Minggu, 10 Mei 2015

Mustakim, Buku, dan Guru Kehidupan: Bagian 1

Pak Mustakim, seorang lelaki tua tak berpendidikan namun memiliki hobi membaca. Tidak ada catatan ijazah dari lembaga pendidikan yang mengajarinya baca dan tulis. Hobi membaca Mustakim muncul setelah memutuskan untuk berdagang buku-buku bekas pada 1963. Sebuah jaman yang masih berada di bawah kepemimpinan presiden Soekarno.

Sampai sekarang Mustakim masih berjualan buku bekas di rumahnya sendiri. Ia tinggal di sebuah perumahan padat dengan jalan gang sempit di dearah Gebang, Jember. Ruang tamunya dirubah menjadi lapak buku yang ditata di rak-rak tua. Ada pula yang digantung di dinding menggunakan penjepit dan tali.

Sebagian besar, buku-buku yang dijual berisi tentang ilmu-ilmu ekonomi: manajemen, akutansi, ada pula ulasan motivasi kehidupan dan tips berwirausaha.

Saya datang ke rumah Mustakim sore tadi, mengamati tumpukan buku-buku yang dijual. Sekitar 10 menit, saya masih belum menemukan buku keren tentang sejarah. Bagi Mustakim, buku sastra dan sejarah memang paling sulit dicari. Untuk itu, ia menaruh buku-buku sastra dan sejarah di bagian pojok. Tepat di belakang tempat duduknya. Bila tidak bertanya, maka buku-buku tersebut akan tertutupi oleh badannya yang sudah keriput termakan usia.

Berawal dari situ, ia mulai bercerita banyak hal tentang dirinya. Saya pun mendengarkan sambil membaca buku-buku sejarah yang ia sodorkan dan sesekali bertanya tentang perjalanannya berjualan buku.

Mustakim mulanya memang tidak bisa membaca buku. Sebelum tahun 1963, ia bekerja sebagai loper koran. Suatu ketika, di kawasan jalan Jompo ia melihat buku-buku yang dijual. Lalu ia berpikir, sebagai seorang pribumi yang tidak berpendidikan, tukang loper koran, dan harus membiyayai kebutuhan hidup sendiri setelah orang tuanya meninggal. Buku menjadi awal dari perjalanannya membuka wawasan pengetahuan tentang kehidupan. Bahwa munculnya rasa takut, sedih, gelisah dan sebangsanya itu, berawal dari ‘ketidaktahuan’. Bahasa lainnya bisa disebut kebodohan.

Mustakim hanya ingin membeli buku dengan harga-harga terjangkau, kemudian ia jual kembali. Sampai puncaknya, tahun 1984 ia gulung tikar. Buku-buku yang ia borong dari Surabaya dan Malang ternyata sudah tidak laku. “Soalnya guru-guru tidak mau membeli, alasannya ada perubahan kurikulum pendidikan, jadi sudah tidak berguna lagi,” ungkap Mustakim.

Dua tahun berhenti kerja, hanya jadi pengangguran, “Untung istri saya sabar,” kenangnya sambil terkekeh, terlihat gigi depannya yang hanya tersisa satu biji. Menyadari dirinya tidak punya keterampilan kerja selain berjualan buku, ia coba kembali berdagang lagi. “Apa saja saya jual Mas, kursi, perabot rumah, sampai celana saya jual untuk beli buku,” ceritanya. Sejak saat itu, ruang tamunya dipenuhi buku, bukan sofa dan meja.

Pertama kali saya sampai di depan rumah Mustakim, saya sama sekali tidak tahu kalau ia jualan buku. Di depan rumahnya hanya ada dagangan rujak, milik istrinya.

Ia baru bisa membaca buku ketika ada seorang guru bahasa Inggris mengajarinya membaca dan menulis. Guru tersebut sempat menawarkan Mustakim untuk belajar bahasa Inggris, tapi ia hanya tersenyum. Relasinya dengan pembeli buku seperti mahasiswa, guru, dosen, dan masyarakat umum membuat ia mendapat kesempatan untuk belajar membaca. Ketika saya tanya sejak kapan ia belajar membaca, ia sudah lupa. Tapi yang pasti sebelum tahun 1984, sewaktu ia gulung tikar.

Buku, bisa jadi merupakan istri kedua Mustakim. Setiap menghadapi persoalan kehidupan, ia membaca buku sebagai jalan perbaikan. Buku-buku yang pernah memberi pencerahan berpikir ia simpan dan tidak dijual, “Buku-buku yang saya simpan, nanti akan saya berikan untuk anak saya.”

Selepas makan rujak buatan istrinya, saya kembali mencari buku-buku sejarah yang bermutu. Setidaknya, buku yang dapat memberi jalan terang untuk penulisan tugas akhir saya. Mustakim masih duduk di tempatnya, sambil mendengarkan lagu-lagu milik Ebiet dan D’lloyd.

Saat giliran lagu “Hidup Di Bui” milik D’lloyd berbunyi, merampas suara hujan di luar rumah, saya coba tanya, apakah Mustakim tahu kalau lagu tersebut pernah dilarang sama pemerintah Orde Baru. Ia tidak tahu, pokoknya suka saja.

Di tangan saya, sebuah buku sejarah tulisan Nugroho Notosusanto berjudul “Lubang Buaya” terbitan Balai Pustaka tahun 80an yang diperuntukan untuk siswa SD, membuat saya teringat ulasan Hesri Setiawan, mantan Tapol Pulau Buru yang menulis tentang lagu “Hidup di Bui”. Lagu tersebut dilarang pemerintah Orde Baru karena menceritakan kehidupan Tapol di Nusakambangan dan Buru yang penuh penderitaan. Sedangkan tulisan-tulisan Nugroho Notosusanto yang didukung pemerintah Orde Baru, bila dibaca saat ini bisa mencipta pemaknaan bahwa golongan para Tapol merupakan orang-orang berkhianat dan tidak perlu dikasihani.

Dari catatan Hesri Setiawan, saya baru tahu kalau adanya pelarangan terhadap lagu “Hidup di Bui”membuat beberapa baris syairnya harus dipoles ulang, seperti pada bagian “Apalagi penjara di Tangerang” menjadi “Apalagi penjara jaman perang.”

Banyaknya pelarangan oleh pemerintah Orde Baru tentang pengungkapan fakta-fakta kemanusiaan dalam penulisan sejarah, membuat minimnya jumlah buku-buku yang benar-benar akademis dan bernutrusi. Seperti di lapak Pak Mustakim, hanya ada beberapa buku-buku terbitan era Orde Baru –yang bagi saya menyehatkan bila dibaca.


Mustakim kemudian mengiyakan permintaan saya, bila mendapat buku-buku sastra dan sejarah yang baru didapat, ia akan memberi kabar. Hal ini memberi satu rekomendasi untuk diri sendiri dan siapapun, bahwa di lapak buku bekas,selain harganya miring, kita bisa mendapatkan buku-buku lama untuk memperbanyak data kepustakaan yang terbit dalam beragam jiwa jaman.   

Menemukan Kebijaksanaan

Pada masa-masa tersulit mustakim mencukupi kebutuhan hidup, rumahnya yang mulanya hanya terbuat dari anyaman bambu membuat orang-orang enggan masuk ke dalam. Saya tidak tahu pasti siapa orang-orang yang enggan masuk itu. Tapi dengan membaca buku, Mustakim menjadi tahu bahwa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan dan rasa kemanusiaan itu tidak bisa dipamerkan. Sedangkan munculnya rasa takut, sedih, gelisah dan sebangsanya itu, berawal dari ‘ketidaktahuan’. Bahasa lainnya bisa disebut kebodohan.

Setelah rumahnya direnovasi, baru orang-orang tersebut mau masuk. Dari pengalamannya itu, Mustakim mengajarkan kepada anaknya bahwa jangan menilai apapun dari kemasan yang tampak, tapi nilai-lah isinya. “Makanya Mas, mumpung sampyn masih muda, banyak-banyaklah membaca.”

Bagi saya Mustakim tetap seorang yang berpendidikan. Ia seorang terdidik yang tidak terjerat dalam lingkaran ketergantungan belajar di lembaga pendidikan. Gurunya adalah setiap penulis buku yang ia baca. Baginya membaca merupakan bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan, “Kanjeng Nabi sendiri, itu pertama kali mengajarkan bukan salat, tetapi membaca.” Dan saya hanya diam melongo sambil mengangguk-angguk.

Hujan di luar sudah reda, sedangkan saya dan Mustakim di dalam ruangan yang dipenuhi buku-buku masih ngobrol santai diiringi lagu-lagu tahun 70an. Ia kembali bercerita tentang kebaikan buku bagi kehidupannya. Tidak hanya bisa menambah wawasan untuk menjawab persoalan-persoalan di sekitarnya, ia juga sempat ditolong ketika terhimpit persoalan ekonomi.

Saat istrinya melahirkan, si bayi belum bisa dibawa pulang karena Mustakim belum lunas membayar biaya persalinan. Buku, akhirnya menjadi jalan pintas untuk menebus anaknya waktu itu.

Selama ngobrol dengan Mustakim, saya tidak menemukan ungkapan yang bersifat pamer. Ia malah berulangkali menyebut dirinya dengan diksi kasar, “masih bodoh” atau tidak tahu apa-apa, sama kayak Socrates.

Barangkali ia tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi guru untuk saya sore itu.

Pukul 16.30 saya pamit pulang, ia mengantar sampai depan rumah. Eh, saya baru tahu kalau sepeda motor kami tadi sewaktu hujan telah diselimuti mantel sama Mustakim agar tidak pilek. Terimakasih Mustakim, atas rasa kemanusiaanmu sadel motor kami tetap kering. 

Jember, 09 Mei 2015.

note: sebenarnya saya datang tidak sendiri, tapi sama Cetar dan Yudis :)

Tidak ada komentar: