Selasa, 15 Juli 2014

Merawat Gumuk




Siang yang gersang. Tentu saja, karena kerongkongan mulut sudah mulai kering. Perut keroncongan. Tapi semua itu tidak jadi soal. Kami bertiga: Saya, Dian Cetar dan Budi bertekat untuk mendaki Gumuk Kerang. Sebuah Gumuk terbesar di pusat kota Jember. Tepatnya di kawasan jalan Tidar, Jember. Gumuk ini juga mudah dilihat dari jalan Karimata. 

Siang itu, sekitar pukul 14.00 WIB, kami jalan kaki menuju Gumuk Kerang. Perjalanan dimulai dari warung Macapat yang terletak di jalan Kalimantan. Memang cukup jauh bila berjalan kaki. Biasa, alasan masih puasa menjadi penyebabnya. Namun, saya tatap ngotot agar perjalanan tetap dilanjutkan. Sebelumnya, Budi dan Dian Cetar mengajak naik Gumuk yang ada di belakang Fakultas Tekhnologi Pertanian Universitas Jember, karena Lokasinya lebih dekat. Tapi Gumuk Kerang lebih eksotis. 
 
Perjalanan: masih berada di dalam area kampus UJ (Dok. Budi)

Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Biasa sambil ngobrol tidak jelas sepanjang jalan. Sehingga tidak terasa lama. Untuk mempercepat sampai ke tempat tujuan, kami melewati gang samping kantor radio Prosalina. Melewati jalan sempit di antara gedung, perkampungan dan perumahan. Sebenarnya, saya sendiri belum tahu pasti jalan terabasan menuju Gumuk Kerang. Pokoknya asal lewat. Sekalian membuat kesan baru tetang perjalanan dengan sengaja tersesat terlebih dahulu. 

Saya hanya pura-pura tahu, lokasi Gumuk Kerang, bila melalui jalur terabasan ini. Lebih tepatnya bergaya sok tahu. Tapi anehnya, Si Budi dan Dian Cetar percaya saja. Hanya ada sedikit rasa ragu di kedua mimik muka mereka. Saat itu, saya berada di garda depan. Seolah memimpin perjalanan. Dalam hati, semoga tidak tersesat. Hari itu, saya sedang beruntung. Perjalanan berlalu mulus sampai di lokasi Gumuk Kerang. 

Saya mencoba mengamati lokasi Gumuk Kerang dalam-dalam. Di lereng Gumuk Kerang ternyata ada tempat pemandian umum. Ini menunjukkan bahwa, gumuk berfungsi sebagai penampung resapan air. Masyarakat sekitar secara tidak langsung, baik sadar maupun tidak, telah memanfaatkan keberadaan gumuk. Beberapa kali kami berpapasan dengan Ibu-ibu yang sedang mencuci baju menggunakan air sumber dan Bapak-bapak selesai mandi. 

Saya juga melihat beberapa pusara di lereng Gumuk Kerang. Nama orang yang meninggal di nisan sudah tidak terlihat. Barangkali sudah sangat lama. Bagaimana sejarahnya saya belum tahu pasti. Namun di beberapa gumuk yang saya temui di Jember, memang terdapat pusara atau pekuburan orang meninggal.
Kami memang sudah sampai di lokasi Gumuk Kerang. Namun kami masih bingung jalan mendaki Gumuk Kerang yang memiliki ketinggian lebih dari 50 meter ini. Dari bawah gumuk terlihat menjulang tinggi dengan sudut kemiringan sekitar 45 derajat. Keputusan diambil dengan mengelilingi gumuk, sambil mencari jalan mendaki. Saya juga melihat, beberapa pohon sengon dan perkebunan warga dengan tanaman subsisten di lereng Gumuk Kerang. 

Tidak lama kemudian, jalanan setapak mendaki gumuk sudah ditemukan. Ada beberapa bagian jalan yang terdapat batuan piring dengan kondisi pecahan kecil-kecil. Gumuk yang ada di Jember ini memang memiliki kandungan galian tambang. Seperti batu piring, batu pondasi, batu koral dan tanah. Untuk itu, gumuk menjadi rentan dieksploitasi. Bila dipandang secara ekonomis, gumuk memang bisa memberi keuntungan untuk beberapa orang saja. Namun, dampak negatifnya akan dirasakan masyarakat Jember. Terutama yang tinggal di kawasan gumuk. Jember memang sempat disebut sebagai kota seribu gumuk. Namun sayangnya sekarang sudah banyak yang rata dengan tanah. Semoga masyarakat bisa saling menjaga keberadaan gumuk. 

Dari beberapa informasi yang saya dapat dari Tabloid Ideas dan wacana ilmiah, gumuk berasal dari bekas aliran larva dan lahar dari Gunung Raung, kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Keberadaan gumuk sendiri  yang cukup banyak hanya terdapat di Jember dan Tasik Malaya, meski kabarnya juga sudah mulai habis. Padahal, selain berfungsi sebagai resapan air. Gumuk berfungsi sebagai penahan angin, penjaga keragaman hayati, iklim dan ekosistem rantai kehidupan hewan serta masyarakat. 

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Kaki saya sudah mulai lelah. Setelah menemukan jalan mendaki Gumuk Kerang, saya mulai semangat lagi. Tapi apa benar pemandangan yang saya lihat ini. Pepohonan alami gumuk sudah banyak yang hilang, berganti tanaman sengon. Pepohonan di Gumuk Kerang memang tidak sepenuhnya habis. Apakah memang demikian keadaannya. Maklum, baru dua kali saya mendaki Gumuk Kerang. Namun, bila penebangan dilakukan hanya untuk menanam sengon agar cepat tumbuh saya rasa kurang bijak. Sebab, potensi erosi bisa saja terjadi. Tidak heran bila saat kami mendaki, jalanan setapak banyak terdapat kerikil. Lapisan tanah sepertinya mulai ada yang terkikis. 

Sekali lagi saya tetap sengaja sok tahu jalan mendaki gumuk J. Selain alasan semangat. Untuk itu saya berada di depan sendiri, disusul Dian Cetar lalu paling belakang sendiri Si Budi. Nafas saya mulai ngos-ngosan. Apalagi Budi sama Cetar. Tambah paraaah :).

Sampai di tengah perjalanan mendaki. Saya berhenti sejenak. Sekedar melihat indahnya kota Jember dari ketinggian Gumuk Kerang. Lalu tancap gas lagi. Saya tidak sabar melihatnya dari puncak. Dengan nafas terbata bata, saya sampai terlebih dahulu di puncak. Kota jember terlihat sangat jelas dari ketinggian. Pandangan saya melihat Jember bisa lebih bebas. Gunung Argopuro dan Semeru begitu tampak jelas dan eksotik. Bila melihat di bagian timur Gumuk Kerang, hamparan sawah terlihat seperti lukisan. Petak-petak sawah seperti puzzle  warna-warni.    

Kami bertiga duduk berselonjor menghadap barat. Memandang kota Jember dengan bebas sambil menunggu sunset. Angin berhembus semilir mengeringkan keringat dan menyembuhkan lelah. Jarang-jarang saya bisa merasakan segarnya oksigen seperti ini. Benar-benar murni. Tidak bercampur asap knalpot kendaraan. 

Bukti berada di atas Gumuk Kerang :). (Dok. Budi)

Pemandangan kota Jember dari puncak Gumuk Kerang. (Dok. oleh Dian Cetar)

Di puncak Gumuk Kerang terdapat jambu mete. Bila di kampung saya disebut jambu mente.Telihat sangat natural. Semoga saja tidak ada pendaki yang mengotori dengan meninggalkan sampah. Saya melihat ada bekas tumpukan kayu yang dibakar. Sepertinya ada yang baru menginap. Untung saja tidak ada sampah tertinggal. Berarti yang mendaki orang yang sadar kebersihan lingkungan dan berpendidikan tuuh  :).

Seperti biasa, dalam moment seperti ini kami menyempatkan diri untuk dokumentasi diri. Meski Budi pada mulanya berlagak acuh tidak mau difoto. Pada akhirnya dia yang paling bersemangat, saat Dian Cetar bilang kalau baterai Hp-nya sudah mulai habis. Budi sampai foto loncat-loncat. Menunjukkan kegirangannya. 
Budi sedang meloncat. (Dok. oleh Dian Cetar).


Kami pulang sekitar pukul 16.00 WIB. Dengan estimasi waktu sampai di Macapat sudah mendekati Maghrib. Saat perjalanan turun, saya beberapa kali terpeleset. Selain jalan yang berkerikil (barangkali sudah ter-erosi), sudah sangat jarang terdapat tanaman liar sebagai pegangan. Masak, tanaman sengon yang masih kecil mau saya jadikan pegangan. Kalau rusak, siapa yang tanggungjawab. 

Perjalanan pulang dipenuhi rasa lega. Namun sempat geleng-geleng kepala setelah melihat gumuk kecil di sekitar Gumuk Kerang yang sudah hampir habis. Ada beberapa makam yang nyaris roboh. Prediksi saya kalau tidak ada pusaranya pasti sudah dilahap habis gumuk tersebut.

Saya rasa, masyarakat Jember pada khususnya perlu mendapatkan penyadaran akan fungsi gumuk. Agar Jember tetap menjadi kota yang bagus ditanami tembakau. Tidak terkena angin puting beliung semakin parah, dan tentunya tidak kekeringan kebutuhan air. Saya menyinggung tembakau karena gumuk memiliki satu kesatuan dengan pertanian di Jember. Sebagai penyeimbang iklim.

 Persoalan gumuk memang kompleks. Gumuk rata-rata hanya dimiliki personal. Sehingga pemilik gumuk cenderung memiliki otoritas. Saya dan kawan-kawan berharap, gumuk di Jember tidak lagi dieksploitasi. Apalagi sampai dijadikan monumen. Apakah itu berarti Jember hanya akan ada beberapa gumuk saja? Gumuk tidak hanya dilindungi keberadaannya. Gumuk juga perlu dirawat ekosistemnya.
Perjalanan sore ini sudah tuntas. Saya, Dian Cetar dan Budi sudah kembali ke habitatnya masing-masing. Menunggu Maghrib tiba. 


Jember, 14 Juli 2014.




Tidak ada komentar: