Jumat, 16 November 2012

Sanksi Beban Moral Untuk Pelaku Korupsi



Kasus korupsi di Indonesia seolah sudah membudaya. Kasus century sejak 2009 sampai sekarang belum selesai, begitu pula kasus simulator sim. Penyelesaian Kedua kasus korupsi tersebut terkesan tidak ada ketegasan. Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) belum memiliki taring untuk memberantas tersangka korupsi, jika melihat kasus simulator sim, antara KPK dan Polri yang pernah berebut wewenang untuk menyelesaikan kasus tersebut. Keduanya bukan saling membantu, apa karena yang diduga menjadi tersangka adalah dari pihak Polri?. Masyarakat bisa menilai, seakan kasus tersebut sengaja dilindungi oleh polri.

Dalam kerangka negara demokrasi, kebebasan berpendapat, berfikir, bertindak, merupakan hak setiap warga negara. Kebebasan tersebut sudah diatur dan dibatasi oleh undang-undang negara, agar tidak ada yang dirugikan. Pemerintah membuat undang-undang tersebut untuk kepentingan umum.

ketika undang-undang untuk mencegah terjadinya kasus korupsi masih sulit membuat pelaku jera, maka perlu perubahan undang-undang. Tindak pidana korupsi selain dihukum penjara dan denda, juga harus diberi sangsi moral. Pelaku harus menyatakan permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia lewat berbagai media secara berulang. Bisa 50-100 kali, misalnya dalam kurun waktu satu minggu sekali, disesuaikan dengan bobot kasus korupsi yang dilakukan. Hal ini bertujuan bisa membuat pelaku jera dan memiliki beban moral. Jika ungkapan permohonan maaf secara pribadi masih belum sepenuh hati, dalam artian apa yang diungkapkan belum sesuai dengan akal fikir, paling tidak hal tersebut diungkapkan secara berulang agar menjadi kebenaran, juga bagi dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan Hitler ‘kebohongan yang diserukan berkali-kali akan menjadi kebenaran’.



Tidak ada komentar: