Siang itu, saya ingin membaca. Tapi bukan membaca
teks di buku ilmiah atau fiksi. Saya ingin membaca ruang publik di Jember. Perjalanan
dimulai dari jalan Kalimantan sekitar pukul 15.00.
Setiap sore di bulan Ramadhan, jalan di sekitar
kampus menjadi semakin padat. Analisis sederhananya karena banyak aktivitas
jual beli makanan terutama di sepanjang trotoar jalan Kalimantan dan Jawa. Ada yang
berjualan di atas trotoar dan membuka lapak di tepi jalan. Ada pula yang
berjualan minuman takjil sambil berdiri di tepi jalan.
Perdebatan yang cukup rumit memang, bila membahas
keberadaan pedagang kaki lima. Mau tidak mau, realitas tersebut menunjukkan
tingkat perekonomian masyarakat masih rendah. Ruang kreativitas untuk
memproduksi hasil kerja secara mandiri belum didukung oleh pemerintah.
Kesempatan berdagang secara legal formal masih dipegang oleh pemilik modal.
Bayangkan saja, berapa harga sewa ruko di sekitar kampus?
Bila ditelan mentah-mentah, realitas macet dan
pejalan kaki yang tidak bisa lenggang kangkung di trotoar memang disebabkan
oleh pedagang kaki lima. Ternyata itu hanyalah potret lapangan pekerjaan yang
masih minim di Jember. Sehingga, masyarakat cenderung mengakses pekerjaan yang
sebenarnya belum mengantongi izin. Di atas trotoar misalnya, memang lebih murah
bila ada transaksi dari perantara dibanding sewa ruko. Tentunya dengan modal
relatif terjangkau.
Saat menyuri jalan Letjend Suprapto, atau lebih mudah
dikenali di kawasan markas Batalyon Armed, Saya berpapasan dengan pedagang sangkar ayam
keliling. Ada pula padagang sayur keliling. Menyunggi sayurannya dengan tampah.
Barangkali inilah realitas masyarakat lapisan bawah yang terpinggirkan secara
persaingan ekonomi. Seperti yang dikatakan Antony Gidden, dalam buku The Third Way. Tidak adanya pemerataan
perekonomian atau munculnya kesenjangan sosial karena pemerintah masih
membiarkan pasar bebas saling berkompetisi. Bagi yang tidak memiliki modal,
siap saja tersingkir. Ia pun menawarkan adanya bentuk kerjasama antara pemerintah
dengan masyarakat untuk meraih kesejahteraan sosial. Salah satunya dengan
mendukung pemodal kecil yang memiliki kreatifitas dalam berkarya.
Seorang lelaki tua sedang berjalan membawa sangkar ayam, di jalan Letjend Suprapto (Dok. Budi) |
Pedagang sangkar ayam keliling ini sudah berusia tua.
Bila dilihat secara fisik. Misalnya bila ia memiliki kemampuan untuk membuat
sangkar ayam, itu hanya dalam jumlah terbatas. Tentunya kalah dengan industri
yang bisa memproduksi secara masal, apalagi bisa menawarkan harga lebih murah.
Pastinya.
***
Pada mulanya saya dan Budi hanya iseng saja. Ingin
melakukan perjalanan, meski tidak jelas tujuannya kemana. “Yang penting jalan
Bud, kalau ada yang menarik langsung potret saja,” tawarku penuh percaya diri.
Budi pun tidak banyak komentar, dia hanya mengiyakan saja. Kami mengamati
sekitar dengan laju motor perlahan. Sampai di kawasan jembatan Semanggi, kami berhenti
sejenak. Memotret grafiti yang ada di dinding jalan melingkar menuju jembatan
Semanggi. Saya tersenyum melihatnya, inilah bentuk ekspresi seni visual. Bisa
dinikmati secara estetik dan tentunya ada pesan yang ingin disampaikan. Entah
itu bentuk eksistensi diri kelompok grafiti atau sekaligus ingin menyampaikan
kritik kepada pemerintah dan penyadaran kepada masyarakat.
Seni grafiti di bawab jembatan Semanggi (Dok. Budi) |
Saya melihat, ada emosi di balik gambar tersebut.
Ruang publik memang sudah banyak diciderai oleh papan-papan reklame iklan. Ada
yang ditancapkan di pohon sampai yang skala besar dengan tiang besi. Saya
pribadi merasa senang bila melihat grafiti daripada iklan. Meski ada yang
menganggap aktifitas tersebut tidak bertanggungjawab karena corat-coret dinding
ruang publik. Tapi saya rasa itulah salahsatu bentuk demokrasi. Kebebasan
berekspresi dan berpikir.
Beberapa kawan saya yang punya pengalaman melakukan
vandalisme juga tidak seenaknya sendiri. Masih ada proses izin kepada pemilik
tembok. Pun tidak semua tembok akan digambari. Tembok rumah orang misalnya,
jelas dimarahi. Jadi ada ruang-ruang tertentu yang dianggap strategis untuk
menyampaikan pesan. Terutama ruang milik publik yang sebenarnya tidak perlu ada
proses izin.
Tembok-tembok yang seringkali saya lihat terdapat
grafiti dan mural memang terletak di tepi-tepi jalan. Biasanya tembok pembatas.
Di jembatan Semanggi ini saya melihat beberapa papan reklame kosong telah
dicoret-coret dengan kurang estetik. Tapi tak apalah, barangkali hanya ada
sedikit waktu atau keberanian untuk mempercantik. Paling tidak, sudah ada
keberanian untuk mengisi kekosongan.
Papan reklame iklan dijadikan ruang kreatif sekaligus kritik (Dok. Budi) |
Dari atas jembatan Semanggi, saya dan Budi melihat kali
Bedadung -yang memiliki cerita rakyat menarik. Kabarnya, bila ada pendatang
yang mandi di kali Bedadung maka akan berjodoh dengan orang Jember. Tapi
sayangnya, cerita menarik tersebut dibaluti dengan kondisi sampah berserakan
ditepi kali Bedadung. Waktu itu saya melihat ada masyarakat yang mencuci baju dan
anak-anak kecil sedang mandi. Tepat di sekitarnya ada tumpukan sampah rumah
tangga.
Bila kali Bedadung masih menjadi satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat, sanitasi yang buruk di
kali akan menambah resiko terserang penyakit. Tepat di samping perkampungan
padat sekitar kali Bedadung, dari atas jembatas Semanggi terlihat jelas Rumah
Sakit Jember Klinik. Apakah keduanya tidak pernah berinteraksi?
Sampah menumpuk di tepi sungai Bedadung (Dok. Budi) |
RS. Jember Klinik, terletak di sekitar pemukiman belantaran kali Bedadung (Dok. Budi) |
Tidak jauh dari jembatan Semanggi, sebelah barat,
terdapat mural petani bersama tembakau. Dan tentunya kretek khas indonesia
sebagai kekuatan yang ingin dikenalkan. Akhir-akhir ini, pemerintah mengesahkan
peraturan iklan mengerikan di kemasan rokok. Gambar yang dipasang bukan membuat
takut, melainkan menjijikkan. Selain ketakutan visual yang mengerikan, teks
yang ditaruh tidak lagi “Merokok Menyebabkan...” Melainkan “Merokok Membunuhmu.”
Tanpa basa basi dan semakin terlihat tidak mendidik samasekali.
Gambar mural tersebut saya rasa akan tetap membumi
sampai kapanpun. Tidak usah terlalu jauh seperti apa permainan dagang melalui
legitimasi WHO dan perusahaan farmasi. Realistis saja, hasil riset-riset
kesehatan akan terbantah dengan sendirinya ketika mbah-mbah kita di rumah tetap
merokok, dan tidak ada persoalan selebay
iklan bahaya merokok. Bukankah masih banyak lagi produk yang lebih berbahaya
daripada rokok? Selama masyarakat berpola hidup seimbang, saya rasa rokok tidak
akan jadi soal.
Mural yang mengajak untuk mencintai tembakau dan kretek (Dok. Budi) |
Perjalanan membaca,kami lanjutkan di jalan PB. Sudirman,
di sana terdapat halte yang sudah kusam. Tinggal sekat bekas telepon umum koin.
Di belakangnya terdapat tembok bergambar anak kecil sedang bermain, burung,
jerapah, taman dan gambar-gambar mendidik untuk diperkenalkan kepada anak-anak.
Ternyata itu milik sekolahan TK Kemala Bhayangkari 29. Gambar-gambar tersebut secara tidak langsung
bisa memantik siswa memiliki rasa ingin tahu dan mendidik karakternya. Saya
rasa, itulah ruang publik yang ideal.
Halte dan gambar ruang publik yang mendidik di jalan PB. Sudirman (Dok. Budi) |
Kami juga menemukan lagi dua halte yang sudah tidak
terawat, di jalan Trunojoyo arah ke Pasar Tanjung, dan barat bundaran Mastrib.
Di Jalan Trunojoyo saya melihat masih tersisa dua pesawat telepon umum yang
masih utuh. Entah masih berfungsi atau tidak, yang pasti masyarakat saat ini sudah
beralih ke telepon genggam. Tapi saya rasa, telepon umum masih layak untuk
dipertahankan serta dirawat keberadaannya. Ia menjadi salahsatu alat komunikasi
yang biasanya digunakan untuk interaksi penting. Bukan hanya obrolan basa-basi.
Terlihat dua pasang telepon umum masih dalam kondisi baik di jalan Trunojoyo. (Dok. Budi) |
Alih fungsi, sebuah halte di barat bundaran Mastrib dipenuhi meja lapak pedagang (Dok. Budi) |
Dari perjalanan saya dan Budi melewati beberapa
jalan di kota Jember, ternyata ada banyak hal yang seringkali luput dari
perhatian. Mulai dari persoalan jalanan macet, pedagang kaki lima, sampah di
kali, seni visual, saya rasa semua merupakan bagian dari cerminan kondisi
masyarakat Jember. Sebuah materi bacaan perjalanan yang tidak terpisah dengan
realitas sekitar, dan tetap bebas dimaknai. Jadi tidak hanya lewat, lalu tetap
acuh.
Jember, 17 Juli 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar