Bagi kalangan pelajar yang saya kenal di
Jember, Alun-alun disebut sebagai taman kota. Tempat bermain, berkumpul dan
olah raga. Bagi masyarakat Jember selatan, beberapa keluarga saya yang ada di
sana menyebutnya sebagai pusat kota. Bayangan kehidupan yang berjarak dari
rutinitas masyarakat urban. Saya sendiri menyebut alun-alun tidak lebih hanya
ruang politis Pemkab Jember. Ia hanyalah identitas yang dipaksa agar dikagumi
dan menjadi ruang publik eksklusif.
Siang itu, saya, Budi dan Dian Cetar, datang
ke alun-alun untuk sekedar mengusir penat. Beragam kegiatan bercampur aduk di
Alun-alun. Mulai dari orang berumur tua
yang sedang lari-lari kecil mengelilingi Alun-alun, para pemuda bermain basket,
nongkrong, pacaran, semua tumpah ruah di Alun-alun. Semua lapisan masyarakat
bisa hadir di sini dan bebas membicarakan apapun. Tidak ada dominasi kekuasaan
yang membatasi kebebasan berpendapat.
![]() |
Para pemuda sedang bermain basket (Dok. Cetar) |
Apakah ini yang dinamakan ruang publik
abad 21?. Setelah reformasi, kebebasan berpendapat sudah bisa dirasakan.
Kebebasan itupun tidak dimaknai secara liar, sikap demokrasi tetap menuntut
tanggungjawab. Alun-alun merupakan proyeksi pemerintah untuk memberikan
fasilitas kebebasan aktivitas masyarakat. Bukan dimaknai milik masyarakat
sepenuhnya. Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi sesuai instruksi dari
pemerintah. Seperti, pedagang kaki lima dilarang berjualan di Alun-alun. Meski
peraturan tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi.
![]() |
Peraturan dari Pemkab (Dok Ulil) |
Ruang publik di era kekinian memang
tidak hanya berlaku di lapangan. Ia juga muncul di dunia maya: internet.
Setelah munculnya kapitalisasi percetakan di abad 18, media-media cetak telah
memberikan kontribusi untuk menciptakan opini publik. Bagaimana akhirnya kita
bisa mengenal bangsa-bangsa yang berjarak. Atau jauh dari realitas kehidupan
sekitar. Dari keberjarakan tersebut, bagi Benedict Anderson dalam buku Imagined Communities, konsep kebangsaan
atau rasa nasionalisme bisa terbentuk lewat media. Meski hanya ada di dalam
bayangan. Bila kita ada di Jawa, kebudayaan-kebudayaan masyarakat Papua, Aceh
dan daerah luar Jawa yang tidak pernah kita saksikan secara langsung, bisa
lebih dikenali.
Saya mencoba berjalan mengelilingi
Alun-alun, orang-orang yang menikmati keberadaan Alun-alun, terlihat beragam.
Bila dilihat dari pakaian yang dikenakan. Ada yang mengenakan pakaian necis.
Ada pula hanya ala kadarnya. Barangkali ini juga menggambarkan keberagaman
masyarakat Jember. Beragam etnis dan budaya. Masyarakat Jember semuanya memang
pendatang. Sehingga, tidak terbentuk satu keseragaman yang dominan.
Sebuah
Tesis Program Studi Ilmu Sejarah, karya Chandra Aprianto, Dekolonisasi Perkebunan di Jember Tahun 1930-1960an, sempat
menyinggung awal mula munculnya arus migrasi masyarakat yang datang ke Jember. Jember
pada mulanya merupakan daerah yang terisolir. Sejak masuknya perkebunan swasta,
perkembangan Jember menjadi semakin pesat dibandingkan dengan daerah di
Karesidenan Besuki, (Panarukan, Bondowoso dan Banyuwangi).
Jember
dikenal sebagai salah satu kota perkebunan di Indonesia, sejak pertengahan abad
XIX sampai awal abad XX. Dimulai dari masuknya pengusaha swasta untuk membuka
perkebunan di Jember pada 1859. Salah satunya adalah Goerge Bernie yang
memiliki perusahaan LMOD terbesar di Jember.
Munculnya
pengusaha swasta tersebut merupakan respon dari kaum liberal karena melihat
kekejaman sistem tanam paksa di Jawa. Pemerintah kolonian Belanda menerapkan system of Interprise, sebagai kelanjutan
dari tanam paksa yang membawa kemelaratan masyarakat di sekitar perkebunan. System of Interprise diprakarsai oleh
kelompok liberal yang menentang sistem tanam paksa. Sistem ini memunculkan
perkebunan swasta, dengan harapan komoditi tanaman ekspor dapat memberi
keuntungan kepada pemerintah.
Keberadaan perkebunan di Jember tersebut, telah
mendorong arus migrasi untuk dijadikan tenaga kerja.
Etnis
Madura yang lebih mendominasi wilayah Jember terjadi karena pencarian wilayah
yang lebih subur. Arus migrasi pada mulanya terjadi dari pulau Madura dan
wilayah Panarukan. Terutama setelah Munculnya pengusaha perkebunan pada 1859
yang membutuhkan jasa untuk membuka hutan guna lahan perkebunan kopi, tembakau,
kakao, tebu, karet dan lain-lain.
Kemajuan
perekonomian di Jember dan derasnya arus migrasi dari Pulau Jawa dan Madura, terjadi
setelah adanya perbaikan infrastruktur seperti jalan serta rel kereta api. Membuat
Jember menjadi kota tersendiri pada Tahun 1883. Dalam artian tidak lagi menjadi
onder distrik dari Bondowoso. Sekarang,
jalur kereta yang menghubungkan Jember menuju Bondowoso dan Situbondo sudah
tidak difungsikan lagi.
Dari
arus migrasi itulah, masyarakat Jember menjadi beragam, membawa kebudayaan
daerahnya masing-masing, sehingga memunculkan perpaduan kebudayaan yang disebut
pandalungan.
***
Dari
keberagaman tersebut, saya sempat berpikir. Apakah ruang pertemuan publik
bernama Alun-alun ini masih menyimpan kesadaran sejarah? Paling tidak bisa
menjadi bahan obrolan bagi siapapun yang berkunjung ke Alun-alun Jember. Saat
sampai di Alun-alun bagian utara, saya melihat dua tugu besar berlapis tembaga.
Tugu sebelah barat bertuliskan Adipura dan sebelah timur tertulis Adiwiyata,
keduanya berjajar, dengan tinggi sekitar 7 meter.
![]() |
Simbol prestasi Pemkab (Dok Dian Cetar). |
Tugu
tersebut setidaknya telah memberi ingatan politis, bahwa Jember pernah
mendapatkan penghargaan kementrian lingkungan hidup. Sebuah simbol penghargaan
kebersihan dan keteduhan lingkungan kota untuk Adipura dan simbol kesadaran
pelestarian lingkungan melalui lembaga pendidikan untuk Adiwiyata. Apakah
simbol tersebut masih berlaku di Jember? Bila masih melihat sampah berserakan
di sungai dan aktivitas proyeksi tambang di gunung Manggar, Jember selatan.
Simbol kebesaran Jember tersebut memang bisa menjadi pemantik sebuah
perdebatan, atau paling tidak menciptakan opini publik. Bagi siapapun yang
berkunjung ke Alun-alun Jember.
Bila
dilihat dan dirasakan, berada di Alun-alun Jember memang menyenangkan. Banyak
pohon kelapa berjajar rapi di selatan taman bermain anak-anak. Ada lapangan
hijau luas yang biasa dimanfaatkan untuk bermain sepak bola. Serta pohon-pohon
besar yang ada di setiap sudut Alun-alun. Ada pot-pot bunga besar, yang
beberapa tanamannya sudah mati, atau barangkali sengaja dimatikan. Ada pula
sejenis tanaman kurma yang berjajar rapi di tepi Alun-alun. Bila malam, pohon
kurma tersebut menyala, karena dilingkari lampu-lampu kecil yang genit J.
Cukup cocok sebagai ruang romantisme penghargaan Adipuran dan Adiwiyata.
![]() |
Pohon-pohon kelapa di selatan taman bermain Anak-anak (Dok. Dian Cetar) |
![]() |
Tanaman di pot yang terlihat sengaja diikat (Dok. Cetar) |
![]() |
Ruang bermain Anak-anak (Dok Cetar) |
Saya
sempat duduk-duduk santai di bawah rindang pohon kelapan Alun-alun Jember. Dari
situ terlihat patung M. Letkol Seroeji, tepat di dapan kantor Pemkab Jember.
Salah satu simbol perjuangan Jember saat mempertahankan kemerdekaan dari
penjajahan Kolonial Belanda. Ia merupakan patriot lokal yang belum banyak
diwacanakan dalam bangku sekolah. Ternyata Jember juga punya pahlawan. Dalam
perspektif penulisan sejarah baru di Indonesia, definisi pahlawan tidak harus
orang-orang besar yang harus memberi pengaruh dalam skala nasional. Dalam
tingkat kota sampai desa, seseorang yang berjuang demi kepentingan bersama bisa
disebut pahlawan. Meski seorang petani sekalipun.
Saya
rasa, keberadaan patung M. Letkol Sroedji bisa dijadikan pemantik rasa ingin
tahu untuk mengenalnya lebih jauh. Perjuangan M. Letkol Sroedji tidak bisa
dilepaskan dari adanya perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, yang merugikan
persatuan bangsa Indonesia. Dari perjanjian tersebut, salah satunya berisi :
Belanda hanya mengakui Sumatra dan Jawa Tengah sebagai wilayah Republik
Indonesia. Barangkali itu yang akhirnya membuat M. Letkol Sroedji mempertahankan
Jember, yang masuk dalam administratif Jawa Timur.
![]() |
Patung M. Letkol Sroedji di depan kantor Pemkab Jember (Dok. Ulil) |
***
Perjalanan
kami lanjutkan ke seberang jalan. Ada keramaian di depan Masjid Baitul Amien.
Sebuah masjid dengan arsitektur yang eksotis. Atap yang berbentuk setengah
lingkaran terlihat seperti bangunan kantor DPR RI. Karena jalan raya yang
menghubungkan Surabaya dengan Jember ini terlalu padat, kami menyebrang melalui
jembatan layang. Sebelum naik ke Jembatan, di depan yayasan Masjid Jami’ Al
Baitul Amien, kami menemukan tanda titik nol kilometer Jember.
![]() |
Tanda titik nol kilometer Jember (Dok. Dian Cetar) |
![]() |
Dari atas jembatan : Anak-anak mengaji terlihat di sekitar Masjid Baitul Amien (Dok. Ulil) |
Keramaian yang ada di depan Masjid Baitul Amien, setelah kami dekati ada pos makanan gratis. Terlihat juga bus donor darah dari Palang Merah Indonesia (PMI). Kegiatan donor tersebut dilakukan setiap malam, selama bulan Ramadhan.
![]() |
Dari seberang jalan, terlihat keramaian masyarakat (Dok. Ulil) |
![]() |
Posko buka bersama dan donor darah (Dok Dian Cetar) |
Dari
titik nol kilometer Jember, kami memutuskan kembali ke tempat awal perjalanan
dimulai. Alun-alun sebagai ruang publik, merupakan fasilitas umum yang akan
siap menampung kebebasan berpikir kapanpun. Terlepas dari konstruksi politis
tata ruang Alun-alun dari Pemkab. Semoga dominasi kekuasaan orde baru yang mengekang
kebebasan berpendapat tidak akan hidup kembali di era kekinian.
Jember, 17 Juli 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar