Selama abad pertengahan, masyarakat Eropa dipenjara
dogma Gereja. Tidak ada ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis. Semua peraturan
jalan hidup manusia sudah diatur di dalam kitab suci Gereja. Semua nasib
merupakan takdir. Manusia tidak memiliki otoritas (kebebasan) dalam menentukan
perubahan nasibnya sendiri. Tidak ada karya seni yang diperuntukan kepada
sesama manusia. Semua harus dipersembahkan kepada Tuhan. Bahwa hidup hanyalah
sementara, kenikmatan hidup bukan di dunia tempatnya. Ia ada di dalam
pencapaian surga.
Memasuki abad XI, muncul sekelompok manusia yang
ingin keluar dari belenggu dogmatis. Ingin menjadi manusia bebas dan segera
membangun kerajaan surga di dunia yang bernama kebahagiaan. Semua yang ada di
dunia bisa dimiliki, tanpa harus ada sekat-sekat nilai yang membatasi
kebebasan. Gerakan ini bernama Free
Spirit pada tahun 1.200 yang berkumpul di sekitar William Aurifex, Paris. Sikap
berontak untuk menjadi manusia bebas secara utuh, merupakan benih-benih
munculnya Anarki.
Serangkain bentuk perampasan hak sebagai manusia
seutuhnya, terjadi di Indonesia sejak penjajahan Kolonial Belanda: hal mana
juga menimbulkan benih-benih Anarki. Bagi Pramoedya Ananta Toer yang telah
menulis potret kehidupaan era Kolonial Belanda mengungkapan, “Manusia dilahirkan
bukan untuk diberangus.” Semua memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan yang
sama: kurang lebih demikian ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Bumi Manusia.
Setidaknya, Pram telah menuliskan bagaimana potret
kehidupan era penjajahan Kolonial Belanda di Indonesia (kala itu, Hindia
Belanda). Bagaimana hubungan antara pemerintah Kolonial Belanda dengan pejabat
pribumi yang saling menjaga nama baik, prestisius dan pola hidup mewah meski
dari hasil keringat masyarakat pribumi. Kesempatan mengenyam pendidikan yang
hanya dimiliki kelas elit pribumi.
Lebih tegas lagi, Multatuli dalam bukunya Max
Havelar juga memberi potret peristiwa yang cukup detail. Multatuli yang
memiliki nama asli Douwes Daker ini pernah menjadi Asisten Residen di Lebak,
Banten. Ia dipecat karena mengkritik Bupati yang melakukan eksploitasi tenaga
pribumi. Multatuli menjelaskan bagaimana stategi pemerintah Kolonial Belanda
agar bisa menguasai Hindia Belanda. Pemerintah kolonial menerapkan politik etis
dengan memanfaatkan sistem pemerintahan feodal yang sudah ada. Salah satu
stateginya dengan memberikan kekuasaan ‘lebih’ kepada pejabat lokal. Hal ini
dilakukan agar hubungan Pemerintah Kolonial Belanda dengan pejabat lokal tetap
harmonis.
Masyarakat pribumi telah dieksploitasi tenaga
kerjanya untuk menanam komoditi ekspor, terutama sejak tanam paksa 1830. Pemerintah
Kolonial juga sengaja menjaga kepatuhan masyarakat pribumi kepada Bupati,
pejabat kolonial dan lapisan masyarakat di atasnya, agar tidak terjadi pemberontakan atau Anarki.
William Godwin, seorang pemikir Anarkisme era
Revolusi Perancis, memandang manusia sebagai makhluk yang setara dan sama-sama
memiliki hak dalam keadilan. “Apabila Pemerintah dihapuskan, dan individu hanya
dibimbing oleh akal mereka sendiri, maka terciptalah sebuah masyarakat dengan
keharmonisan tanpa batas,” ungkap Godwin dalam buku Anarki: Sebuah Panduan Grafis oleh Clifford Harper.
Godwin menilai keputusan bersama dengan cara dialog
tidak bisa dijadikan pembenaran permanen sebagai legitimasi kekuasaan di atas
individu. Menurutnya, hanya ada satu hukum yang memanusiakan, yaitu akal.
Ada satu cerita menarik dari Clifford Harper,
tentanng pemberontakan petani di wilayah pedesaan Inggris. Ide Free Spirit mendorong sekolompok
mahasiswa di Universitas Oxford abad XIV bersama pendeta radikal utopis,
mengais masa dari petani, gembel, pelacur, eks-tentara, orang-orang buangan
urban untuk meneriakkan kebebasan.
Pada musim semi 1381, sekelompok militer memaksa
petani membayar pajak untuk membiyayai perang di Perancis. Para petani
mempertanyakan kesenjangan yang timpang, antara penguasa feodal dengan petani.
Mengapa petani harus patuh mengolah tanah, jika hasilnya diminta penguasa.
Mengapa petani harus mempertahankan kemewahan pemerintah, yang mengenakan kain
sutra dan makan roti, rempah, serta minum anggur. Sementara petani hanya punya
gandum, seral, tepung, air putih dan harus berurusan dengan setumpuk pekerjaan
di ladang. Dari situ, petani berontak. Menghancurkan rumah, kastil-kastil dan
membakar surat kepemilikan tanah.
Sikap anarki dari kelompok maupun individu, tidak
muncul tanpa sebab. Setiap sejarah revolusi yang terjadi di Perancis, Rusia,
Kuba, dan Indonesia sendiri berawal dari munculnya dominasi kekuasaan. Lebih
ekstrim lagi, ungkapan Lenin dalam Clifford Harper menyebutkan, “Selama negara
itu ada, maka tidak akan ada kebebasan, dan ketika kebebasan itu ada, maka negara
pun tidak ada.”
Lantas, bagaimana agar hubungan sesama manusia dalam
tempurung negara tetap harmonis? Bagi Godwin, bila negara tidak bisa
memanusiakan manusia, cara yang harus dilakukan adalah kekerasan. Namun, bukan
itu cara yang beradap jika dibenturkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia
kekinian. Ia mengatakan, pemerintah yang baik adalah ia yang sedikit
memerintah.
Bila aksi demonstrasi besar-besaran pernah terjadi
di Indonesia pada 1998, untuk meruntuhkan Soeharto. Bisa dimaknai sebagai peristiwa
yang seharusnya terjadi untuk merubah keadaan. Lantas, setelah Soeharto turun
dari kekuasaan, dan kran kebebasan demokrasi sudah didapat, apakah setiap aksi
demo bisa dimaknai sebagai tuntutan yang seharusnya terjadi? Atau sebaliknya,
Anarki dimaknai bukan hanya untuk mendapatkan kebebasan, melainkan realitas
Anarki yang sengaja dibentuk untuk memperoleh hak melebihi ketentuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar