02 januari 2014.
Tidak terasa, umur semakin tua saja. Sekarang sudah Tahun
2014. Kebutuhan juga semakin bertambah. Kemarin pagi, Selasa 31 Desember, masih
di Tahun 2013 saya berangkat ke sawah untuk memanen jagung. Terhitung sudah
tiga bulan lebih sejak November, saya menunggu hari panen.
Perlengkapan untuk memanen sudah disiapkan Pak Lek, (Adik
Bapak saya). Jadi saya tinggal berangkat. Cukup membawa satu botol air mineral
berisi 1,5 liter untuk kebutuhan minum. Pagi itu, saya mengenakan pakaian kaos
hitam lengan pendek dan celana ¾. Topi dan kaos lengan panjang saya bawa untuk
kebutuhan kerja.
Hujan di Bulan Desember turun hampir setiap hari. Sebuah ancaman bagi petani yang
sedang memanen jagung. Apabila jagung dipanen dan tidak segera dijemur maka
akan timbul bintik-bintik hitam pada jagung. Hal itu membuat harga jagung
turun.
Kondisi jagung milik
saya sudah cukup kering di pohonnya. Sehingga saya berani untuk memanen lalu
mengendapkannya apabila harganya terlalu murah. Biasanya untuk mengantisipasi
terjadinya bintik hitam pada jagung, petani menjual jagung dalam kondisi belum
dirontokkan (masih utuh). Atau sudah dirontokkan tapi dalam kondisi basah.
Kabarnya, harga jagung saat ini di daerah saya, Desa
Wringinputih, Kecamatan Muncar, Banyuwangi mencapai 2.800 perkilo dalam kondisi
kering dan basah 1.900. Dan saya
memutuskan menjualnya dalam kondisi basah. Soalnya tidak ada yang ngurus karena
saya harus ke Jember.
Perjalanan dari rumah ke sawah membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Maklum, jalannya rusak.
Belum lagi harus melewati jembatan gantung yang terbuat dari anyaman bambu.
Cukup ngeri kalau tidak pernah. Panjang jembatannya sekitar 20 meter.
Kapan-kapan saya foto sebelum roboh.
Sampai di sawah, saya langsung ambil jarum yang terbuat dari
bambu untuk menusuk ujung kelobot jagung. Baru dapat tiga biji jagung yang saya
masukkan ke dalam timba bekas cat, saya sudah kena semprong Pak Lek. “Ojo gawe
kaos lengen cendek, gatel kabeh engko,”
omelannya tidak saya pedulikan. Ternyata benar, baru lima menit kerja
tangan mulai terasa gatal. Saya langsung ganti baju lengan panjang.
Tanaman jagung yang saya panen sekitar seperempat hektar.
Dulu sewaktu tanam menghabiskan tiga kilogram benih. Kalau tanamannya normal
bisa panen 1,5 ton. Tapi kelihatannya
tanaman saya ini kurang bagus. Ada yang buahnya besar dan kecil. Terkadang
sesuai lokasi lahannya. Biasah, tanah yang saya tanami bekas tambak. Jadi belum
normal. Masih ada kadar garamnya.
Proses Panen
Petani di desa saya menyebut panen jagung dengan sebutan mecok. Biasanya sebelum panen, petani
bekerjasama dengan peternak sapi agar tanaman jagung diplancongi (memotong ujung tanaman jagung). Petani butuh tanaman jagungnya diplancongi agar memudahkan proses panen, sedangkan peternak
membutuhkan hasil plancongan untuk
pakan sapi.
Cara panennya sederhana. Ujung kelobot jagung ditusuk dengan
jarum besi atau dari bambu lalu dikelupas. Untuk memudahkan proses pemindahan, jagung
ditaruh ke dalam timba sampai penuh lalu dimasukan kembali ke dalam karung.
Setelah itu baru diangkat ke tempat pengumpulan. Agar tidak basah, karena tanah
agak becek, tempat pengumpulan jagung dilapisi terpal.
![]() |
Belajar jadi petani |
![]() |
Pak Lek sedang memanen jagung yang sudah diplancongi |
![]() |
Mengelupas kelobot jagung |
![]() |
Melepaskan jagung dari pohon |
![]() |
Buang ke tempat sampah J |
![]() |
Jagung siap dimasukkan ke dalam karung |
![]() |
Tunggu sampai karung terisi penuh |
![]() |
Angkat jagung dalam karung menuju tempat pengumpulan |
![]() |
Tim kerja rodi |
![]() |
Tuang adonan J |
Waktu itu saya baru menyadari kalau ini hari akhir tahun.
Esok hari sudah tahun 2014. Rata-rata semua orang sibuk mempersiapkan perayaan
tahun baru. Sedangkan saya mau tidur
saja karena terlalu lelah.
Sebelum pulang, karena hari sudah sore, sekitar pukul 15.30
WIB dan awan terlihat menggumpal hitam. Pertanda hujan mau turun. Pak Lik
menutupi hasil pengumpulan jagung panen dengan terpal.
Dampak Perayaan Tahun
Baru Bagi Petani
Menjelang malam tahun baru, saya sedikit senang karena hujan
turun semalam penuh. Setidaknya saya bisa tidur nyenyak karena jarang terdengar
suara terompet di jalan: untuk menyambut pergantian tahun.
Malam itu, saya punya rencana sederhana untuk menyambut
tahun baru. Tanpa harus keluar rumah. Sebelum tidur nyenyak, saya dan Pak Lik
memanggang ayam Ibu yang tidur di pojok belakang rumah. Setelah ayam tersebut
matang, Ibu baru saya kasih tahu. Dan ternyata kami malah makan bersama. Tanpa
banyak ngomong.
Sebenarnya saya hanya ingin tidur nyenyak dan bisa bangun
dengan kondisi badan segar. Setelah itu berangkat ke sawah lagi untuk menjual
jagung. Saya tidak perlu kawatir dengan keadaan jagung yang saya inapkan di
sawah. Desa saya masih aman dari maling. Apalagi malam tahun baru, pasti
malingnya juga sedang berlibur.
Pagi itu, 1 Januari 2014, saya berangkat ke sawah dengan
semangat. Karena dompet saya akan terisi kembali. Kami bertiga (Saya dan kedua
Pak Lik) berbagi tugas. Ada yang menghubungi pedagang jagung, Ada yang
melanjutkan pekerjaan di sawah, dan saya cukup standby di lokasi.
Saya duduk di gubug sawah, menunggu kedatangan Pak Lik. Setengah
jam kemudian, dia terlihat memarkir sepeda lalu berjalan tergopoh-gopoh. Saya
hanya berfikir. Semoga saja tidak ada apa-apa. Belum sampai di gubug, masih
sekitar 50 kilometer Pak Lik sudah teriak, “pedagang jagunge sek tahun baruan.” Ia sudah mencari pedagang jagung yang
buka, tapi hasilnya nihil. Semua tahun baruan.
Pak Lik saya yang satunya sedang menyemprot pestisida ke
tanaman cabai dengan tenang. Tidak berkomentar banyak. Tidak lama kemudian
setelah ia istirahat, baru mau berbagi cerita. Ternyata ia senasib dengan saya.
Tidak menyangka kalau semua orang baik tua maupun muda di desa sedang sibuk
merayakan tahun baru, “Wingi aku jual
lombok pisan, eh tibak,e juragan lomboke persiapan tahun baruan pisan,” ungkapnya dengan tenang sambil
melinting tembakau.
Saya masih tidak percaya kalau rata-rata pedagang hasil
pertanian sedang tahun baruan. Saya ngomel ke Pak Lik agar mau mencari ulang
pedagang yang masih buka. Ia pun kembali berangkat, namun hasilnya tetap nihil.
Karena tidak ada kerjaan di sawah, saya hanya tiduran di gubug. Tidak terasa sudah zuhur. Pak Lik terlihat sedang wudu, mau melaksanakan salat. Saya memutuskan untuk pulang, sambil menggerutu. Jagung terpaksa saya inapkan kembali.
*Catatan: Semua foto diambil menggunakan kamera Handphone
Samsung GT- 3322. Resolusi 1600×1200. Dua Megapixel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar