Sore ini, saya berkunjung ke rumah Pak Wek. Sebutan
kami untuk memanggil seorang Kakek. Saya duduk dengannya di depan televisi
sambil buka puasa. Umurnya sudah 71 tahun. Ia lahir pada 1943, dua tahun
sebelum Indonesia merdeka.
Setelah berbuka puasa, di samping saya ada setoples
marning, camilan tradisional buatan sendiri. Sambil leyeh-leyeh saya memakan marning dengan tenang. Rasanya renyah,
sedikit membandel bila dikunyah: renyah tapi keras. Suara renyahnya bisa
terdengar jelas.
“Kriuk, kriuk,” terdengar suara serupa di samping
saya. Dengan santai Pak Wek melahap marning tanpa ada rasa was-was saat mengunyahnya.
Orang sesusia Pak Wek biasanya, bila mengunyah marning kecenderungannya
was-was. Takut mengenai gigi yang sakit, keropos, bahkan tidak mau memakannya
karena gigi gerahamnya sudah ompong.
Basa-basi dimulai. Saya tanya solah bagaimana proses
pembuatan marning. Prosesnya ternyata cukup gampang. Hanya menyiapkan jagung
yang direbus dengan enjet. Setelah
itu baru digoreng dengan bumbu. Selesai.
Bahasa daerah di Indonesia memang memiliki pembendaharaan
kata yang kaya. Enjet sebenarnya
berasal dari kapur. Dalam bahasa Indonesia sendiri, untuk menyebut enjet harus ada penjelasan lebih. Tidak
ada diksi spesifik yang memiliki makna serupa dengan enjet. Dalam bahasa Jawa, enjet
bermakna kapur yang digunakan sebagai campuran pengolahan makanan, menginang
dan obat-obatan.”
Sehingga, kapur dalam bahasa indonesia bisa bermakna
enjet dan pemutih dinding. Meski sebenarnya, enjet berbeda dengan kapur yang masih
bisa dibuat mengecat dinding atau campuran bahan cor bangunan. Enjet sudah tidak memiliki reaksi panas.
Orang Jawa menyebutnya kapur yang sudah mati.
Setelah bertanya tentang proses pembuatan marning.
Saya jadi penasaran, orang seusia Pak Wek kok
giginya masih kuat digunakan untuk mengunyah makanan sekeras marning. Sayapun
bertanya seputar kisah perawatan gigi Pak Wek.
Sejak masih muda, ia selalu rutin berkumur getah
tanaman jarak. Paling tidak satu bulan sekali. Saya pun penasaran dan ingin langsung
mencobanya. Tidak banyak basa-basi Pak Wek mengambil senter, mengantar saya ke
lokasi tanaman jarak.
Batang jarak yang paling ujung, ditekuk sampai
mengeluarkan getah. Setelah itu langsung dihisap. Rasanya sangat sepat bercampur pahit. Di dalam mulut
terasa berbusa. Itu yang digunakan untuk berkumur, dua sampai tiga menit lalu
dimuntahkan. Setelah itu, rasanya enak dimulut. Kalau tidak percaya silahkan
mencoba.
Pak Wek saya lalu melanjutkan cerita, seputar
pengalaman pengobatan tradisional. Bila ia merasa pusing, gelisah, tidak enak
badan. Ia cukup menaruh air putih yang sudah direbus ke dalam cawan. Sekitar
pukul 19.00 WIB, cawan berisi air tersebut ditaruh di halaman rumah. Atau di
manapun yang penting di luar rumah.
Menurut Anthonya Reid dalam buku, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1860
Jilid 1, masyarakat Eropa ternyata juga banyak belajar tentang medis di Asia
Tenggara. Masyarakat Asia Tenggara yang dianggap masih primitif, belum beradap,
ternyata memiliki keistimewaan dalam hal medis. Yaitu pengobatan dengan
rempah-rempah.
***
Pagi ini saya juga mendapatkan kabar, bahwa Pak Wek
mulai hari ini sudah menjadi Buyut. Selamat ya, sudah menjadi tua dengan status
struktur sosial keturunanmu. Mulai saat ini saya akan menyebutnya Buyut yang
awet muda. Buyut yang masih lahap makan marning.
Sekarang sudah pukul 05.00 WIB. Di luar
saudara-saudara saya riuh membicarakan kelahiran Cicit baru. Ternyata hari
ulang tahun keponakan saya ini sama dengan adik kandung saya Jihan, 21 Juli
2014. Dari dalam rumah Pak Wek, saya keluar untuk sekedar mencari informasi
lebih. Saudara-saudara saya sudah berkumpul di depan rumah, membicarakan
kelahiran saudara baru sambil persiapan memanen tembakau na oogst.
Kabarnya sang bayi berkelamin Laki-laki, bertubuh
gendut dan berambut lebat. Ia lahir pukul 03.00 WIB. Saya langsung berkomentar,
“Pasti gedenya jadi keren kayak saya.” Semua langsung tertawa dan mengiyakan, J.
Adik baru saya yang belum tahu siapa namanya ini kabarnya lahir dalam kondisi melumah, tidak tengkurap. Sehingga agak
susah dan lama. Tapi syukur, Ibu dan anaknya sehat dan selamat.
Cuaca di Jember semalam sangat dingin. Pagi tadi
sekitar pukul 05.30, saya ikut menjenguk Si Bayi bersama keluarga. Kabut tipis
masih terlihat mengendap di Jember selatan ini. Tepatnya di Desa Kesilir,
Kecamatan Wuluhan. Sekarang musim tembakau, saya naik sepeda motor membelah
kabut. Inilah istimewanya Jember. Setiap pagi pasti dipenuhi kabut. Barangkali
ini yang membuat Jember menjadi bagus ditanami tembakau.
![]() |
Wuluhan, Jember: Tembakau Na oogst yang masih diselimuti kabut (dok. pribadi) |
![]() |
Wuluhan, Jember: Kabut masih mengendap dalam tanaman tembakau. (dok. pribadi) |
![]() |
Jenggawah, Jember :Tembakau yang dikerodong waring (dok. pribadi) |
Sampai di rumah persalinan, saya melihat bayi
laki-laki itu. Ia sudah dibersihkan dan diberi bedak lalu diimunisasi. Saya
jadi ingat ungkapan Antony Reid yang pernah menyebut kondisi kehidupan
masyarakat Asia Tenggara yang sangat dekat dengan alam antara abad 15-17. Untuk
mendeskripsikan kejernihan sungai ia menulis, ada bayi-bayi baru lahir langsung
dimandikan di sungai. Itulah budaya masyarakat Asia Tenggara.
![]() |
Dalam ruang persalinan, Adik bayi yang baru lahir (dok. pribadi) |
Masih di kawasan Jenggawah, masuk di Desa Seruni, saya melihat sungai yang diberi tanda larangan meracun ikan dan menyetrum. Saya rasa ini sebuah kemajuan, untuk menjadikan sungai sebagai tempat khusus memancing. Dan tentunya lebih mendekatkan lagi hubungan antara manusia dengan alam, -yang dirasa semakin berjarak.
![]() |
Jenggawah, Jember : Sungai khusus memancing (dok. pribadi) |
Selain itu, Masyarakat Asia Tenggara memiliki
kebiasaan mandi tiga kali sehari, membuat badan jadi segar dan bisa meluruhkan
penyakit. Hal ini membuat orang-orang Eropa yang berkunjung menjadi kagum.
Masyarakat Eropa biasanya hanya mandi sehari sekali, itupun di dalam bak.
Besok adalah hari yang menentukan untuk bangsa ini.
Adik saya yang baru lahir ini, menyapa Indonesia dalam kondisi politik yang
sedang tegang. Menunggu hasil penghitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum.
Semoga yang menjadi presiden merupakan orang bijaksana. Tidak otoriter, sentralistik,
apalagi intoleran yang bisa memicu konflik horizontal. Adik yang belum punya
nama, kamu punya kesempatan untuk menjadi pemimpin. Semoga.
Jember, 21 Juli 2014