Senin, 12 November 2012

Nilai Tradisional Terbingkai Modernitas

Pukul 11.00
Selasa, 9 Oktober 2012.


Mengapa toko sekelas Indomaret, Alfamart dikatakan sebagai toko modern? toko tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan toko kelontong, sebab sama-sama berdagang. Hanya ada kata ‘Modern’ yang artinya sikap dan cara berfikir, bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Ada hal yang instan untuk memudahkan aktifitas manusia, dalam hal kemajuan teknologi maupun ilmu pengetahuan. Akan tetapi jika modernitas tidak diimbangi dengan nilai kultural yang sudah tertanam di masyarakat, bisa jadi nilai-nilai tersebut akan hilang.

Ada semacam transisi menuju perubahan yang lebih memudahkan masyarakat, yaitu modernitas itu sendiri. Berawal dari Perkembangan teknologi, ditandai setelah Revolusi Industri Inggris, pada pertengahan abad 18. Maka timbul negara industri, berwajah kapitalisme. Dengan meraup keuntungan sebesar mungkin, dari modal yang ditanamkan. Masyarakat yang awalnya membajak sawah memanfaatkan tenaga sapi beralih ke mesin traktor. Buruh petani dengan peralatan sabit digantikan mesin pemotong. Semua berlarian menuju satu titik, untuk bertahan hidup, yaitu menjadi buruh Industri.

Pasca Revolusi Industri Inggris, perkembangan kapitalisme memang semakin menjamur, terutama di dunia ke tiga, yaitu Indonesia. Dari situlah muncul pemikir seperti Marx, Gramsci, untuk membela kaum buruh. Agar mendapat perlakuan yang manusiawi, sebab para buruh bukan mesin dan hidup bukan hanya untuk bekerja, melainkan juga berkumpul dengan keluarga, teman. Waktu mereka tersita ketika sistem yang ditetapkan pemodal tidak memanusiakan manusia, melainkan memesinkan manusia. Kita bisa melihat, di depan Toko Indomaret, terdapat petanda 24 Jam buka, yang artinya setiap hari tanpa ada jeda toko tersebut siap melayani pembeli.

Barangkali setiap karyawan atau bahasa naturalnya ‘buruh’ Indomaret, tidak mengetahui siapa bos atau pemilik toko, tempat dimana mereka bekerja. Tugas karyawan hanya melakukan tugas sesuai perintah atasan. Misalkan dengan menyambut pembeli dengan ‘seuntai senyum’, ditambah beberapa patah kata. Seperti ‘’Selamat berbelanja, ada yang bisa saya bantu”. Setelah pembeli membayar prodak yang tersedia, karyawan tersebut kembali berbunyi “Terima kasih,Selamat berbelanja kembali.”

Saya memang pernah membeli produk Indomaret, para karyawan tersebut seolah tetap menyapa. Meski tidak saya hiraukan. Setiap patah kata yang diungkapkan, disertai mimik muka ceria, seolah senang menyambut kedatangan pembeli. Hal tersebut rasanya tidak diungkapkan atas keinginan pribadi, atau untuk dirinya sendiri, melainkan untuk pemodal. Apalagi hal tersebut diungkapkan berulangkali, bukan lagi berasal dari ungkapan pribadi, tetapi menjadi kebiasaan seolah tanpa sadar, sebab ucapan terimakasih tersebut diciptakan pemodal. Barangkali itu salah satu kritik dari Marx tentang konsep alienasi.

Sebenarnya apa yang membedakan antara toko modern dengan pasar tradional. Pasar tradisional dikerjakan dan dikelola oleh pedagang itu sendiri. Mulai dari mencari barang dagangan, sampai perhitungan untung rugi, pedagang rasakan sendiri. Berbeda dengan toko modern, pemodal besar seperti Indomaret membuka jaringan di setiap sudut kota. Sudah pasti bukan pemodal sendiri yang bekerja, melainkan buruh.

Ada ketimpangan antara pasar tradisional dan toko modern, yang membuat persaingan dagang mereka secara tidak langsung ada ‘menang dan kalah’. Ketika jarak antar toko modern tidak dibatasi minimal dua kilo meter, bisa jadi toko/pasar tradisional (pengecer) kurang laku. Kita bisa melihat dikawasan jalan Universitas Jember, mulai dijalan Jawa, Kalimantan, Sumatra, Mastrib, Karimata, semua terdapat Indomaret dan Alfamaret. Jarak toko modern tersebut tidak sampai dua kilo meter antara yang satu dengan lainnya.

Selain itu, ketika jumlah toko berjejaring tidak dibatasi oleh pemerintah daerah, maka toko tradisional yang dirugikan, bahkan mati dipasaran. Pemodal sudah menyediakan segala fasilitas dan pelayanan yang membuat pelanggan merasa nyaman. Seperti ruangan ber Air Conditioning (AC), harga relativ lebih murah, ketika lantai kotor sedikit langsung di pel, bisa membayar dengan kartu ATM, sampai menyediakan pulsa. Hal ini bertujuan merebut perhatian konsumen dengan menyediakan hampir segala kebutuhan pokok masyarakat kekinian.

Jika konsep negara demokrasi mendahulukan kepentingan rakyat kelas menengah kebawah, sudah seharusnya hal ini tidak terjadi. Sampai sekarang, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Jember, belum menetapkan UU yang mengatur tentang toko berjejaring. Entah apa yang menjadi alasa Pemda. Bisa jadi hal ini bisa dijadikan kesempatan toko berjejaring untuk melebarkan sayap.

Iklan mengubah budaya lisan

Nilai kemasan menjelma menjadi citra yang memuaskan, bukan lagi kebutuhan terhadap isi. Ketika iklan mampu mengkonstruk pemikiran publik untuk tertarik ‘membeli produk’ yang ditawarkan toko modern. Biasanya lewat selebaran daftar harga produk yang disebarkan dijalanan dan perumahan.

Pasar tradisional memang tidak pernah menawarkan barang dagangan lewat, reklame, maupun media. Selain memang tidak ada yang istimewa seperti di toko modern, kecuali pemandangan kumuh, dan tata ruang yang berdesakan.

Satu-satunya cara yang dilakukan pedagang di pasar tradisional untuk menarik pembeli hanya dengan menyajikan barang dagangan disertai penawaran secara ‘lisan’. Ada beragam cara untuk menawarkan barang dagangan, sesuai kreatifitas pedagang. Secara tidak langsung, hal tersebut mengajak pembeli untuk berinteraksi.

Ada nilai sosial dalam aktifitas pasar tradisional yang lebih natural. Mulai dari pedagang dan pembeli yang saling membutuhkan. Jika diamati, mereka tidak hanya berinteraksi sebatas proses jual beli. Ada hal lain yang bisa saja muncul dalam perbincangan, entah terkait naiknya harga sembako, atau seputar isu kekinian. Hal tersebut dilakukan sesuai keinginan mereka, dan dengan siapa pun.

Harga barang di pasar tradisional tidak mutlak, budaya tawar menawar masih tetap melekat. Caranya memang bisa beragam, misalnya uang pembeli kurang, bisa ditukar dengan barang yang kita punya, hutang, atau dibayar dengan cicilan.

Berbeda dengan toko modern, produk yang dijual sudah dilabel sesuai dengan harga yang ditentukan. Tidak ada proses tawar menawar, harga produk sudah mutlak. Jika uang pembeli kurang 50 rupiah saja, sudah pasti barang yang diinginkan tidak bisa terbeli. Strategi pemodal untuk merebut pasar memang cerdik, entah lewat diskon dengan promosi lewat selebaran.

Pasar tradisonal memang hanya menawarkan isi, dalam artian bentuk barang dagangan apa adanya. Tidak dikemas untuk menunjukan identitas lebih. Jika kita membeli kripik di Jalan jawa, dibandingkan dengan kripik di Indomaret, apa yang berbeda. Jika kripik tersebut sama-sama terbuat dari singkong, dan masalah rasa, itu persoalan selera. Perbedaannya hanyalah kemasan dan cara membeli.

Jika pedagang kripik jalan jawa hanya membungkus dengan tas kresek, dan beberapa potong kata dari pedagang untuk menawarkan kripik untuk dicicipi. Berbeda dengan Toko modern, bisa jadi pembeli menginginkan hal lain, selain kebutuhan konsumsi kripik. Yaitu citra.

Terserah pembeli mau memilih produk pasar tradisional atau modern. Namun sudah pasti ada yang dirugikan dan diuntungkan. Antara pemodal besar dan kecil.
Tahun 1960, peredaran uang mulai membengkak. Terutama era Orde baru (Orba), terjadi transisi ciptaan soeharto, antara lain mensubsidi kebutuhan logistik dan BBM. Masa krisis Orde lama disulap lewat hutang luar negri, dengan jaminan Sumber Daya Alam (SDA), untuk memenuhi keinginan masyarakat secara cepat.

Uang menjadi alat tukar yang efektif dan instan, nilai nilai kultural seperti barter sudah berkurang. Sebab harga kebutuhan pokok serba murah dan terjangkau. Saya masih ingat, tahun 1997 an, harga nasi pecel masih 200 rupiah, harga minyak tanah masih 450 an. Jika dibandingkan dengan sekarang, sudah terlampau jauh lebih mahal. Persaingan dagang muncul setelah tahun 1998, saat Indonesia mengalami krisis. Harga kebutuhan pokok melonjak mahal, hutang luar negri oleh soeharto baru diketahui oleh masyarakat, dan sampai sekarang belum lunas. Masyarakat yang miskin semakin terpuruk, para pemodal masih bertahan untuk survaif. Indomaret pun pertama kali didirikan tahun 1998.

Dalam sejarah ciptaan Soeharto, tidak jauh seperti pujangga membuatkan cerita untuk raja, seperti penulisan sejarah tradisional yang berisi pencitraan raja. Pujangga Soeharto salah satunya yang menulis Sejarah Nasional Indonesia, oleh Prof. Nugroho Notosusanto. Buku tersebut merupakan versi Orde baru yang sudah ‘diresmikan’ kebenarannya untuk diajarkan kepada siswa. Dalam buku tersebut, sudah pasti ada fakta yang difiktifkan. Salah satunya seputar peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) yang wajib diakhiri dengan garis miring Partai Komunis Indinesia (/PKI). Untuk menunjukan PKI merupakan dalang peristiwa tersebut. Jika tidak mau, bersiaplah berhadapan dengan mocong senjata. Selain itu, dalam buku Sejarah nasional tersebut permasalahan ekonomi tidak dibahas apa adanya, sebab itulah versi sejarah positivis.

Jika ilmu pengetahuan bersifat dinamis, maka ada celah untuk mempertanyakan
kebenarannya. Selama menemukan bukti baru yang ontentik dan objektif. Sejarah nasional versi Orba sudah mengkonstruk pemikiran generasi Indonesia untuk mengagungkan Soeharto, militer serta kroni kroninya. Terbukti selama 32 tahun kekuasaan Soeharto bertahan. Siapa yang tidak kagum, ketika Soeharto berhasil menerapkan hegemoni kekuasaanya. Masyarakat dibuat tidak sadar, dengan cara pemikiran satu fram. Kaum Intelektual yang kritis tidak bisa menyadarkan masyarakat, karena telah dibungkam. Kebencian masyarakat terhadap PKI (atas provokasi Soeharto) terpenuhi. Dengan mengesahkan TAP/MPRS tentang pelarangan ajaran Marxisme dan leninisme. Membuat ia dikagumi.

Tidak ada komentar: