Jumat, 13 Juni 2014

Tahun Baruan Bersama Jagung dan Ayam

02 januari 2014.


Tidak terasa, umur semakin tua saja. Sekarang sudah Tahun 2014. Kebutuhan juga semakin bertambah. Kemarin pagi, Selasa 31 Desember, masih di Tahun 2013 saya berangkat ke sawah untuk memanen jagung. Terhitung sudah tiga bulan lebih sejak November, saya menunggu hari panen.

Perlengkapan untuk memanen sudah disiapkan Pak Lek, (Adik Bapak saya). Jadi saya tinggal berangkat. Cukup membawa satu botol air mineral berisi 1,5 liter untuk kebutuhan minum. Pagi itu, saya mengenakan pakaian kaos hitam lengan pendek dan celana ¾. Topi dan kaos lengan panjang saya bawa untuk kebutuhan kerja.

Hujan di Bulan Desember turun hampir  setiap hari. Sebuah ancaman bagi petani yang sedang memanen jagung. Apabila jagung dipanen dan tidak segera dijemur maka akan timbul bintik-bintik hitam pada jagung. Hal itu membuat harga jagung turun.

Kondisi jagung milik saya sudah cukup kering di pohonnya. Sehingga saya berani untuk memanen lalu mengendapkannya apabila harganya terlalu murah. Biasanya untuk mengantisipasi terjadinya bintik hitam pada jagung, petani menjual jagung dalam kondisi belum dirontokkan (masih utuh). Atau sudah dirontokkan tapi dalam kondisi basah.

Kabarnya, harga jagung saat ini di daerah saya, Desa Wringinputih, Kecamatan Muncar, Banyuwangi mencapai 2.800 perkilo dalam kondisi kering dan  basah 1.900. Dan saya memutuskan menjualnya dalam kondisi basah. Soalnya tidak ada yang ngurus karena saya harus ke Jember.

Perjalanan dari rumah ke sawah membutuhkan waktu  sekitar 10 menit. Maklum, jalannya rusak. Belum lagi harus melewati jembatan gantung yang terbuat dari anyaman bambu. Cukup ngeri kalau tidak pernah. Panjang jembatannya sekitar 20 meter. Kapan-kapan saya foto sebelum roboh.

Sampai di sawah, saya langsung ambil jarum yang terbuat dari bambu untuk menusuk ujung kelobot jagung. Baru dapat tiga biji jagung yang saya masukkan ke dalam timba bekas cat, saya sudah kena semprong Pak Lek. “Ojo gawe kaos lengen cendek, gatel kabeh engko,”  omelannya tidak saya pedulikan. Ternyata benar, baru lima menit kerja tangan mulai terasa gatal. Saya langsung ganti baju lengan panjang.

Tanaman jagung yang saya panen sekitar seperempat hektar. Dulu sewaktu tanam menghabiskan tiga kilogram benih. Kalau tanamannya normal bisa panen 1,5 ton.  Tapi kelihatannya tanaman saya ini kurang bagus. Ada yang buahnya besar dan kecil. Terkadang sesuai lokasi lahannya. Biasah, tanah yang saya tanami bekas tambak. Jadi belum normal. Masih ada kadar garamnya.

Proses Panen

Petani di desa saya menyebut panen jagung dengan sebutan mecok. Biasanya sebelum panen, petani bekerjasama dengan peternak sapi agar tanaman jagung diplancongi (memotong ujung tanaman jagung). Petani butuh tanaman jagungnya diplancongi agar memudahkan proses panen, sedangkan peternak membutuhkan hasil plancongan untuk pakan sapi.

Cara panennya sederhana. Ujung kelobot jagung ditusuk dengan jarum besi atau dari bambu lalu dikelupas. Untuk memudahkan proses pemindahan, jagung ditaruh ke dalam timba sampai penuh lalu dimasukan kembali ke dalam karung. Setelah itu baru diangkat ke tempat pengumpulan. Agar tidak basah, karena tanah agak becek, tempat pengumpulan jagung dilapisi terpal.

Belajar jadi petani

 
Pak Lek sedang memanen jagung yang sudah diplancongi













Mengelupas kelobot jagung

Melepaskan jagung dari pohon




















Buang ke tempat sampah J
Jagung siap dimasukkan ke dalam karung



















Tunggu sampai karung terisi penuh

  
Angkat jagung dalam karung
menuju tempat pengumpulan





















Tim kerja rodi

 
Pak Lek yang satu juga mengangkat jagung dalam karung




















Tuang adonan J

Waktu itu saya baru menyadari kalau ini hari akhir tahun. Esok hari sudah tahun 2014. Rata-rata semua orang sibuk mempersiapkan perayaan tahun baru. Sedangkan saya  mau tidur saja karena terlalu lelah.

Sebelum pulang, karena hari sudah sore, sekitar pukul 15.30 WIB dan awan terlihat menggumpal hitam. Pertanda hujan mau turun. Pak Lik menutupi hasil pengumpulan jagung panen dengan terpal.

Dampak Perayaan Tahun Baru Bagi Petani

Menjelang malam tahun baru, saya sedikit senang karena hujan turun semalam penuh. Setidaknya saya bisa tidur nyenyak karena jarang terdengar suara terompet di jalan: untuk menyambut pergantian tahun.
Malam itu, saya punya rencana sederhana untuk menyambut tahun baru. Tanpa harus keluar rumah. Sebelum tidur nyenyak, saya dan Pak Lik memanggang ayam Ibu yang tidur di pojok belakang rumah. Setelah ayam tersebut matang, Ibu baru saya kasih tahu. Dan ternyata kami malah makan bersama. Tanpa banyak ngomong.

Sebenarnya saya hanya ingin tidur nyenyak dan bisa bangun dengan kondisi badan segar. Setelah itu berangkat ke sawah lagi untuk menjual jagung. Saya tidak perlu kawatir dengan keadaan jagung yang saya inapkan di sawah. Desa saya masih aman dari maling. Apalagi malam tahun baru, pasti malingnya juga sedang berlibur.

Pagi itu, 1 Januari 2014, saya berangkat ke sawah dengan semangat. Karena dompet saya akan terisi kembali. Kami bertiga (Saya dan kedua Pak Lik) berbagi tugas. Ada yang menghubungi pedagang jagung, Ada yang melanjutkan pekerjaan di sawah, dan saya cukup standby di lokasi.

Saya duduk di gubug sawah, menunggu kedatangan Pak Lik. Setengah jam kemudian, dia terlihat memarkir sepeda lalu berjalan tergopoh-gopoh. Saya hanya berfikir. Semoga saja tidak ada apa-apa. Belum sampai di gubug, masih sekitar 50 kilometer Pak Lik sudah teriak, “pedagang jagunge sek tahun baruan.” Ia sudah mencari pedagang jagung yang buka, tapi hasilnya nihil. Semua tahun baruan.

Pak Lik saya yang satunya sedang menyemprot pestisida ke tanaman cabai dengan tenang. Tidak berkomentar banyak. Tidak lama kemudian setelah ia istirahat, baru mau berbagi cerita. Ternyata ia senasib dengan saya. Tidak menyangka kalau semua orang baik tua maupun muda di desa sedang sibuk merayakan tahun baru, “Wingi aku jual lombok pisan, eh tibak,e juragan lomboke persiapan tahun baruan pisan,” ungkapnya dengan tenang sambil melinting tembakau.

Saya masih tidak percaya kalau rata-rata pedagang hasil pertanian sedang tahun baruan. Saya ngomel ke Pak Lik agar mau mencari ulang pedagang yang masih buka. Ia pun kembali berangkat, namun hasilnya tetap nihil.

Karena tidak ada kerjaan di sawah, saya hanya tiduran di gubug. Tidak terasa sudah zuhur. Pak Lik terlihat sedang wudu, mau melaksanakan salat. Saya memutuskan untuk pulang, sambil menggerutu. Jagung terpaksa saya inapkan kembali.


*Catatan: Semua foto diambil menggunakan kamera Handphone Samsung GT- 3322. Resolusi 1600×1200. Dua Megapixel. 

Tidak ada komentar: