertanya kepada mahasiswa, soal hal-hal mendasar terkait materi
yang diajarkan. Barangkali hal ini bisa sedikit membuat mahasiswa harus
membekali diri sebelum masuk ke dalam kelas. Dengan cara membaca atau diskusi
diluar jam kuliah.
Sebenarnya
sejak kapan dosen sudah menggunakan LCD
untuk mengajar, tahun 2009 saat saya masih menjadi mahasiswa baru,
fasilitas tersebut sudah ada. Ini memang memudahkan dosen dalam mengajar, tidak
perlu menggunakan papan tulis untuk menjelaskan, cukup dituliskan lewat laptop.
Ini cukup menyita perhatian mahasiswa untuk memperhatikan tampilan sorotan LCD.
Selain harus mendengarkan apa yang dikatakan dosen. Tapi saya masih suka dengan
cara yang sederhana, dosen cukup mengajak mahasiswa diskusi, artinya ada proses
dialogis antara keduanya.
Socrates
sendiri, seorang filsuf yunani yang lahir pada IV SM, selalu mengajak pemuda
Athena untuk berkumpul di alun-alun, belajar bersama dengan cara dialog.
Socrates selalu mempertanyakan hal-hal yang sederhana, untuk memancing
perdebatan. Dari situlah muncul pemikiran rasional yang mempertanyakan
keberadaan dewa. Ia pun dihukum mati karena dianggap telah mempengaruhi
pemikiran generasi muda. Namun Socrates lebih memilih mati bersama
pemikirannya, untuk tetap mempertahankan kebenaran secara rasional, bukan
masalah keyakinan.
Selain itu,
masih ada dosen yang mengajar dengan membawa buku buku tebal, tanpa menggunakan
LCD. Ia menjelaskan panjang lebar sesuai yang tercantum dalam isi buku.
Terkadang juga dibacakan, seolah ia sedang lupa apa yang harus dijelaskan. Tapi
anehnya, ia tidak meminjamkan buku tersebut untuk difotocopy mahasiswa. Entah
takut hilang atau sebaliknya, takut dikritik mahasiswa.
Bila sudah demikian, tidak heran jika
mahasiswa malas untuk berangkat kuliah. Sebab tidak mendapatkan pengajaran yang
layak. Atau kuliah hanya untuk memenuhi daftar hadir. Jika ruang perkuliahan
merupakan wadah untuk berbicara soal hal-hal yang ilmiah, maka harus ada celah
untuk mempertanyakan kebenarannya. Entah dari dosen ke mahasiswa atau
sebaliknya. Jika tidak ada pertukaran fikiran, bisa jadi apa yang dibicarakan
merupakan kajian ilmiah dari perspektif dosen. Menjadi kebenaran tunggal yang
diamini oleh mahasiswa.
Saya ingat
dengan salah satu puisi W.S. Rendra yang mengungkap masalah pendidikan, judul
puisi tersebut ‘Sajak Anak Muda’.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan
Bukan pertukaran fikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan
Dan bukan imlu latihan menguraikan
Barangkali penggalan
puisi tersebut hanya sebuah ‘fiksi’ namun bisa menjelma menjadi fakta. Termasuk
dalam tulisan ini.
*Tulisan
pernah dimuat di facebooknya lemper
Tidak ada komentar:
Posting Komentar