Minggu, 20 Juli 2014

Kebebasan Berpikir di Ruang Publik


Bagi kalangan pelajar yang saya kenal di Jember, Alun-alun disebut sebagai taman kota. Tempat bermain, berkumpul dan olah raga. Bagi masyarakat Jember selatan, beberapa keluarga saya yang ada di sana menyebutnya sebagai pusat kota. Bayangan kehidupan yang berjarak dari rutinitas masyarakat urban. Saya sendiri menyebut alun-alun tidak lebih hanya ruang politis Pemkab Jember. Ia hanyalah identitas yang dipaksa agar dikagumi dan menjadi ruang publik eksklusif.

Siang itu, saya, Budi dan Dian Cetar, datang ke alun-alun untuk sekedar mengusir penat. Beragam kegiatan bercampur aduk di Alun-alun. Mulai dari  orang berumur tua yang sedang lari-lari kecil mengelilingi Alun-alun, para pemuda bermain basket, nongkrong, pacaran, semua tumpah ruah di Alun-alun. Semua lapisan masyarakat bisa hadir di sini dan bebas membicarakan apapun. Tidak ada dominasi kekuasaan yang membatasi kebebasan berpendapat.
Para pemuda sedang bermain basket (Dok. Cetar)


Apakah ini yang dinamakan ruang publik abad 21?. Setelah reformasi, kebebasan berpendapat sudah bisa dirasakan. Kebebasan itupun tidak dimaknai secara liar, sikap demokrasi tetap menuntut tanggungjawab. Alun-alun merupakan proyeksi pemerintah untuk memberikan fasilitas kebebasan aktivitas masyarakat. Bukan dimaknai milik masyarakat sepenuhnya. Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi sesuai instruksi dari pemerintah. Seperti, pedagang kaki lima dilarang berjualan di Alun-alun. Meski peraturan tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi.
Peraturan dari Pemkab (Dok Ulil)


Ruang publik di era kekinian memang tidak hanya berlaku di lapangan. Ia juga muncul di dunia maya: internet. Setelah munculnya kapitalisasi percetakan di abad 18, media-media cetak telah memberikan kontribusi untuk menciptakan opini publik. Bagaimana akhirnya kita bisa mengenal bangsa-bangsa yang berjarak. Atau jauh dari realitas kehidupan sekitar. Dari keberjarakan tersebut, bagi Benedict Anderson dalam buku Imagined Communities, konsep kebangsaan atau rasa nasionalisme bisa terbentuk lewat media. Meski hanya ada di dalam bayangan. Bila kita ada di Jawa, kebudayaan-kebudayaan masyarakat Papua, Aceh dan daerah luar Jawa yang tidak pernah kita saksikan secara langsung, bisa lebih dikenali.

Saya mencoba berjalan mengelilingi Alun-alun, orang-orang yang menikmati keberadaan Alun-alun, terlihat beragam. Bila dilihat dari pakaian yang dikenakan. Ada yang mengenakan pakaian necis. Ada pula hanya ala kadarnya. Barangkali ini juga menggambarkan keberagaman masyarakat Jember. Beragam etnis dan budaya. Masyarakat Jember semuanya memang pendatang. Sehingga, tidak terbentuk satu keseragaman yang dominan.

Sebuah Tesis Program Studi Ilmu Sejarah, karya Chandra Aprianto, Dekolonisasi Perkebunan di Jember Tahun 1930-1960an, sempat menyinggung awal mula munculnya arus migrasi masyarakat yang datang ke Jember. Jember pada mulanya merupakan daerah yang terisolir. Sejak masuknya perkebunan swasta, perkembangan Jember menjadi semakin pesat dibandingkan dengan daerah di Karesidenan Besuki, (Panarukan, Bondowoso dan Banyuwangi).

Jember dikenal sebagai salah satu kota perkebunan di Indonesia, sejak pertengahan abad XIX sampai awal abad XX. Dimulai dari masuknya pengusaha swasta untuk membuka perkebunan di Jember pada 1859. Salah satunya adalah Goerge Bernie yang memiliki perusahaan LMOD terbesar di Jember.

Munculnya pengusaha swasta tersebut merupakan respon dari kaum liberal karena melihat kekejaman sistem tanam paksa di Jawa. Pemerintah kolonian Belanda menerapkan system of Interprise, sebagai kelanjutan dari tanam paksa yang membawa kemelaratan masyarakat di sekitar perkebunan. System of Interprise diprakarsai oleh kelompok liberal yang menentang sistem tanam paksa. Sistem ini memunculkan perkebunan swasta, dengan harapan komoditi tanaman ekspor dapat memberi keuntungan kepada pemerintah. 

Keberadaan perkebunan di Jember tersebut, telah mendorong arus migrasi untuk dijadikan tenaga kerja.
Etnis Madura yang lebih mendominasi wilayah Jember terjadi karena pencarian wilayah yang lebih subur. Arus migrasi pada mulanya terjadi dari pulau Madura dan wilayah Panarukan. Terutama setelah Munculnya pengusaha perkebunan pada 1859 yang membutuhkan jasa untuk membuka hutan guna lahan perkebunan kopi, tembakau, kakao, tebu, karet dan lain-lain.

Kemajuan perekonomian di Jember dan derasnya arus migrasi dari Pulau Jawa dan Madura, terjadi setelah adanya perbaikan infrastruktur seperti jalan serta rel kereta api. Membuat Jember menjadi kota tersendiri pada Tahun 1883. Dalam artian tidak lagi menjadi onder distrik dari Bondowoso. Sekarang, jalur kereta yang menghubungkan Jember menuju Bondowoso dan Situbondo sudah tidak difungsikan lagi.
Dari arus migrasi itulah, masyarakat Jember menjadi beragam, membawa kebudayaan daerahnya masing-masing, sehingga memunculkan perpaduan kebudayaan yang disebut pandalungan.

***

Dari keberagaman tersebut, saya sempat berpikir. Apakah ruang pertemuan publik bernama Alun-alun ini masih menyimpan kesadaran sejarah? Paling tidak bisa menjadi bahan obrolan bagi siapapun yang berkunjung ke Alun-alun Jember. Saat sampai di Alun-alun bagian utara, saya melihat dua tugu besar berlapis tembaga. Tugu sebelah barat bertuliskan Adipura dan sebelah timur tertulis Adiwiyata, keduanya berjajar, dengan tinggi sekitar 7 meter.

Simbol prestasi Pemkab (Dok Dian Cetar).

Tugu tersebut setidaknya telah memberi ingatan politis, bahwa Jember pernah mendapatkan penghargaan kementrian lingkungan hidup. Sebuah simbol penghargaan kebersihan dan keteduhan lingkungan kota untuk Adipura dan simbol kesadaran pelestarian lingkungan melalui lembaga pendidikan untuk Adiwiyata. Apakah simbol tersebut masih berlaku di Jember? Bila masih melihat sampah berserakan di sungai dan aktivitas proyeksi tambang di gunung Manggar, Jember selatan. Simbol kebesaran Jember tersebut memang bisa menjadi pemantik sebuah perdebatan, atau paling tidak menciptakan opini publik. Bagi siapapun yang berkunjung ke Alun-alun Jember.

Bila dilihat dan dirasakan, berada di Alun-alun Jember memang menyenangkan. Banyak pohon kelapa berjajar rapi di selatan taman bermain anak-anak. Ada lapangan hijau luas yang biasa dimanfaatkan untuk bermain sepak bola. Serta pohon-pohon besar yang ada di setiap sudut Alun-alun. Ada pot-pot bunga besar, yang beberapa tanamannya sudah mati, atau barangkali sengaja dimatikan. Ada pula sejenis tanaman kurma yang berjajar rapi di tepi Alun-alun. Bila malam, pohon kurma tersebut menyala, karena dilingkari lampu-lampu kecil yang genit J. Cukup cocok sebagai ruang romantisme penghargaan Adipuran dan Adiwiyata.

Pohon-pohon kelapa di selatan taman bermain Anak-anak (Dok. Dian Cetar)
Tanaman di pot yang terlihat sengaja diikat (Dok. Cetar)
Ruang bermain Anak-anak (Dok Cetar)

Saya sempat duduk-duduk santai di bawah rindang pohon kelapan Alun-alun Jember. Dari situ terlihat patung M. Letkol Seroeji, tepat di dapan kantor Pemkab Jember. Salah satu simbol perjuangan Jember saat mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Kolonial Belanda. Ia merupakan patriot lokal yang belum banyak diwacanakan dalam bangku sekolah. Ternyata Jember juga punya pahlawan. Dalam perspektif penulisan sejarah baru di Indonesia, definisi pahlawan tidak harus orang-orang besar yang harus memberi pengaruh dalam skala nasional. Dalam tingkat kota sampai desa, seseorang yang berjuang demi kepentingan bersama bisa disebut pahlawan. Meski seorang petani sekalipun.

Saya rasa, keberadaan patung M. Letkol Sroedji bisa dijadikan pemantik rasa ingin tahu untuk mengenalnya lebih jauh. Perjuangan M. Letkol Sroedji tidak bisa dilepaskan dari adanya perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, yang merugikan persatuan bangsa Indonesia. Dari perjanjian tersebut, salah satunya berisi : Belanda hanya mengakui Sumatra dan Jawa Tengah sebagai wilayah Republik Indonesia. Barangkali itu yang akhirnya membuat M. Letkol Sroedji mempertahankan Jember, yang masuk dalam administratif Jawa Timur.

Patung M. Letkol Sroedji di depan kantor Pemkab Jember (Dok. Ulil)


***

Perjalanan kami lanjutkan ke seberang jalan. Ada keramaian di depan Masjid Baitul Amien. Sebuah masjid dengan arsitektur yang eksotis. Atap yang berbentuk setengah lingkaran terlihat seperti bangunan kantor DPR RI. Karena jalan raya yang menghubungkan Surabaya dengan Jember ini terlalu padat, kami menyebrang melalui jembatan layang. Sebelum naik ke Jembatan, di depan yayasan Masjid Jami’ Al Baitul Amien, kami menemukan tanda titik nol kilometer Jember.

Tanda titik nol kilometer Jember (Dok. Dian Cetar)
Dari atas jembatan : Anak-anak mengaji terlihat di sekitar Masjid Baitul Amien (Dok. Ulil)

Keramaian yang ada di depan Masjid Baitul Amien, setelah kami dekati ada pos makanan gratis. Terlihat juga bus donor darah dari Palang Merah Indonesia (PMI). Kegiatan donor tersebut dilakukan setiap malam, selama bulan Ramadhan.
Dari seberang jalan, terlihat keramaian masyarakat (Dok. Ulil)

Posko buka bersama dan donor darah (Dok Dian Cetar)


Dari titik nol kilometer Jember, kami memutuskan kembali ke tempat awal perjalanan dimulai. Alun-alun sebagai ruang publik, merupakan fasilitas umum yang akan siap menampung kebebasan berpikir kapanpun. Terlepas dari konstruksi politis tata ruang Alun-alun dari Pemkab. Semoga dominasi kekuasaan orde baru yang mengekang kebebasan berpendapat tidak akan hidup kembali di era kekinian.

Jember, 17 Juli 2014. 

Tidak ada komentar: