Sabtu, 13 April 2013

Belajar Tentang Kehidupan di Jalanan.




Mohamad Ulil Albab

Jember, 30 November, 2012. Penulisan feuture

“Jika ada daun ya, saya bertahan makan dengan daun. Tapi biasanya saya mencari makan di tempat sampah, kalau tidak ada kadang minta kepada orang,” ungkap M sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok. Saat berada di kamar kos, temannya, yang ada di jalan Bengawan Solo, Kecamatan sumber sari, kampus Tegal Boto, Jember, Jum’at 30 Oktober 2012.

Misbach panggilannya. Ia adalah lelaki kelahiran Gresik, Jawa timur tahun 1982. Ayahnya seorang direktur  pabrik kayu Barito Pasifik Timber Grup di Kalimantan. Sejak saat itu, Misbach yang sudah kelas 4 SD, harus pindah ke Banjarmasin, mengikuti orang tuanya. Pindah lagi ke Jawa timur, Kota Malang, setelah kuliah di Universitas Brawijaya, pada tahun 2000. Waktu itu, uang sakunya untuk kuliah tiap bulan sudah 500 Ribu. Uang saku yang lebih dari cukup di era krisis.

Kuliah di kota Malang dengan kebutuhan hidup yang selalu dipenuhi oleh orang tua, membuat Misbach tidak sungguh-sungguh belajar di bangku perkuliahan. ” Semenjak kuliah aktif di bidang musik. Aku bermimpi menjadi seorang musisi, Gak terlalu memikirkan kuliah.. Kerjaanku pacaran dan bermusik,” kenangnya.

Sejak tahun 2006, Misbach memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah. Proses mengerjakan skripsi di jurusan Hama Penyakit Tumbuhan (HPT), sudah mulai dikerjakan, meski dengan nilai yang jelek. Kehidupannya mulai berantakan ketika hubungan dengan sang kekasih mengharuskannya di pelaminan dan meninggalkan bangku kuliah. “Faktor x terjadi waktu kuliah. Hidup mulai berantakan saat pacar saya hamil,” ucapnya sambil mengingat masa itu. Sesekali ia mengusap mukanya dengan tangan.

Bapak Misbach yang sudah menjadi seorang direktur, pada waktu itu juga mengalami kerugian besar, dan membuat perusahaan tutup. Tidak lama kemudian, kedua orang tua Misbach bercerai. “Selain itu ada orang yang sengaja memisahkan orang tua saya. Akhirnya berdampak tidak ada kiriman bulanan. Waktu itu adik saya juga masih kuliah, jurusan administrasi niaga. brawijaya angkatan 2004,” ujar Misbach. keadaan demikian membuatnya semakin tertekan. Kehidupan yang awalnya senang, karena selalu mendapat jatah kiriman uang dari orang tua, kini sudah tidak ada lagi. Ditambah lagi, sang pacar hamil.

Sebagai lelaki, Misbach bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Terlebih lagi semenjak pacarnya menginginkan untuk menggugurkan kandungannya. Misbach selalu meyakinkan pacarnya agar tidak menggugurkan kandungan. Hal tersebut terjadi setelah melihat perut sang pacar setiap bulan semakin membuncit. Keluarga pacar mulai tahu, bahwa anaknya hamil, sebab usia kandungannya memang sudah tujuh bulan. Misbach pun memberanikan diri membawa pacarnya menghadap ibu, dengan kondisi perut yang sudah membesar.
***

Sebuah kabar yang tidak disangka oleh Ibu Misbach. Sehabis solat Ishak dengan kondisi masih memakai mukena. Ia datang menghadap Ibu bersama pacarnya, “Maaf  ibu. Dengan posisi saya duduk di bawah. Waktu itu sudah hamil 7 bulan.” 

Ibu terperanjat kaget. Bibinya yang juga sempat melihat  perut pacar Misbach  mulai curiga. Meski tidak diberi kabar. “ Akhirnya saya bisa merasa, seakan menginjak orang tua. Merasa menjadi anak durhaka. Dari abah sendiri tidak terlalu respon,” imbuh Misbach. 

Ibu Misbach sempat mengalami gangguan mental, karena ditinggal suami. Melihat kondisi demikian, sebagai seorang anak, ia harus merawat ibunya. “Rasanya seperti terkena sunami yang dahsyat. Dengan kenyataan akan menjadi seorang bapak. Juga harus mengurus ibu yang ditinggal bapak,” ucapnya  lalu sejenak terdiam. Ia teringat dengan keluarga dan orang-orang dikampungnya yang tidak ramah. Berbagai cacian sudah akrab ditelinganya.

Misbach mengaku dikenal sebagai anak yang pendiam, dan pintar dengan ilmu agama. Terlebih lagi, anak dari seorang Haji. Tidak heran jika masyarakat dibuat kaget. Setiap hari ia bekerja di tambak, dan sawah. Sebuah pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Karena pada mulanya berasal dari keluarga mampu.

Saat musim panen, Misbach mendapat kabar bahwa bapaknya akan pulang dari Kalimantan. Melihat kondisi Ibunya karena sudah lama tidak bertemu dengan suami dan Misbach yang sedang mengalami masalah. Ia sangat mengharapkan bapaknya datang. Dengan harapan agar bisa memperbaiki kondisi keluarga. Akan tetapi, yang terjadi jurstru sebaliknya. “Ternyata, bapak malah minta berpisah,” Kenangnya dengan tatapan kosong, penuh dengan kenangan yang tak terlupakan itu. 

Meski demikian, masih ada pihak yang mau membantu, dalam bentuk materi dan semangat. “Cara mendapat uang tidak semudah dahulu, Aku gak pernah bayangkan akan merumput. Aku telan mentah-mentah cibiran dari orang-orang,” ujar Misbach.

Belajar hidup mandiri

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.Prosesi pernikahan harus tetap dilaksanakan. Meski kondisi orang tua Misbach yang sudah berpisah. Pada minggu pernikahan, dilaksanakan di rumah pihak laki-laki, karena keluarga pihak perempuan belum siap.

Selama 4 bulan, Misbach merawat ibunya di Gresik karena kondisinya semakin memburuk. Tahun 2008-2009, ia kembali menemui istrinya di Malang. Setelah anaknya lahir pada tahun 2007. Istrinya masih tetap melanjutkan kuliah, dan kebutuhan susu anak ditanggung orang tua istri.  

Sulitnya mencari pekerjaan, membuat Misbach harus mau bekerja dalam hal apa pun. Ia hanya bermodalkan selembar ijazah SMA, lalu pergi ke surabaya, berharap bisa mendapatkan pekerjaan.  Pertama bekerja, Misbach tidak pernah menyangka jika pada akhirnya ia akan menjadi seorang buruh. “Karena posisi saya awalnya tergolong orang yang terbilang kaya,“ ucapnya. Pekerjaan pertama yang didapat, menjadi klining service di royal plaza, Jalan ketintang, Surabaya.

“Desakan perut lebih pernting dari akal dan hati nurani,” nilai Misbach, ketika ia sempat bekerja menjadi sales marketing kartu kredit. Sebuah pekerjaan yang bermodalkan pintar merayu, tanpa ada kebenaran manusiawi. Pekerjaan tersebut, sebenarnya tidak diinginkan, melainkan faktor desakan ekonomi. Hingga harus membohongi dirinya sendiri.

Penghasilan yang lebih besar ia dapatkan ketika bekerja menjadi klining service di Universitas Petra. Meski beban mental begitu terasa, ketika melihat mahasiswa belajar, dan ia menjadi klining service. Penghasilannya selama sebulan sebesar 460, dengan sistem pembayaran harian, antara 15-22 ribu perhari. Hal tersebut yang membuat penyesalan bertubi-tubi tiba-tiba muncul, Aku sendiri yang goblok, umur segitu sebenarnya harus memikirkan masa depan,“ keluhnya.


Memilih Hidup Di Jalan

Belajar hidup di jalan, merupakan salah satu pilihan Misbach untuk belajar tentang kehidupan. Jalan menjadikan hidupnya semakin dewasa. Ia merefleksikan hidupnya lewat bertahan hidup di jalan. Kerasnya hidup di jalan, tidak membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum, mencuri misalnya. Perjalanannya di mulai saat Misbach berpisah dengan istri, sewaktu pulang kerja, tiba-tiba ia pesan masuk di HP, “ Mas, saya minta pisah.” Tubuhnya bergetar, kantung matanya sudah tidak tahan menampung air mata. Misbach teringat akan perjuangannya mempertahankan bayi yang dikandung istri, juga saat merawat istri dan bayi yang baru dilahirkan. “Susah senang dirasakan bersama, tiba-tiba minta berpisah.”

Sudah tiga tahun Misbach hidup di jalanan. Tanpa bermodalkan uang sepeser pun. Ia hanya membawa sehelai kain bermotif kotak-kotak, berwarna hitam putih, yang tertempel ditubuhnya dan beberapa identitas diri, seperti KTP di sakunya.

Misbach mencoba menempa dirinya lewat jalanan, penyesalan yang sudah terlanjur membuat ia harus belajar menemukan jati diri. Bukan merantau untuk mencari materi, melainkan belajar tentang kehidupan di jalanan. Ia sudah berjalan kaki mulai dari Grasik, Jember, Banyuwangi, Bali, lalu kembali kebanyuwangi dan menuju ke sitobondo. Ia berhenti dan menetap untuk sementara di sebuah pondok, di Situbondo, untuk belajar masalah agama.

Selama dijalan, Misbach sering dimintai nomor togel dan jimat, oleh masyarakat karena aktifitasnya tersebut. Selain itu, juga sering ada orang yang menawari bekerja, namun ia tolak. Misbach ingin konsisten, bahwa ia di jalanan bukan untuk mencari materi. Melainkan sebuah pelajaran tentang kehidupan.

Sudah sekitar tiga minggu yang lalu, Misbach kembali lagi ke Jember, dari Situbondo. Kali ini, ia berkumpul bersama mahasiswa untuk berbagi pengalaman dan bertukar fikiran.  Untuk masalah perut, ia hanya bermodalkan harapan rasa kemanusiaan dari sesama. Ketika berada dijalan, ketika tidak menemukan makanan disampah, ia mencoba meminta kepada sesama manusia, jika tidak mendapatkan, baru ia merumput. 

Selama ini, ia sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan keluarganya. Meski demikian, Misbach menginginkan hidup secara normal. “Saya pengen seperti yang lain, hidup secara normal, teman saya semuanya sudah sukses, dan punya istri. Nanti kalau sudah saatnya saya pasti kembali,” harapnya.

 *Tulisan untuk persyaratan mengikuti PJTL di LPM Wartadinus, Universitas Diannuswantoro, Semarang. Meski saya katakan tidak layak disebut liputan anak jalanan.





2 komentar:

Elfira Arisanti mengatakan...

tulisanmu bagus lil

Mohamad Ulil Albab mengatakan...

Fotone sampean juga bagus-bagus mabak, apalagi untuk kategori feature. Seperti foto Mbah Wakidi