Minggu sore, saya bersama teman-teman Macapat pergi
ke Ijen, untuk sekedar berkunjung ke warung kopi. Perjalanan dimulai pukul
15.00 WIB. Cuaca mendung bercampur panas, udara terasa lembab. Sesampai di
kawasan jalan menuju Gunung Ijen, udara mendadak berubah sejuk dan dingin.
Tidak ada balutan gerah atau panas sedikitpun. Hujan dan dingin menyiksa
perjalanan sampai di Paltuding, tujuan akhir tempat kami mencari warung kopi.
![]() |
Mampir di Pos penjagaan. Doc. Irvan |
Tidak ada perlengkapan layaknya pendaki Gunung Ijen.
Kami berempat, saya, Cetar, Irvan dan Fatih hanya mengenakan celana panjang,
kaos dalam, mengenakan jaket, beralas sandal, tanpa tas dan tentunya tanpa
tenda. Selama perjalanan kami memang diguyur hujan. Mantel kelelawar menjadi
satu-satunya alasan mengapa perjalanan terus dilanjutkan. Sesampai di Sempol,
perut benar-benar terasa lapar, mata perih, dan tentunya badan sudah menggigil
kedinginan.
Selama perjalanan, hujan tentunya bukan menjadi
satu-satunya soal buat kami. Tapi dingin dan kabar tentang adanya longsor serta
banjir bandang membuat kami berpikir ulang di meja makan. Empat nasi rawon
panas satu persatu disajikan. Kabar adanya banjir tersebut datang dari seorang teman
bernama VJ Lie. Kami kebetulan bertemu di warung makan yang sama. VJ Lie bercerita,
sepedanya baru hanyut tersapu banjir bandang. Kejadiannya Sabtu sore (31/01),
saat VJ Lie bersama seorang teman sedang lewat di kawasan Curah Macan
menggunakan sepeda motor, tiba-tiba banjir bandang datang dan membuat sepedanya
hanyut. Untung saja dia melepas sepedanya dan memilih untuk menyelamatkan diri.
Kondisi sepedanya rusak parah, setelah dicari oleh warga sekitar.
Setelah bertukar cerita, kami disarankan untuk
mengunjungi rumah Pak Titus yang tinggal di Curah Macan, bila ingin menikmati
kopi tubruk arabica. Pak Titus merupakan orang yang menjemput VJ Lie di lokasi
kejadian untuk diajak kerumahnya. “Tapi kalau sudah pukul 22.00 WIB, listrik di
sana sudah mati,” ungkap VJ Lie, yang membuat kami jadi ragu berkunjung ke
rumah Pak Titus. Selain arah jalan yang belum kami ketahui. Waktu sudah
menunjukkan sekitar pukul setengah delapan malam. Mau pulang tidak mungkin
karena jauh dan sudah kedinginan. Mau ke rumah Pak Titus tidak enak karena
sudah terlalu malam. Keputusan tetap teguh, menuju Paltuding untuk mencari warung
kopi dan tempat bermalam. Meski jarak tempuh kurang lebih masih satu jam lagi.
Selama perjalanan menuju Paltuding, gerimis masih
mengguyur. Kabut tebal agak mengganggu jarak pandang kami. Belum lagi aspal
yang basah dilumuri bekas erosi membuat permukaan licin. Beberapa titik lokasi
terlihat lumpur tebal di atas jalan, bekas banjir yang sudah surut. Selain itu,
ada juga yang longsor hampir menutupi jalan. Memang harus hati-hati karena sebelah
kiri tebing dan sebelah kanan sudah jurang.
Sesampai di Paltuding, tidak terlihat ada penerangan
lampu samasekali. Hanya sorotan lampu penjaga gerbang mencoba memberi petunjuk
jalan masuk. Tidak seperti yang kami bayangkan. Setelah memarkir motor yang
sudah tanpa penjaga, kami melihat warung kopi sudah tutup. Beberapa orang yang
mau mendaki Gunung Ijen terlihat berkumpul di tendanya masing-masing.
Suasananya benar-benar sepi, gelap dan dinginnya membuat gigi bergetar.
Kami
mencoba menyisir tempat, barangkali ada tempat duduk kosong. Tidak lama
kemudian ada dua orang yang datang ke warung dengan sorot senter, terlihat
mencoba membangunkan pedagang warung. Entah apa yang dibelinya, kami memanfaatkan
momentum tersebut untuk datang dan memesan kopi panas. Setidaknya bisa
terpenuhi bisa ngopi di lereng Gunung Ijen. Meski pikiran masih bingung, di
mana harus tidur di tengah kondisi dingin dan baju setengah basah.
***
Sekitar satu jam duduk di warung kopi Paltuding,
terlihat seorang petugas sedang menghidupkan ganset. Lampu menyala, dan
terlihat muka pucat teman-teman. Bila berbicara, seperti asap putih sedang
keluar bersama nafasnya. Si Fatih, sesekali memainkan asap yang sebenarnya
adalah nafasnya sendiri dari mulutnya, “Kayak asap rokok ya,” ungkapnya sambil
tertawa kecil. Suasana sial jadi hilang sekejap.
Ada satu pesan dari pedagang warung yang belum
sempat kami tanya namanya, “Kalau duduk, ngopi di sini gak papa, pokoknya
jangan rame.” Mengingat ungkapan tersebut, kami tidak berani tertawa kencang
bila bergurau. Takut diusir, mau ke mana lagi bisa duduk dan tidur kalau tidak
di warung.
Dari kejauhan, terlihat dua orang baru saja memarkir
motor kemudian berjalan menuju warung tempat kami duduk. Mereka berbadan tegap,
memakai jaket hitam tebal, celana panjang, sarung tangan dan syal di bagian
leher. Keduanya terlihat ramah setelah memesan kopi dan duduk di samping kami.
Perkenalan, basa-basi, obrolan ringan, tertawa lepas sampai dimarahi pedagang
dan berujung keakraban, merupakan serangkaian perjalanan yang membuat kami bisa
tidur di tenda mereka. Ini bukan strategi merayu atau meminta tumpangan tidur,
tapi kami ditawari. Entah apa alasannya, mungkin kasihan.
![]() |
Dalam kepungan gigil dingin dan gelap. |
![]() |
Ngopi bersama teman baru dari Lampung. Doc, Irvan |
Masing-masing dari kami belum sempat berkenalan.
Kami hanya tahu asal dua pria yang berencana akan mendaki Gunung Ijen tersebut.
Keduanya berasal dari Lampung, namun fasih berbahasa Jawa. Katanya sudah
terlalu banyak orang-orang Jawa yang bermigrasi ke Lampung, termasuk keluarga
mereka sendiri.
Cangkrukan dilanjutkan di tempat lain, sambil
mendirikan tenda, agar tidak mengganggu pedagang warung yang sedang istirahat. Setelah
tenda didirikan, makan mie rebus bersama sambil menikmati kopi tubruk manis,
sepertinya sudah ada rasa saling percaya. Sekitar pukul 02.00 dini hari, kami
dipercaya dan dipersilahkan tidur di tendanya sambil menunggu mereka turun dari
Gunung Ijen. Belum lagi masih ditawari buat kopi dan mie sendiri bila ingin.
Sudah dapat tumpangan tidur di tenda, lengkap dengan sleeping bed, sama makanannya lagi. Tuhan maha pengasih.
Minum kopi di lereng Gunung Ijen terasa nikmat,
namun hanya sebentar. Temperatur panas kopi di gelas sangat cepat berubah
dingin. Hanya beberapa menit sudah jadi kopi dingin. Lidah tidak terasa panas,
meski menyeruput kopi yang baru disajikan. Ditambah cemilan pisang goreng. “Banana Preeet,” ungkap pedagang warung
mencoba menirukan bahasa wisatawan asing. Itulah yang kami lakukan di pagi
hari. Menikmati pagi bersama kopi dan pisang goreng di warung kopi lereng
Paltuding, setelah semalaman kedinginan tidak bisa tidur.
![]() |
Cetar terlihat kedinginan, mata lebam, sedang menikmati kopi di pagi hari. Doc, Irvan |
![]() |
Ulil dan Irvan berada di dalam tenda, menunggu teman dari Lampung turun gunung. Doc, Cetar |
Baru pukul 10.00 siang, dua orang Lampung baik hati
tersebut terlihat baru sampai di tenda. Mukanya terlihat lelah setelah naik turun
Gunung Ijen. Duduk-duduk sebentar, kami kemudian mengucapkan terimakasih, pamit
pulang dan berharap bisa bertemu lagi. Selanjutnya, tinggal memikirkan antara
melenggang pulang atau berkunjung ke rumah Pak Titus. Hanya penasaran,
bagaimana rasa kopi arabica di sana.
***
Tidak kami sangka, rumah Pak Titus benar-benar
menyenangkan. Sejuk dan ditaburi pemandangan gunung yang indah. Benar-benar
seperti lukisan. Kami duduk dan disuguhi kopi arabica. Aromanya harum dan
kental. Pak titus menunjuk ke arah gunung. “Itu yang membuat sepeda VJ Lie
terseret banjir bandang,” ungkap Pak Titus dengan dialek Madura. Terlihat dari
kejauhan, petak-petak berwarna hijau di gunung. Sebagian terlihat gundul
seperti belum ditanami. Menurut Pak Titus, itu merupakan kerjaan warga yang
membuka lahan di lereng dengan kemiringan rawan longsor, “Itu ditanami gubis,
sekarang lagi musim gubis.” Entah “warga” siapa yang dimaksud Pak Titus
tersebut.
![]() |
Kondisi Sepeda VJ, Doc. Irvan |
Menurut Pak Titus, baru tahun ini ada kejadian
longsor dan banjir bandang. Sebelumnya belum pernah. “Jadi, kalau misale hujan,
mending sampeyan berhenti. Nunggu hujannya reda,”tutur Pak Titus sebelum kami
pamit meninggalkan rumahnya.
Jember, 4-02-15