Rabu, 23 Juli 2014

Buyut Awet Muda dan Sebuah Kelahiran Baru



Sore ini, saya berkunjung ke rumah Pak Wek. Sebutan kami untuk memanggil seorang Kakek. Saya duduk dengannya di depan televisi sambil buka puasa. Umurnya sudah 71 tahun. Ia lahir pada 1943, dua tahun sebelum Indonesia merdeka.

Setelah berbuka puasa, di samping saya ada setoples marning, camilan tradisional buatan sendiri. Sambil leyeh-leyeh saya memakan marning dengan tenang. Rasanya renyah, sedikit membandel bila dikunyah: renyah tapi keras. Suara renyahnya bisa terdengar jelas.

“Kriuk, kriuk,” terdengar suara serupa di samping saya. Dengan santai Pak Wek melahap marning tanpa ada rasa was-was saat mengunyahnya. Orang sesusia Pak Wek biasanya, bila mengunyah marning kecenderungannya was-was. Takut mengenai gigi yang sakit, keropos, bahkan tidak mau memakannya karena gigi gerahamnya sudah ompong.

Basa-basi dimulai. Saya tanya solah bagaimana proses pembuatan marning. Prosesnya ternyata cukup gampang. Hanya menyiapkan jagung yang direbus dengan enjet. Setelah itu baru digoreng dengan bumbu. Selesai.

Bahasa daerah di Indonesia memang memiliki pembendaharaan kata yang kaya. Enjet sebenarnya berasal dari kapur. Dalam bahasa Indonesia sendiri, untuk menyebut enjet harus ada penjelasan lebih. Tidak ada diksi spesifik yang memiliki makna serupa dengan enjet. Dalam bahasa Jawa, enjet bermakna kapur yang digunakan sebagai campuran pengolahan makanan, menginang dan obat-obatan.”

Sehingga, kapur dalam bahasa indonesia bisa bermakna enjet  dan pemutih dinding. Meski sebenarnya, enjet berbeda dengan kapur yang masih bisa dibuat mengecat dinding atau campuran bahan cor bangunan. Enjet sudah tidak memiliki reaksi panas. Orang Jawa menyebutnya kapur yang sudah mati.

Setelah bertanya tentang proses pembuatan marning. Saya jadi penasaran, orang seusia Pak Wek kok giginya masih kuat digunakan untuk mengunyah makanan sekeras marning. Sayapun bertanya seputar kisah perawatan gigi Pak Wek.

Sejak masih muda, ia selalu rutin berkumur getah tanaman jarak. Paling tidak satu bulan sekali. Saya pun penasaran dan ingin langsung mencobanya. Tidak banyak basa-basi Pak Wek mengambil senter, mengantar saya ke lokasi tanaman jarak.

Batang jarak yang paling ujung, ditekuk sampai mengeluarkan getah. Setelah itu langsung dihisap. Rasanya  sangat sepat bercampur pahit. Di dalam mulut terasa berbusa. Itu yang digunakan untuk berkumur, dua sampai tiga menit lalu dimuntahkan. Setelah itu, rasanya enak dimulut. Kalau tidak percaya silahkan mencoba.

Pak Wek saya lalu melanjutkan cerita, seputar pengalaman pengobatan tradisional. Bila ia merasa pusing, gelisah, tidak enak badan. Ia cukup menaruh air putih yang sudah direbus ke dalam cawan. Sekitar pukul 19.00 WIB, cawan berisi air tersebut ditaruh di halaman rumah. Atau di manapun yang penting di luar rumah.
Menurut Anthonya Reid dalam buku, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1860 Jilid 1, masyarakat Eropa ternyata juga banyak belajar tentang medis di Asia Tenggara. Masyarakat Asia Tenggara yang dianggap masih primitif, belum beradap, ternyata memiliki keistimewaan dalam hal medis. Yaitu pengobatan dengan rempah-rempah.

***

Pagi ini saya juga mendapatkan kabar, bahwa Pak Wek mulai hari ini sudah menjadi Buyut. Selamat ya, sudah menjadi tua dengan status struktur sosial keturunanmu. Mulai saat ini saya akan menyebutnya Buyut yang awet muda. Buyut yang masih lahap makan marning.

Sekarang sudah pukul 05.00 WIB. Di luar saudara-saudara saya riuh membicarakan kelahiran Cicit baru. Ternyata hari ulang tahun keponakan saya ini sama dengan adik kandung saya Jihan, 21 Juli 2014. Dari dalam rumah Pak Wek, saya keluar untuk sekedar mencari informasi lebih. Saudara-saudara saya sudah berkumpul di depan rumah, membicarakan kelahiran saudara baru sambil persiapan memanen tembakau na oogst.

Kabarnya sang bayi berkelamin Laki-laki, bertubuh gendut dan berambut lebat. Ia lahir pukul 03.00 WIB. Saya langsung berkomentar, “Pasti gedenya jadi keren kayak saya.” Semua langsung tertawa dan mengiyakan, J. Adik baru saya yang belum tahu siapa namanya ini kabarnya lahir dalam kondisi melumah, tidak tengkurap. Sehingga agak susah dan lama. Tapi syukur, Ibu dan anaknya sehat dan selamat.

Cuaca di Jember semalam sangat dingin. Pagi tadi sekitar pukul 05.30, saya ikut menjenguk Si Bayi bersama keluarga. Kabut tipis masih terlihat mengendap di Jember selatan ini. Tepatnya di Desa Kesilir, Kecamatan Wuluhan. Sekarang musim tembakau, saya naik sepeda motor membelah kabut. Inilah istimewanya Jember. Setiap pagi pasti dipenuhi kabut. Barangkali ini yang membuat Jember menjadi bagus ditanami tembakau.
Wuluhan, Jember: Tembakau Na oogst yang masih diselimuti kabut (dok. pribadi)

Wuluhan, Jember: Kabut masih mengendap dalam tanaman tembakau. (dok. pribadi)
Di kawasan Jenggawah, saya melihat tanaman tembakau yang dekerodong dengan waring, seperti jaring. Iklim di Jember akhir-akhir ini memang tidak lagi stabil. Tidak sebagus dahulu, di era Kolonial Belanda, saat tanaman tembakau bisa sangat tinggi, sehingga untuk memanen harus menggunakan tangga.Hal ini tidak bisa terlepas dari berkurangnya gumuk di Jember.Penggunaan waring ternyata agar panas sinar matahari tidak sepenuhnya memanasi tembakau. Sehingga daunnya bisa lebar dan memiliki warna yang bagus.

Jenggawah, Jember :Tembakau yang dikerodong waring (dok. pribadi)

Sampai di rumah persalinan, saya melihat bayi laki-laki itu. Ia sudah dibersihkan dan diberi bedak lalu diimunisasi. Saya jadi ingat ungkapan Antony Reid yang pernah menyebut kondisi kehidupan masyarakat Asia Tenggara yang sangat dekat dengan alam antara abad 15-17. Untuk mendeskripsikan kejernihan sungai ia menulis, ada bayi-bayi baru lahir langsung dimandikan di sungai. Itulah budaya masyarakat Asia Tenggara.

Dalam ruang persalinan, Adik bayi yang baru lahir (dok. pribadi)

Masih di kawasan Jenggawah, masuk di Desa Seruni, saya melihat sungai yang diberi tanda larangan meracun ikan dan menyetrum. Saya rasa ini sebuah kemajuan, untuk menjadikan sungai sebagai tempat khusus memancing. Dan tentunya lebih mendekatkan lagi hubungan antara manusia dengan alam, -yang dirasa semakin berjarak. 

Jenggawah, Jember : Sungai khusus memancing (dok. pribadi)
Selain itu, Masyarakat Asia Tenggara memiliki kebiasaan mandi tiga kali sehari, membuat badan jadi segar dan bisa meluruhkan penyakit. Hal ini membuat orang-orang Eropa yang berkunjung menjadi kagum. Masyarakat Eropa biasanya hanya mandi sehari sekali, itupun di dalam bak.

Besok adalah hari yang menentukan untuk bangsa ini. Adik saya yang baru lahir ini, menyapa Indonesia dalam kondisi politik yang sedang tegang. Menunggu hasil penghitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum. Semoga yang menjadi presiden merupakan orang bijaksana. Tidak otoriter, sentralistik, apalagi intoleran yang bisa memicu konflik horizontal. Adik yang belum punya nama, kamu punya kesempatan untuk menjadi pemimpin. Semoga.

Jember, 21 Juli 2014



Tidak ada komentar: