Jumat, 12 April 2013

Menyontek Bukan Kesalahan Mahasiswa


Jember, 5 April 2013. Pukul 11.30

Musim Ujian Tengah Semester (UTS) di Universitas Jember baru saja selesai.  Suasana tegang saat mahasiswa menunjukan kemampuannya kepada dosen pengampu matakuliah lewat UTS sudah reda. Setelah mahasiswa menelan ribuan teks dan vokal teori yang diberikan dosen di bangku kuliah selama setengah semester.

Salah satu tolak ukur dosen untuk mengetahui kemampuan mahasiswa selama satu semester di bangku kuliah memang dengan tugas kuliah, UTS dan Ujian Akhir Semester (UAS). Metodenya kurang lebih ada dua: menguji mahasiswanya dengan dialog dan tulis. Pastinya sebagian besar mahasiswa yang kurang memahami materi yang diajarkan dosen akan memilih ujian tulis. Karena masih ada peluang bagi mahasiswa untuk menyontek. Meski pengawas ujian sebuas apa pun. Setidaknya masih ada nyali untuk  “curang”.

Bagi saya, budaya menyontek sewaktu ujian bukan murni kesalahan mahasiswa. Tapi kegagalan dosen mengajar materi kuliah. Metode pengajaran yang tidak dialogis, membosankan dan tidak bisa membuat mahasiswa senang membaca bisa menjadi penyebab merebaknya budaya menyontek. Kegagalan dosen saat mengajar bisa diamati ketika mahasiswa dijadikan objek saat berada di dikelas.   

Menurut Paulo Freire dalam buku Politik Pendidikan, semua yang ada di kelas termasuk guru adalah subjek. Dalam artian yang menjadi objek adalah materi atau permasalahan masyarakat yang ada di sekitar, bukan mahasiswa atau teks materi dosen.

Mahasiswa dikatakan menjadi ‘objek’ ketika dosen lebih dominan berbicara di kelas dan pangkal dari kebenaran adalah apa yang dikatakan dosen. Seolah mahasiswa cukup datang, duduk, diam lalu pulang. Solusi yang dikatakan Freire, seharusnya proses mengajar dosen di kelas dengan cara dialog. Sehingga muncul beragam argumentasi dari mahasiswa. Mahasiswa pun belajar menganalisa permasalahan dengan nalar berfikir dari pengalamannya masing-masing. Bukan menghafal materi yang diajarkan dosen. Selain itu, mahasiswa bisa menjadi semakin mandiri untuk belajar saat memiliki tanggung jawab berbicara di kelas.

Dengan demikian, sudah tidak perlu ragu atau kurang percaya diri saat mengerjakan soal ujian. Karena sudah difahami dan sering diperbincangkan di kelas bersama-sama. Bukan menghafal. Jika metode mengajar dosen tidak dialogis, bisa jadi mahasiswa hanya menghafal dari yang dikatakan dosen. Pokoknya mendengarkan, sambil mencatat. Sehingga tidak ada nalar kritis untuk mempertanyakan kebenaran dari materi dosen. 

Selain itu, ketika dosen lebih dominan berbicara akibatnya membuat mahasiswa bosan, mengantuk, saat berada di kelas selama satu sampai dua jam. Sehingga muncul perbuatan vandalisme, seperti corat coret bangku kuliah: yang terkadang juga berisi makian kepada dosen. Jika sudah demikian tujuan datang kuliah hanya untuk absen dan mendapat nilai, bukan memahami materi.  


Pengalaman Menyontek

Bagi saya, ada dua subtansi yang berbeda dari hal menyontek. Yang pertama melihat jawaban orang lain atau teman disebelahnya. Kedua membawa referensi materi yang diberikan dosen, dari buku, atau melihat informasi di internet lewat telefon genggam untuk menjawab soal ujian.

Saya masih ingat saat menjadi mahasiswa baru semester dua. Dosen saya sangat menyenangkan. Satu Minggu sebelum ujian berlangsung dosen saya memberi soal ujiannya terlebih dahulu: dengan tujuan agar mudah saat mengerjakan.

Menjelang ujian, saya sudah mempersiapkan jawaban di selembar kertas. Sehingga waktu ujian tinggal nulis ulang di lembar jawaban. Waktu itu pengawas ujiannya cukup buas. Matanya selalu mencari kesalahan peserta ujian. Saat melihat soal ujian, memang benar. Soalnya sama persis seperti yang diberikan dosen Minggu lalu. Saya dan teman-teman menjadi uforia, tidak ada perasaan tegang, hanya macak serius. Karena semua jawaban sudah ada, tinggal menyalin.

Saat pengawas ujian sedang ngobrol dengan temannya, itulah kesempatan saya untuk menyalin jawaban yang sudah saya siapkan. Saat ujian berlangsung, peserta ujian memang dilarang membawa buku, contekan, berbicara dengan teman mau pun megoperasikan telefon genggam. Peraturan tersebut biasanya tertempel di pintu kelas. Sanksinya bisa ditulis dalam berita acara ujian dan peserta dikeluarkan dari ruangan. Secara tidak langsung, jawaban yang sudah saya siapkan dari awal menjadi bahan contekan.

Contekan tersebut saya selipkan dibawah pantat, jika pengawas ujian sedang mengawasi peserta. Tapi sayangnya, belum selesai saya menyalin, pengawas mengetahuinya. “Kertas apa itu yang kamu duduki?” Sial, ternyata contekannya tidak sepenuhnya saya duduki sehingga masih terlihat. Setelah itu apa yang terjadi? Silahkan anda nilai sendiri.

     *Tulisan ini pernah dimuat di Mading Nuansa LPMS-Ideas.
 






Tidak ada komentar: