Jember, 5 April 2013.
Pukul 11.30
Musim Ujian Tengah
Semester (UTS) di Universitas Jember baru saja selesai. Suasana tegang saat mahasiswa menunjukan
kemampuannya kepada dosen pengampu matakuliah lewat UTS sudah reda. Setelah
mahasiswa menelan ribuan teks dan vokal teori yang diberikan dosen di bangku kuliah
selama setengah semester.
Salah satu tolak ukur
dosen untuk mengetahui kemampuan mahasiswa selama satu semester di bangku
kuliah memang dengan tugas kuliah, UTS dan Ujian Akhir Semester (UAS). Metodenya
kurang lebih ada dua: menguji mahasiswanya dengan dialog dan tulis. Pastinya
sebagian besar mahasiswa yang kurang memahami materi yang diajarkan dosen akan
memilih ujian tulis. Karena masih ada peluang bagi mahasiswa untuk menyontek. Meski
pengawas ujian sebuas apa pun. Setidaknya masih ada nyali untuk “curang”.
Bagi saya, budaya
menyontek sewaktu ujian bukan murni kesalahan mahasiswa. Tapi kegagalan dosen
mengajar materi kuliah. Metode pengajaran yang tidak dialogis, membosankan dan
tidak bisa membuat mahasiswa senang membaca bisa menjadi penyebab merebaknya
budaya menyontek. Kegagalan dosen saat mengajar bisa diamati ketika mahasiswa
dijadikan objek saat berada di dikelas.
Menurut Paulo Freire dalam
buku Politik Pendidikan, semua yang
ada di kelas termasuk guru adalah subjek. Dalam artian yang menjadi objek adalah
materi atau permasalahan masyarakat yang ada di sekitar, bukan mahasiswa atau
teks materi dosen.
Mahasiswa dikatakan menjadi
‘objek’ ketika dosen lebih dominan berbicara di kelas dan pangkal dari
kebenaran adalah apa yang dikatakan dosen. Seolah mahasiswa cukup datang,
duduk, diam lalu pulang. Solusi yang dikatakan Freire, seharusnya proses
mengajar dosen di kelas dengan cara dialog. Sehingga muncul beragam argumentasi
dari mahasiswa. Mahasiswa pun belajar menganalisa permasalahan dengan nalar
berfikir dari pengalamannya masing-masing. Bukan menghafal materi yang
diajarkan dosen. Selain itu, mahasiswa bisa menjadi semakin mandiri untuk
belajar saat memiliki tanggung jawab berbicara di kelas.
Dengan demikian, sudah
tidak perlu ragu atau kurang percaya diri saat mengerjakan soal ujian. Karena
sudah difahami dan sering diperbincangkan di kelas bersama-sama. Bukan
menghafal. Jika metode mengajar dosen tidak dialogis, bisa jadi mahasiswa hanya
menghafal dari yang dikatakan dosen. Pokoknya mendengarkan, sambil mencatat.
Sehingga tidak ada nalar kritis untuk mempertanyakan kebenaran dari materi
dosen.
Selain itu, ketika
dosen lebih dominan berbicara akibatnya membuat mahasiswa bosan, mengantuk,
saat berada di kelas selama satu sampai dua jam. Sehingga muncul perbuatan
vandalisme, seperti corat coret bangku kuliah: yang terkadang juga berisi
makian kepada dosen. Jika sudah demikian tujuan datang kuliah hanya untuk absen
dan mendapat nilai, bukan memahami materi.
Pengalaman
Menyontek
Bagi saya, ada dua
subtansi yang berbeda dari hal menyontek. Yang pertama melihat jawaban orang
lain atau teman disebelahnya. Kedua membawa referensi materi yang diberikan
dosen, dari buku, atau melihat informasi di internet lewat telefon genggam untuk
menjawab soal ujian.
Saya masih ingat saat
menjadi mahasiswa baru semester dua. Dosen saya sangat menyenangkan. Satu
Minggu sebelum ujian berlangsung dosen saya memberi soal ujiannya terlebih
dahulu: dengan tujuan agar mudah saat mengerjakan.
Menjelang ujian, saya
sudah mempersiapkan jawaban di selembar kertas. Sehingga waktu ujian tinggal
nulis ulang di lembar jawaban. Waktu itu pengawas ujiannya cukup buas. Matanya
selalu mencari kesalahan peserta ujian. Saat melihat soal ujian, memang benar.
Soalnya sama persis seperti yang diberikan dosen Minggu lalu. Saya dan
teman-teman menjadi uforia, tidak ada perasaan tegang, hanya macak serius. Karena semua jawaban sudah
ada, tinggal menyalin.
Saat pengawas ujian
sedang ngobrol dengan temannya, itulah kesempatan saya untuk menyalin jawaban
yang sudah saya siapkan. Saat ujian berlangsung, peserta ujian memang dilarang
membawa buku, contekan, berbicara dengan teman mau pun megoperasikan telefon
genggam. Peraturan tersebut biasanya tertempel di pintu kelas. Sanksinya bisa
ditulis dalam berita acara ujian dan peserta dikeluarkan dari ruangan. Secara
tidak langsung, jawaban yang sudah saya siapkan dari awal menjadi bahan
contekan.
Contekan tersebut saya
selipkan dibawah pantat, jika pengawas ujian sedang mengawasi peserta. Tapi
sayangnya, belum selesai saya menyalin, pengawas mengetahuinya. “Kertas apa itu
yang kamu duduki?” Sial, ternyata contekannya tidak sepenuhnya saya duduki
sehingga masih terlihat. Setelah itu apa yang terjadi? Silahkan anda nilai
sendiri.
*Tulisan ini pernah dimuat di Mading Nuansa LPMS-Ideas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar