1 Januari 2013.
Sekitar tahun 1999, saya mulai mengalami kesulitan
untuk memahami pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Sosail (IPS) di
Sekolah Dasar (SD). Setiap mendapat tugas dari guru, atau lebih akrab disebut
Pekerjaan Rumah (PR) dari pelajaran tersebut saya selalu merasa gelisah. Di
rumah hanya ada televisi, satu-satunya media hiburan.
Sepulang dari sekolah, sekitar pukul 12.00 saya melepas baju seragam
merah putih lalu berganti pakaian buat
bermain. Waktu saya masih SD, tidak ada siswa yang memiliki HP. Komunikasi
dengan teman-teman jika ingin bermain bersama, langsung datang ke rumahnya. Terkadang kami bermain sepak
bola,
kelereng, layang-layang, jika sudah bosan kami pergi ke pantai untuk mencari ikan
dan kerang, kebetulan rumah saya dekat laut. Bermain apa pun dan bersenang-senang.
Saya baru
memiliki HP saat duduk di bangku SMA pada tahun 2007. Waktu itu sudah jarang
sekali, dan bahkan nyaris tidak pernah bermain seperti waktu SD dan SMP.
Barangkali sudah mengalami perubahan
dari
anak-anak menuju dewasa. Tapi bukan berarti bermain hanya untuk anak-anak.
Mainan baru saya adalah HP, bisa interaksi dengan teman-teman tanpa harus
datang kerumah. Namun, tidak ada rasa kebersamaan yang indah seperti waktu SD. Saat SD saya sering datang ke rumah
teman satu persatu, terkadang
sudah berkumpul di suatu tempat. Rasa kebersamaan begitu erat, jika salah satu
teman tidak ada, rasanya ada yang kurang.
Setelah
pulang ke rumah dari bermain bersama teman teman, rasa gelisah mulai muncul
lagi. Terbayang angka-angka PR matematika untuk mengerjakan soal perkalian dan
pembagian. Waktu itu saya tidak tahu, apa tujuanannya belajar matematika. Ibu
guru hanya menjelaskan cara mengerjakan soal perkalian dan pembagian di buku
matematika. Ibu guru tidak menjelaskan jika mau belajar matematika dengan
sungguh-sungguh. Maka akan mudah membagi hasil bermain dengan teman-teman.
Misalnya saat berburu buah mangga, kerang atau ikan, kami bisa membagi dengan
adil.
Memasuki pukul tujuh malam, ibu dan bapak di rumah
selalu mengingatkan. “Ada PR atau tidak? Ayo segera belajar.” Jika saya bilang
iya, berarti nonton acara Maklampir
di televisi setiap pukul tujuah harus tertunda. Saya langsung masuk kamar,
tanpa mejawab. Kembali terbayang bagaimana cara mengerjakan angka-angka. Kemudian saya mengingat penjelasan
guru dan melihat ulang catatan. Jika tidak mengerjakan, saya pasti mendapat
hukuman dari guru. Saya masih ingat, Ibu Nur selalu mencubit lengan saya jika
tidak mengerjakan PR. Terkadang, jika beliau geram bukan lagi lengan tapi paha.
Saya harus mengerjakan, jika tidak ingin mendapat
hukuman. Lalu menjadi bertambah bosan berada dikelas yang itu-itu saja. Tapi
bagaimana caranya, belajar angka-angka sangat membosankan. Begitu sulit
difahami, seolah harus dihafal terlebih dahulu. Ibu guru tidak bisa membuat
saya nyaman berada dikelas dan membuat saya ingin belajar. Adanya membuat saya
tegang, takut mendapat hukuman dan memaksa diri untuk memahami. Rasanya tidak
nyaman, berbeda saat bermain bersama teman-teman di rumah. Meski di kelas juga
banyak teman.
Saya sangat senang jika hari libur datang. Hari
minggu selalu menjadi harapan saat sekolah. Harapan bisa nonton film kartun di
televisi dan bermain bersama teman-teman. Saya merasa, waktu bermain saya hanya
ditempatkan di hari minggu saja. Selainnya harus belajar, berada dikelas dan
bertemu guru. Membosankan. Saya ingin selalu bermain sambil belajar. Bukan
hanya belajar saja.
Bermain sambil belajar.
Bermain bagi saya merupakan kebutuhan agar
bergembira, bersama-sama. Belajar juga kebutuhan, untuk mencari kebenaran
tentang apa pun. Selalu belajar untuk mencari ilmu dan bermanfaat bagi saya,
keluarga, teman dan semua orang. Namun, bermain bukan halangan yang membuat
saya malas belajar. Bermain sambil belajar juga bisa dilakukan.
Kemarin sore, saya masih pergi bermain bersama
teman-teman. Berkunjung ke rumah belajar dan bermain yang bernama Tanoker. Rumah belajar dan bermain
tersebut berada di Desa Ledokombo. Saat kami masuk di gang rumahnya, ada
beberapa potongan kertas berbentuk wayang Punakawan. Sekitar sepuluh meter
berjalan di belakang rumahnya, ada ruangan yang berisi alat musik tradisional,
seperti gamelan, kentongan. Juga terdapat buku yang tertata rapi di rak. Saya
mencoba melihat buku tersebut, ada buku pelajaran SD dan komik.
Di depan ruangan tersebut terdapat egrang, untuk
permainan anak-anak. Di bagian belakang ruangan tersebut. Ada butkit yang penuh
dengan peponan, di lereng bukit tersebut ada taman bermain egrang, taman
rumput, tempat sampah dan duduk. Disini anak-anak dari Desa Ledokombo bermain.
Tak lama kemudian setelah kami lihat-lihat. Bu. Farha Ciciek datang sambil
tersenyum, dengan mengenakan baju putih, selendang batik. Kami satu persatu
bersalaman. Beliau adalah pengelola tempat bermain dan belajar anak-anak ini.
Kami duduk melingkar
di sudut taman bermain. Sambil menunggu pesanan bakso, beliau bercita.
Jumlah anak-anak yang bermain dan belajar disini tidak tentu, kadang sekitar
90. “Setelah belajar matematika atau bahasa inggris, anak-anak bermain bersama,” ujar Bu Farha
Ciciek.
Tidak ada paksaan bagi anak-anak yang ingin belajar
atau bermain. Jika hanya bermain egrang saja tidak masalah. Tapi semuanya mau
belajar. Barangkali karena hubungan antara belajar dengan bermain sangat
berkaitan. Saat bermain dan belajar di taman, di larang membuang sampah
sembarangan. Salah satunya belajar menghargai lingkungan.
Bu Farha Ciciek memberikan ruang belajar sebebas
mungkin. Tidak ada paksaan harus belajar ini dan itu. Agar belajar dan bermain
tetap merasa nyaman. Ada empat semboyan di situ, belajar, bermain, bergembira
dan berkarya. “Semua anak adalah bintang, tapi bukan bintang di semua bidang,”
ungkapnya. Misalnya saja, anak yang sukanya mennggambar saja, tidak ada paksaan
untuk belajar yang lain, barangkali ia adalah menjadi bintang seorang pelukis. Tapi
karena selalu merasa nyaman. Anak-anak tetap mau belajar semuanya.
Tapi sayangnya, sewaktu saya masih SD, tidak pernah
merasakan bermain sambil belajar yang menyenangkan seperti itu. Jika
teman-teman yang sedang duduk di bangku SD sekarang juga merasa tidak nyaman
dan bosan belajar di kelas. Ajak teman-teman untuk bermain dan belajar bersama,
bisa di sekolah waktu istirahat atau dirumah. Teman-teman juga bisa main ke
Ledokombo, bersama teman-teman atau orang tua.
Nama Tanoker
Teman-teman pasti pernah melihat kupu-kupu. Indah
kan? Warna kupu-kupu berbeda beda, ada
yang kuning, hijau, hitam putih dan lain-lain. Bagi kita, keindahan kupu-kupu
juga berbeda. Ada yang suka dengan warna putih dan yang lainnya.
Teman-teman juga bisa seindah kupu-kupu. Menjadi
indah dan bermanfaat. Kupu-kupu bermanfaat untuk pembuahan tanaman yang sudah
berbunga. Teman-teman sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan bantuan
orang lain bisa menjadi orang yang bermanfaat. Saling tolong menolong, berbakti
kepada orang tua, dan bisa mencapai cita-cita.
Tapi, menjadi seperti kupu-kupu yang indah
membutuhkan proses. Kupu-kupu berasal dari ulat yang menjadi kepompong, lalu
menjadi kupu-kupu. Nah, teman-teman sekarang masih berada di tahap proses. Agar
bisa terbang indah seperti kupu-kupu. Terbang sesuai keinginan kalian
masing-masing. Tetapi syaratnya harus belajar dengan sungguh-sungguh.Agar
belajar tidak membosankan dan tetap merasa senang seperti bermain. Jika tidak
faham, teman-teman harus bertanya, agar tidak hanya ibu dan bapak guru saja
yang berbicara di kelas. Kemudian belajar dan bermain bersama teman-teman di
rumah.
Nah, nama Tanoker
untuk tempat belajar dan bermain di Ledokombo berasal dari bahasa Madura yang artinya kepompong.
Teman-teman yang ada di Tanoker
adalah calon kupu-kupu indah dengan beragam warna. Sama seperti kalian.
* Tulisan ini untuk anak-anak
2 komentar:
ruang bebas bagi para calon kupu-kupu.. :D
Komenter pertama di Blog :)
Posting Komentar