Siang yang gersang. Tentu saja, karena kerongkongan
mulut sudah mulai kering. Perut keroncongan. Tapi semua itu tidak jadi soal.
Kami bertiga: Saya, Dian Cetar dan Budi bertekat untuk mendaki Gumuk Kerang.
Sebuah Gumuk terbesar di pusat kota Jember. Tepatnya di kawasan jalan Tidar, Jember.
Gumuk ini juga mudah dilihat dari jalan Karimata.
Siang itu, sekitar pukul 14.00 WIB, kami jalan kaki
menuju Gumuk Kerang. Perjalanan dimulai dari warung Macapat yang terletak di
jalan Kalimantan. Memang cukup jauh bila berjalan kaki. Biasa, alasan masih
puasa menjadi penyebabnya. Namun, saya tatap ngotot agar perjalanan tetap dilanjutkan. Sebelumnya, Budi dan Dian
Cetar mengajak naik Gumuk yang ada di belakang Fakultas Tekhnologi Pertanian
Universitas Jember, karena Lokasinya lebih dekat. Tapi Gumuk Kerang lebih eksotis.
Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Biasa sambil
ngobrol tidak jelas sepanjang jalan. Sehingga tidak terasa lama. Untuk
mempercepat sampai ke tempat tujuan, kami melewati gang samping kantor radio
Prosalina. Melewati jalan sempit di antara gedung, perkampungan dan perumahan.
Sebenarnya, saya sendiri belum tahu pasti jalan terabasan menuju Gumuk Kerang. Pokoknya asal lewat. Sekalian
membuat kesan baru tetang perjalanan dengan sengaja tersesat terlebih dahulu.
Saya hanya pura-pura tahu, lokasi Gumuk Kerang, bila
melalui jalur terabasan ini. Lebih
tepatnya bergaya sok tahu. Tapi
anehnya, Si Budi dan Dian Cetar percaya saja. Hanya ada sedikit rasa ragu di
kedua mimik muka mereka. Saat itu, saya berada di garda depan. Seolah memimpin
perjalanan. Dalam hati, semoga tidak tersesat. Hari itu, saya sedang beruntung.
Perjalanan berlalu mulus sampai di lokasi Gumuk Kerang.
Saya mencoba mengamati lokasi Gumuk Kerang
dalam-dalam. Di lereng Gumuk Kerang ternyata ada tempat pemandian umum. Ini
menunjukkan bahwa, gumuk berfungsi sebagai penampung resapan air. Masyarakat
sekitar secara tidak langsung, baik sadar maupun tidak, telah memanfaatkan
keberadaan gumuk. Beberapa kali kami berpapasan dengan Ibu-ibu yang sedang
mencuci baju menggunakan air sumber dan Bapak-bapak selesai mandi.
Saya juga melihat beberapa pusara di lereng Gumuk
Kerang. Nama orang yang meninggal di nisan sudah tidak terlihat. Barangkali
sudah sangat lama. Bagaimana sejarahnya saya belum tahu pasti. Namun di
beberapa gumuk yang saya temui di Jember, memang terdapat pusara atau pekuburan
orang meninggal.
Kami memang sudah sampai di lokasi Gumuk Kerang.
Namun kami masih bingung jalan mendaki Gumuk Kerang yang memiliki ketinggian
lebih dari 50 meter ini. Dari bawah gumuk terlihat menjulang tinggi dengan sudut
kemiringan sekitar 45 derajat. Keputusan diambil dengan mengelilingi gumuk,
sambil mencari jalan mendaki. Saya juga melihat, beberapa pohon sengon dan
perkebunan warga dengan tanaman subsisten di lereng Gumuk Kerang.
Tidak lama kemudian, jalanan setapak mendaki gumuk
sudah ditemukan. Ada beberapa bagian jalan yang terdapat batuan piring dengan
kondisi pecahan kecil-kecil. Gumuk yang ada di Jember ini memang memiliki
kandungan galian tambang. Seperti batu piring, batu pondasi, batu koral dan
tanah. Untuk itu, gumuk menjadi rentan dieksploitasi. Bila dipandang secara
ekonomis, gumuk memang bisa memberi keuntungan untuk beberapa orang saja.
Namun, dampak negatifnya akan dirasakan masyarakat Jember. Terutama yang
tinggal di kawasan gumuk. Jember memang sempat disebut sebagai kota seribu
gumuk. Namun sayangnya sekarang sudah banyak yang rata dengan tanah. Semoga
masyarakat bisa saling menjaga keberadaan gumuk.
Dari beberapa informasi yang saya dapat dari Tabloid
Ideas dan wacana ilmiah, gumuk berasal dari bekas aliran larva dan lahar dari
Gunung Raung, kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Keberadaan gumuk sendiri yang cukup banyak hanya terdapat di Jember
dan Tasik Malaya, meski kabarnya juga sudah mulai habis. Padahal, selain
berfungsi sebagai resapan air. Gumuk berfungsi sebagai penahan angin, penjaga
keragaman hayati, iklim dan ekosistem rantai kehidupan hewan serta masyarakat.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Kaki saya
sudah mulai lelah. Setelah menemukan jalan mendaki Gumuk Kerang, saya mulai
semangat lagi. Tapi apa benar pemandangan yang saya lihat ini. Pepohonan alami
gumuk sudah banyak yang hilang, berganti tanaman sengon. Pepohonan di Gumuk
Kerang memang tidak sepenuhnya habis. Apakah memang demikian keadaannya.
Maklum, baru dua kali saya mendaki Gumuk Kerang. Namun, bila penebangan
dilakukan hanya untuk menanam sengon agar cepat tumbuh saya rasa kurang bijak.
Sebab, potensi erosi bisa saja terjadi. Tidak heran bila saat kami mendaki,
jalanan setapak banyak terdapat kerikil. Lapisan tanah sepertinya mulai ada
yang terkikis.
Sekali lagi saya tetap sengaja sok tahu jalan mendaki gumuk J. Selain alasan
semangat. Untuk itu saya berada di depan sendiri, disusul Dian Cetar lalu
paling belakang sendiri Si Budi. Nafas saya mulai ngos-ngosan. Apalagi Budi sama Cetar. Tambah paraaah :).
Sampai di tengah perjalanan mendaki. Saya berhenti
sejenak. Sekedar melihat indahnya kota Jember dari ketinggian Gumuk Kerang.
Lalu tancap gas lagi. Saya tidak sabar melihatnya dari puncak. Dengan nafas
terbata bata, saya sampai terlebih dahulu di puncak. Kota jember terlihat
sangat jelas dari ketinggian. Pandangan saya melihat Jember bisa lebih bebas.
Gunung Argopuro dan Semeru begitu tampak jelas dan eksotik. Bila melihat di
bagian timur Gumuk Kerang, hamparan sawah terlihat seperti lukisan. Petak-petak
sawah seperti puzzle warna-warni.
Kami bertiga duduk berselonjor menghadap barat.
Memandang kota Jember dengan bebas sambil menunggu sunset. Angin berhembus semilir mengeringkan keringat dan
menyembuhkan lelah. Jarang-jarang saya bisa merasakan segarnya oksigen seperti
ini. Benar-benar murni. Tidak bercampur asap knalpot kendaraan.
![]() |
Bukti berada di atas Gumuk Kerang :). (Dok. Budi) |
Di puncak Gumuk Kerang terdapat jambu mete. Bila di
kampung saya disebut jambu mente.Telihat sangat natural. Semoga saja tidak ada
pendaki yang mengotori dengan meninggalkan sampah. Saya melihat ada bekas
tumpukan kayu yang dibakar. Sepertinya ada yang baru menginap. Untung saja
tidak ada sampah tertinggal. Berarti yang mendaki orang yang sadar kebersihan lingkungan
dan berpendidikan tuuh :).
Seperti biasa, dalam moment seperti ini kami
menyempatkan diri untuk dokumentasi diri. Meski Budi pada mulanya berlagak acuh
tidak mau difoto. Pada akhirnya dia yang paling bersemangat, saat Dian Cetar
bilang kalau baterai Hp-nya sudah mulai habis. Budi sampai foto loncat-loncat.
Menunjukkan kegirangannya.
![]() |
Budi sedang meloncat. (Dok. oleh Dian Cetar). |
Kami pulang sekitar pukul 16.00 WIB. Dengan estimasi
waktu sampai di Macapat sudah mendekati Maghrib. Saat perjalanan turun, saya
beberapa kali terpeleset. Selain jalan yang berkerikil (barangkali sudah
ter-erosi), sudah sangat jarang terdapat tanaman liar sebagai pegangan. Masak,
tanaman sengon yang masih kecil mau saya jadikan pegangan. Kalau rusak, siapa
yang tanggungjawab.
Perjalanan pulang dipenuhi rasa lega. Namun sempat
geleng-geleng kepala setelah melihat gumuk kecil di sekitar Gumuk Kerang yang
sudah hampir habis. Ada beberapa makam yang nyaris roboh. Prediksi saya kalau
tidak ada pusaranya pasti sudah dilahap habis gumuk tersebut.
Saya rasa, masyarakat Jember pada khususnya perlu mendapatkan
penyadaran akan fungsi gumuk. Agar Jember tetap menjadi kota yang bagus
ditanami tembakau. Tidak terkena angin puting beliung semakin parah, dan
tentunya tidak kekeringan kebutuhan air. Saya menyinggung tembakau karena gumuk
memiliki satu kesatuan dengan pertanian di Jember. Sebagai penyeimbang iklim.
Persoalan
gumuk memang kompleks. Gumuk rata-rata hanya dimiliki personal. Sehingga
pemilik gumuk cenderung memiliki otoritas. Saya dan kawan-kawan berharap, gumuk
di Jember tidak lagi dieksploitasi. Apalagi sampai dijadikan monumen. Apakah
itu berarti Jember hanya akan ada beberapa gumuk saja? Gumuk tidak hanya
dilindungi keberadaannya. Gumuk juga perlu dirawat ekosistemnya.
Perjalanan sore ini sudah tuntas. Saya, Dian Cetar
dan Budi sudah kembali ke habitatnya masing-masing. Menunggu Maghrib tiba.
Jember, 14 Juli 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar