Kamis, 05 Februari 2015

Kopi Dingin


Minggu sore, saya bersama teman-teman Macapat pergi ke Ijen, untuk sekedar berkunjung ke warung kopi. Perjalanan dimulai pukul 15.00 WIB. Cuaca mendung bercampur panas, udara terasa lembab. Sesampai di kawasan jalan menuju Gunung Ijen, udara mendadak berubah sejuk dan dingin. Tidak ada balutan gerah atau panas sedikitpun. Hujan dan dingin menyiksa perjalanan sampai di Paltuding, tujuan akhir tempat kami mencari warung kopi.

Mampir di Pos penjagaan. Doc. Irvan
Tidak ada perlengkapan layaknya pendaki Gunung Ijen. Kami berempat, saya, Cetar, Irvan dan Fatih hanya mengenakan celana panjang, kaos dalam, mengenakan jaket, beralas sandal, tanpa tas dan tentunya tanpa tenda. Selama perjalanan kami memang diguyur hujan. Mantel kelelawar menjadi satu-satunya alasan mengapa perjalanan terus dilanjutkan. Sesampai di Sempol, perut benar-benar terasa lapar, mata perih, dan tentunya badan sudah menggigil kedinginan.

Selama perjalanan, hujan tentunya bukan menjadi satu-satunya soal buat kami. Tapi dingin dan kabar tentang adanya longsor serta banjir bandang membuat kami berpikir ulang di meja makan. Empat nasi rawon panas satu persatu disajikan. Kabar adanya banjir tersebut datang dari seorang teman bernama VJ Lie. Kami kebetulan bertemu di warung makan yang sama. VJ Lie bercerita, sepedanya baru hanyut tersapu banjir bandang. Kejadiannya Sabtu sore (31/01), saat VJ Lie bersama seorang teman sedang lewat di kawasan Curah Macan menggunakan sepeda motor, tiba-tiba banjir bandang datang dan membuat sepedanya hanyut. Untung saja dia melepas sepedanya dan memilih untuk menyelamatkan diri. Kondisi sepedanya rusak parah, setelah dicari oleh warga sekitar.

Setelah bertukar cerita, kami disarankan untuk mengunjungi rumah Pak Titus yang tinggal di Curah Macan, bila ingin menikmati kopi tubruk arabica. Pak Titus merupakan orang yang menjemput VJ Lie di lokasi kejadian untuk diajak kerumahnya. “Tapi kalau sudah pukul 22.00 WIB, listrik di sana sudah mati,” ungkap VJ Lie, yang membuat kami jadi ragu berkunjung ke rumah Pak Titus. Selain arah jalan yang belum kami ketahui. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah delapan malam. Mau pulang tidak mungkin karena jauh dan sudah kedinginan. Mau ke rumah Pak Titus tidak enak karena sudah terlalu malam. Keputusan tetap teguh, menuju Paltuding untuk mencari warung kopi dan tempat bermalam. Meski jarak tempuh kurang lebih masih satu jam lagi.

Selama perjalanan menuju Paltuding, gerimis masih mengguyur. Kabut tebal agak mengganggu jarak pandang kami. Belum lagi aspal yang basah dilumuri bekas erosi membuat permukaan licin. Beberapa titik lokasi terlihat lumpur tebal di atas jalan, bekas banjir yang sudah surut. Selain itu, ada juga yang longsor hampir menutupi jalan. Memang harus hati-hati karena sebelah kiri tebing dan sebelah kanan sudah jurang.

Sesampai di Paltuding, tidak terlihat ada penerangan lampu samasekali. Hanya sorotan lampu penjaga gerbang mencoba memberi petunjuk jalan masuk. Tidak seperti yang kami bayangkan. Setelah memarkir motor yang sudah tanpa penjaga, kami melihat warung kopi sudah tutup. Beberapa orang yang mau mendaki Gunung Ijen terlihat berkumpul di tendanya masing-masing. Suasananya benar-benar sepi, gelap dan dinginnya membuat gigi bergetar.

Kami mencoba menyisir tempat, barangkali ada tempat duduk kosong. Tidak lama kemudian ada dua orang yang datang ke warung dengan sorot senter, terlihat mencoba membangunkan pedagang warung. Entah apa yang dibelinya, kami memanfaatkan momentum tersebut untuk datang dan memesan kopi panas. Setidaknya bisa terpenuhi bisa ngopi di lereng Gunung Ijen. Meski pikiran masih bingung, di mana harus tidur di tengah kondisi dingin dan baju setengah basah.

***

Sekitar satu jam duduk di warung kopi Paltuding, terlihat seorang petugas sedang menghidupkan ganset. Lampu menyala, dan terlihat muka pucat teman-teman. Bila berbicara, seperti asap putih sedang keluar bersama nafasnya. Si Fatih, sesekali memainkan asap yang sebenarnya adalah nafasnya sendiri dari mulutnya, “Kayak asap rokok ya,” ungkapnya sambil tertawa kecil. Suasana sial jadi hilang sekejap.

Ada satu pesan dari pedagang warung yang belum sempat kami tanya namanya, “Kalau duduk, ngopi di sini gak papa, pokoknya jangan rame.” Mengingat ungkapan tersebut, kami tidak berani tertawa kencang bila bergurau. Takut diusir, mau ke mana lagi bisa duduk dan tidur kalau tidak di warung.

Dari kejauhan, terlihat dua orang baru saja memarkir motor kemudian berjalan menuju warung tempat kami duduk. Mereka berbadan tegap, memakai jaket hitam tebal, celana panjang, sarung tangan dan syal di bagian leher. Keduanya terlihat ramah setelah memesan kopi dan duduk di samping kami. Perkenalan, basa-basi, obrolan ringan, tertawa lepas sampai dimarahi pedagang dan berujung keakraban, merupakan serangkaian perjalanan yang membuat kami bisa tidur di tenda mereka. Ini bukan strategi merayu atau meminta tumpangan tidur, tapi kami ditawari. Entah apa alasannya, mungkin kasihan.
Dalam kepungan gigil dingin dan gelap.
Ngopi bersama teman baru dari Lampung. Doc, Irvan
Masing-masing dari kami belum sempat berkenalan. Kami hanya tahu asal dua pria yang berencana akan mendaki Gunung Ijen tersebut. Keduanya berasal dari Lampung, namun fasih berbahasa Jawa. Katanya sudah terlalu banyak orang-orang Jawa yang bermigrasi ke Lampung, termasuk keluarga mereka sendiri.

Cangkrukan dilanjutkan di tempat lain, sambil mendirikan tenda, agar tidak mengganggu pedagang warung yang sedang istirahat. Setelah tenda didirikan, makan mie rebus bersama sambil menikmati kopi tubruk manis, sepertinya sudah ada rasa saling percaya. Sekitar pukul 02.00 dini hari, kami dipercaya dan dipersilahkan tidur di tendanya sambil menunggu mereka turun dari Gunung Ijen. Belum lagi masih ditawari buat kopi dan mie sendiri bila ingin. Sudah dapat tumpangan tidur di tenda, lengkap dengan sleeping bed, sama makanannya lagi. Tuhan maha pengasih.

Minum kopi di lereng Gunung Ijen terasa nikmat, namun hanya sebentar. Temperatur panas kopi di gelas sangat cepat berubah dingin. Hanya beberapa menit sudah jadi kopi dingin. Lidah tidak terasa panas, meski menyeruput kopi yang baru disajikan. Ditambah cemilan pisang goreng. “Banana Preeet,” ungkap pedagang warung mencoba menirukan bahasa wisatawan asing. Itulah yang kami lakukan di pagi hari. Menikmati pagi bersama kopi dan pisang goreng di warung kopi lereng Paltuding, setelah semalaman kedinginan tidak bisa tidur.
Cetar terlihat kedinginan, mata lebam, sedang menikmati kopi di pagi hari. Doc, Irvan

Ulil dan Irvan berada di dalam tenda, menunggu teman dari Lampung turun gunung. Doc, Cetar
Baru pukul 10.00 siang, dua orang Lampung baik hati tersebut terlihat baru sampai di tenda. Mukanya terlihat lelah setelah naik turun Gunung Ijen. Duduk-duduk sebentar, kami kemudian mengucapkan terimakasih, pamit pulang dan berharap bisa bertemu lagi. Selanjutnya, tinggal memikirkan antara melenggang pulang atau berkunjung ke rumah Pak Titus. Hanya penasaran, bagaimana rasa kopi arabica di sana.

***

Tidak kami sangka, rumah Pak Titus benar-benar menyenangkan. Sejuk dan ditaburi pemandangan gunung yang indah. Benar-benar seperti lukisan. Kami duduk dan disuguhi kopi arabica. Aromanya harum dan kental. Pak titus menunjuk ke arah gunung. “Itu yang membuat sepeda VJ Lie terseret banjir bandang,” ungkap Pak Titus dengan dialek Madura. Terlihat dari kejauhan, petak-petak berwarna hijau di gunung. Sebagian terlihat gundul seperti belum ditanami. Menurut Pak Titus, itu merupakan kerjaan warga yang membuka lahan di lereng dengan kemiringan rawan longsor, “Itu ditanami gubis, sekarang lagi musim gubis.” Entah “warga” siapa yang dimaksud Pak Titus tersebut.

Kondisi Sepeda VJ, Doc. Irvan
Menurut Pak Titus, baru tahun ini ada kejadian longsor dan banjir bandang. Sebelumnya belum pernah. “Jadi, kalau misale hujan, mending sampeyan berhenti. Nunggu hujannya reda,”tutur Pak Titus sebelum kami pamit meninggalkan rumahnya.
   
Jember, 4-02-15