Kamis, 17 Juli 2014

Perjalanan Membaca Ruang Publik


Siang itu, saya ingin membaca. Tapi bukan membaca teks di buku ilmiah atau fiksi. Saya ingin membaca ruang publik di Jember. Perjalanan dimulai dari jalan Kalimantan sekitar pukul 15.00. 

Setiap sore di bulan Ramadhan, jalan di sekitar kampus menjadi semakin padat. Analisis sederhananya karena banyak aktivitas jual beli makanan terutama di sepanjang trotoar jalan Kalimantan dan Jawa. Ada yang berjualan di atas trotoar dan membuka lapak di tepi jalan. Ada pula yang berjualan minuman takjil sambil berdiri di tepi jalan.

Perdebatan yang cukup rumit memang, bila membahas keberadaan pedagang kaki lima. Mau tidak mau, realitas tersebut menunjukkan tingkat perekonomian masyarakat masih rendah. Ruang kreativitas untuk memproduksi hasil kerja secara mandiri belum didukung oleh pemerintah. Kesempatan berdagang secara legal formal masih dipegang oleh pemilik modal. Bayangkan saja, berapa harga sewa ruko di sekitar kampus? 

Bila ditelan mentah-mentah, realitas macet dan pejalan kaki yang tidak bisa lenggang kangkung di trotoar memang disebabkan oleh pedagang kaki lima. Ternyata itu hanyalah potret lapangan pekerjaan yang masih minim di Jember. Sehingga, masyarakat cenderung mengakses pekerjaan yang sebenarnya belum mengantongi izin. Di atas trotoar misalnya, memang lebih murah bila ada transaksi dari perantara dibanding sewa ruko. Tentunya dengan modal relatif terjangkau. 

Saat menyuri jalan Letjend Suprapto, atau lebih mudah dikenali di kawasan markas Batalyon Armed,  Saya berpapasan dengan pedagang sangkar ayam keliling. Ada pula padagang sayur keliling. Menyunggi sayurannya dengan tampah. Barangkali inilah realitas masyarakat lapisan bawah yang terpinggirkan secara persaingan ekonomi. Seperti yang dikatakan Antony Gidden, dalam buku The Third Way. Tidak adanya pemerataan perekonomian atau munculnya kesenjangan sosial karena pemerintah masih membiarkan pasar bebas saling berkompetisi. Bagi yang tidak memiliki modal, siap saja tersingkir. Ia pun menawarkan adanya bentuk kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat untuk meraih kesejahteraan sosial. Salah satunya dengan mendukung pemodal kecil yang memiliki kreatifitas dalam berkarya. 
Seorang lelaki tua sedang berjalan membawa sangkar ayam, di jalan Letjend Suprapto (Dok. Budi)

Pedagang sangkar ayam keliling ini sudah berusia tua. Bila dilihat secara fisik. Misalnya bila ia memiliki kemampuan untuk membuat sangkar ayam, itu hanya dalam jumlah terbatas. Tentunya kalah dengan industri yang bisa memproduksi secara masal, apalagi bisa menawarkan harga lebih murah. Pastinya.

***

Pada mulanya saya dan Budi hanya iseng saja. Ingin melakukan perjalanan, meski tidak jelas tujuannya kemana. “Yang penting jalan Bud, kalau ada yang menarik langsung potret saja,” tawarku penuh percaya diri. Budi pun tidak banyak komentar, dia hanya mengiyakan saja. Kami mengamati sekitar dengan laju motor perlahan. Sampai di kawasan jembatan Semanggi, kami berhenti sejenak. Memotret grafiti yang ada di dinding jalan melingkar menuju jembatan Semanggi. Saya tersenyum melihatnya, inilah bentuk ekspresi seni visual. Bisa dinikmati secara estetik dan tentunya ada pesan yang ingin disampaikan. Entah itu bentuk eksistensi diri kelompok grafiti atau sekaligus ingin menyampaikan kritik kepada pemerintah dan penyadaran kepada masyarakat.

Seni grafiti di bawab jembatan Semanggi (Dok. Budi)

Saya melihat, ada emosi di balik gambar tersebut. Ruang publik memang sudah banyak diciderai oleh papan-papan reklame iklan. Ada yang ditancapkan di pohon sampai yang skala besar dengan tiang besi. Saya pribadi merasa senang bila melihat grafiti daripada iklan. Meski ada yang menganggap aktifitas tersebut tidak bertanggungjawab karena corat-coret dinding ruang publik. Tapi saya rasa itulah salahsatu bentuk demokrasi. Kebebasan berekspresi dan berpikir.
Beberapa kawan saya yang punya pengalaman melakukan vandalisme juga tidak seenaknya sendiri. Masih ada proses izin kepada pemilik tembok. Pun tidak semua tembok akan digambari. Tembok rumah orang misalnya, jelas dimarahi. Jadi ada ruang-ruang tertentu yang dianggap strategis untuk menyampaikan pesan. Terutama ruang milik publik yang sebenarnya tidak perlu ada proses izin. 

Tembok-tembok yang seringkali saya lihat terdapat grafiti dan mural memang terletak di tepi-tepi jalan. Biasanya tembok pembatas. Di jembatan Semanggi ini saya melihat beberapa papan reklame kosong telah dicoret-coret dengan kurang estetik. Tapi tak apalah, barangkali hanya ada sedikit waktu atau keberanian untuk mempercantik. Paling tidak, sudah ada keberanian untuk mengisi kekosongan. 
Papan reklame iklan dijadikan ruang kreatif sekaligus kritik (Dok. Budi)

Dari atas jembatan Semanggi, saya dan Budi melihat kali Bedadung -yang memiliki cerita rakyat menarik. Kabarnya, bila ada pendatang yang mandi di kali Bedadung maka akan berjodoh dengan orang Jember. Tapi sayangnya, cerita menarik tersebut dibaluti dengan kondisi sampah berserakan ditepi kali Bedadung. Waktu itu saya melihat ada masyarakat yang mencuci baju dan anak-anak kecil sedang mandi. Tepat di sekitarnya ada tumpukan sampah rumah tangga. 

Bila kali Bedadung masih menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat, sanitasi yang buruk di kali akan menambah resiko terserang penyakit. Tepat di samping perkampungan padat sekitar kali Bedadung, dari atas jembatas Semanggi terlihat jelas Rumah Sakit Jember Klinik. Apakah keduanya tidak pernah berinteraksi?

Sampah menumpuk di tepi sungai Bedadung (Dok. Budi)

RS. Jember Klinik, terletak di sekitar pemukiman belantaran kali Bedadung (Dok. Budi)

Tidak jauh dari jembatan Semanggi, sebelah barat, terdapat mural petani bersama tembakau. Dan tentunya kretek khas indonesia sebagai kekuatan yang ingin dikenalkan. Akhir-akhir ini, pemerintah mengesahkan peraturan iklan mengerikan di kemasan rokok. Gambar yang dipasang bukan membuat takut, melainkan menjijikkan. Selain ketakutan visual yang mengerikan, teks yang ditaruh tidak lagi “Merokok Menyebabkan...” Melainkan “Merokok Membunuhmu.” Tanpa basa basi dan semakin terlihat tidak mendidik samasekali. 

Gambar mural tersebut saya rasa akan tetap membumi sampai kapanpun. Tidak usah terlalu jauh seperti apa permainan dagang melalui legitimasi WHO dan perusahaan farmasi. Realistis saja, hasil riset-riset kesehatan akan terbantah dengan sendirinya ketika mbah-mbah kita di rumah tetap merokok, dan tidak ada persoalan selebay iklan bahaya merokok. Bukankah masih banyak lagi produk yang lebih berbahaya daripada rokok? Selama masyarakat berpola hidup seimbang, saya rasa rokok tidak akan jadi soal. 

Mural yang mengajak untuk mencintai tembakau dan kretek (Dok. Budi)

Perjalanan membaca,kami lanjutkan di jalan PB. Sudirman, di sana terdapat halte yang sudah kusam. Tinggal sekat bekas telepon umum koin. Di belakangnya terdapat tembok bergambar anak kecil sedang bermain, burung, jerapah, taman dan gambar-gambar mendidik untuk diperkenalkan kepada anak-anak. Ternyata itu milik sekolahan TK Kemala Bhayangkari 29.  Gambar-gambar tersebut secara tidak langsung bisa memantik siswa memiliki rasa ingin tahu dan mendidik karakternya. Saya rasa, itulah ruang publik yang ideal. 
Halte dan gambar ruang publik yang mendidik di jalan PB. Sudirman (Dok. Budi)

Kami juga menemukan lagi dua halte yang sudah tidak terawat, di jalan Trunojoyo arah ke Pasar Tanjung, dan barat bundaran Mastrib. Di Jalan Trunojoyo saya melihat masih tersisa dua pesawat telepon umum yang masih utuh. Entah masih berfungsi atau tidak, yang pasti masyarakat saat ini sudah beralih ke telepon genggam. Tapi saya rasa, telepon umum masih layak untuk dipertahankan serta dirawat keberadaannya. Ia menjadi salahsatu alat komunikasi yang biasanya digunakan untuk interaksi penting. Bukan hanya obrolan basa-basi. 

Terlihat dua pasang telepon umum masih dalam kondisi baik di jalan Trunojoyo. (Dok. Budi)
Alih fungsi, sebuah halte di barat bundaran Mastrib dipenuhi meja lapak pedagang (Dok. Budi)

Dari perjalanan saya dan Budi melewati beberapa jalan di kota Jember, ternyata ada banyak hal yang seringkali luput dari perhatian. Mulai dari persoalan jalanan macet, pedagang kaki lima, sampah di kali, seni visual, saya rasa semua merupakan bagian dari cerminan kondisi masyarakat Jember. Sebuah materi bacaan perjalanan yang tidak terpisah dengan realitas sekitar, dan tetap bebas dimaknai. Jadi tidak hanya lewat, lalu tetap acuh.   

Jember, 17 Juli 2014.

Tidak ada komentar: