Sabtu, 06 April 2013

Bermain Sambil Belajar



1 Januari 2013.
 
Sekitar tahun 1999, saya mulai mengalami kesulitan untuk memahami pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Sosail (IPS) di Sekolah Dasar (SD). Setiap mendapat tugas dari guru, atau lebih akrab disebut Pekerjaan Rumah (PR) dari pelajaran tersebut saya selalu merasa gelisah. Di rumah hanya ada televisi, satu-satunya media hiburan. 

Sepulang dari sekolah,  sekitar pukul 12.00 saya melepas baju seragam merah putih lalu  berganti pakaian buat bermain. Waktu saya masih SD, tidak ada siswa yang memiliki HP. Komunikasi dengan teman-teman jika ingin bermain bersama, langsung datang ke rumahnya. Terkadang kami bermain sepak bola, kelereng, layang-layang, jika sudah bosan kami pergi ke pantai untuk mencari ikan dan kerang, kebetulan rumah saya dekat laut. Bermain  apa pun dan bersenang-senang. 

 Saya baru memiliki HP saat duduk di bangku SMA pada tahun 2007. Waktu itu sudah jarang sekali, dan bahkan nyaris tidak pernah bermain seperti waktu SD dan SMP. Barangkali sudah mengalami perubahan dari anak-anak menuju dewasa. Tapi bukan berarti bermain hanya untuk anak-anak. Mainan baru saya adalah HP, bisa interaksi dengan teman-teman tanpa harus datang kerumah. Namun, tidak ada rasa kebersamaan yang indah seperti waktu SD. Saat SD saya sering datang ke rumah teman satu persatu, terkadang sudah berkumpul di suatu tempat. Rasa kebersamaan begitu erat, jika salah satu teman tidak ada, rasanya ada yang kurang. 

 Setelah pulang ke rumah dari bermain bersama teman teman, rasa gelisah mulai muncul lagi. Terbayang angka-angka PR matematika untuk mengerjakan soal perkalian dan pembagian. Waktu itu saya tidak tahu, apa tujuanannya belajar matematika. Ibu guru hanya menjelaskan cara mengerjakan soal perkalian dan pembagian di buku matematika. Ibu guru tidak menjelaskan jika mau belajar matematika dengan sungguh-sungguh. Maka akan mudah membagi hasil bermain dengan teman-teman. Misalnya saat berburu buah mangga, kerang atau ikan, kami bisa membagi dengan adil. 

Memasuki pukul tujuh malam, ibu dan bapak di rumah selalu mengingatkan. “Ada PR atau tidak? Ayo segera belajar.” Jika saya bilang iya, berarti nonton acara Maklampir di televisi setiap pukul tujuah harus tertunda. Saya langsung masuk kamar, tanpa mejawab. Kembali terbayang bagaimana cara mengerjakan angka-angka. Kemudian saya mengingat penjelasan guru dan melihat ulang catatan. Jika tidak mengerjakan, saya pasti mendapat hukuman dari guru. Saya masih ingat, Ibu Nur selalu mencubit lengan saya jika tidak mengerjakan PR. Terkadang, jika beliau geram bukan lagi lengan tapi paha. 

Saya harus mengerjakan, jika tidak ingin mendapat hukuman. Lalu menjadi bertambah bosan berada dikelas yang itu-itu saja. Tapi bagaimana caranya, belajar angka-angka sangat membosankan. Begitu sulit difahami, seolah harus dihafal terlebih dahulu. Ibu guru tidak bisa membuat saya nyaman berada dikelas dan membuat saya ingin belajar. Adanya membuat saya tegang, takut mendapat hukuman dan memaksa diri untuk memahami. Rasanya tidak nyaman, berbeda saat bermain bersama teman-teman di rumah. Meski di kelas juga banyak teman.

Saya sangat senang jika hari libur datang. Hari minggu selalu menjadi harapan saat sekolah. Harapan bisa nonton film kartun di televisi dan bermain bersama teman-teman.  Saya merasa, waktu bermain saya hanya ditempatkan di hari minggu saja. Selainnya harus belajar, berada dikelas dan bertemu guru. Membosankan. Saya ingin selalu bermain sambil belajar. Bukan hanya belajar saja. 

 Bermain sambil belajar.

Bermain bagi saya merupakan kebutuhan agar bergembira, bersama-sama. Belajar juga kebutuhan, untuk mencari kebenaran tentang apa pun. Selalu belajar untuk mencari ilmu dan bermanfaat bagi saya, keluarga, teman dan semua orang. Namun, bermain bukan halangan yang membuat saya malas belajar. Bermain sambil belajar juga bisa dilakukan. 

Kemarin sore, saya masih pergi bermain bersama teman-teman. Berkunjung ke rumah belajar dan bermain yang bernama Tanoker. Rumah belajar dan bermain tersebut berada di Desa Ledokombo. Saat kami masuk di gang rumahnya, ada beberapa potongan kertas berbentuk wayang Punakawan. Sekitar sepuluh meter berjalan di belakang rumahnya, ada ruangan yang berisi alat musik tradisional, seperti gamelan, kentongan. Juga terdapat buku yang tertata rapi di rak. Saya mencoba melihat buku tersebut, ada buku pelajaran SD dan komik. 

Di depan ruangan tersebut terdapat egrang, untuk permainan anak-anak. Di bagian belakang ruangan tersebut. Ada butkit yang penuh dengan peponan, di lereng bukit tersebut ada taman bermain egrang, taman rumput, tempat sampah dan duduk. Disini anak-anak dari Desa Ledokombo bermain. Tak lama kemudian setelah kami lihat-lihat. Bu. Farha Ciciek datang sambil tersenyum, dengan mengenakan baju putih, selendang batik. Kami satu persatu bersalaman. Beliau adalah pengelola tempat bermain dan belajar anak-anak ini. 

Kami duduk melingkar  di sudut taman bermain. Sambil menunggu pesanan bakso, beliau bercita. Jumlah anak-anak yang bermain dan belajar disini tidak tentu, kadang sekitar 90. “Setelah belajar matematika atau bahasa inggris,  anak-anak bermain bersama,” ujar Bu Farha Ciciek. 

Tidak ada paksaan bagi anak-anak yang ingin belajar atau bermain. Jika hanya bermain egrang saja tidak masalah. Tapi semuanya mau belajar. Barangkali karena hubungan antara belajar dengan bermain sangat berkaitan. Saat bermain dan belajar di taman, di larang membuang sampah sembarangan. Salah satunya belajar menghargai lingkungan. 

Bu Farha Ciciek memberikan ruang belajar sebebas mungkin. Tidak ada paksaan harus belajar ini dan itu. Agar belajar dan bermain tetap merasa nyaman. Ada empat semboyan di situ, belajar, bermain, bergembira dan berkarya. “Semua anak adalah bintang, tapi bukan bintang di semua bidang,” ungkapnya. Misalnya saja, anak yang sukanya mennggambar saja, tidak ada paksaan untuk belajar yang lain, barangkali ia adalah menjadi bintang seorang pelukis. Tapi karena selalu merasa nyaman. Anak-anak tetap mau belajar semuanya.

Tapi sayangnya, sewaktu saya masih SD, tidak pernah merasakan bermain sambil belajar yang menyenangkan seperti itu. Jika teman-teman yang sedang duduk di bangku SD sekarang juga merasa tidak nyaman dan bosan belajar di kelas. Ajak teman-teman untuk bermain dan belajar bersama, bisa di sekolah waktu istirahat atau dirumah. Teman-teman juga bisa main ke Ledokombo, bersama teman-teman atau orang tua. 

 Nama Tanoker
 
Teman-teman pasti pernah melihat kupu-kupu. Indah kan?  Warna kupu-kupu berbeda beda, ada yang kuning, hijau, hitam putih dan lain-lain. Bagi kita, keindahan kupu-kupu juga berbeda. Ada yang suka dengan warna putih dan yang lainnya.  

Teman-teman juga bisa seindah kupu-kupu. Menjadi indah dan bermanfaat. Kupu-kupu bermanfaat untuk pembuahan tanaman yang sudah berbunga. Teman-teman sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan bantuan orang lain bisa menjadi orang yang bermanfaat. Saling tolong menolong, berbakti kepada orang tua, dan bisa mencapai cita-cita. 

Tapi, menjadi seperti kupu-kupu yang indah membutuhkan proses. Kupu-kupu berasal dari ulat yang menjadi kepompong, lalu menjadi kupu-kupu. Nah, teman-teman sekarang masih berada di tahap proses. Agar bisa terbang indah seperti kupu-kupu. Terbang sesuai keinginan kalian masing-masing. Tetapi syaratnya harus belajar dengan sungguh-sungguh.Agar belajar tidak membosankan dan tetap merasa senang seperti bermain. Jika tidak faham, teman-teman harus bertanya, agar tidak hanya ibu dan bapak guru saja yang berbicara di kelas. Kemudian belajar dan bermain bersama teman-teman di rumah.  

Nah, nama Tanoker untuk tempat belajar dan bermain di Ledokombo berasal dari bahasa Madura yang artinya kepompong. Teman-teman yang ada di Tanoker adalah calon kupu-kupu indah dengan beragam warna. Sama seperti kalian.

* Tulisan ini untuk anak-anak

2 komentar:

Dieqy Hasbi Widhana mengatakan...

ruang bebas bagi para calon kupu-kupu.. :D

Mohamad Ulil Albab mengatakan...

Komenter pertama di Blog :)