![]() |
Mbah Mi, sedang duduk santai di lincak (dok. pribadi) |
Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara, itu bunyi perjanjian negara dengan rakyat Indonesia. Seberapa jauh
peraturan tersebut berlaku ?
Siang itu, saya bertemu Mbah Mi, perempuan berusia
80an tahun. Saya mengenal Mbah Mi sejak kecil. Entah kenapa waktu itu saya jadi
penasaran, darimana asal Mbah Mi sebenarnya. Sebelum ia hidup sebatang kara
seperti saat ini.
Mbah Mi tinggal di belakang rumah saya, terpisah
dengan tegal sekitar dua ratus meter. Tetangga sebelah kanan rumahnya juga
jauh, kira-kira jaraknya sama antara rumah saya dengan Mbah Mi. Hanya dua rumah
tetangga itu yang bisa terlihat dari kediaman Mbah Mi. Ia memang tinggal
sendiri, di tengah tegalan, agak jauh dari keriuhan jalan raya dan masyarakat.
Sudah 40 tahun, Mbah Mi menghabiskan hidupnya
sendirian, di Sebuah desa bernama Wringinputih, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Sebelumnya,
ia tinggal bersama sang suami bernama Tukijan, agak jauh dari rumah saya.
Keduanya hidup sederhana dan saling menyayangi. Setiap pagi Mbah Mi pergi ke
pasar untuk menjual tompo hasil kerajinan tangan Tukijan. Rutinitas tersebut
tidak bertahan lama, setelah Tukijan meninggal, terkena penyakit. Keduanya
belum sampai dikaruniai anak.
Setelah kepergian Tukijan, ada seorang duda yang
meminang Mbah Mi. Ia bernama Sumiran. Status duda Sumiran ia peroleh setelah
hubungan dengan istrinya kandas. Mbah Mi yang sudah tidak memiliki lelaki untuk
memberi nafkah, akhirnya menerima Sumiran sebagai suami kedua.
Hubungan Mbah Mi dengan Sumiran tidak berjalan
harmonis. Setiap hari Mbah Mi nyeser
udang di kali untuk dijual dan dibelikan beras. Sedangkan Sumiran hanya nganggur di rumah. Kabarnya Sumiran juga
sempat bekerja sebagai buruh nelayan di Muncar. Tapi penghasilan Sumiran tidak
pernah diberikan kepada Mbah Mi. Cerita masa lalu Mbah Mi dengan suaminya ini
saya perolah dari Mbok Sum, (Mbah saya sendiri). Waktu itu hampir setiap hari
Mbah Mi berkunjung ke rumah Mbok Sum, menceritakan perlakuan semena-mena Sumiran.
“Setiap berkunjung kerumah, biasanya tak suruh bantu-bantu. Lalu tak kasih
uang,” ujar Mbok Sum, siang tadi.
Pernah suatu
kali, Mbah Mi merasa tertekan dengan sikap Sumiran. Bila persediaan beras
habis, Mbah Mi selalu disuruh untuk hutang beras di salah satu toko kelontong
dekat rumah. Sumiran sempat memarahi Mbah Mi saat hasil ngutang beras terlalu
sedikit. Porsi makan Sumiran memang banyak, hingga seringkali nasi yang ditanak
hanya disisakan sedikit untuk Mbah Mi.
Kehidupan sendiri Mbah Mi dimulai sejak Sumiran
memutuskan untuk merantau ke pulau Sumatra. Kepergian Sumiran bisa jadi membuat
hidup Mbah Mi tidak lagi tertekan. Apalagi Sumiran mau memberi nafkah, berupa
uang dari hasil kerjanya di Sumatra.
Sebelum pergi meninggalkan tanah Jawa, Sumiran
berjanji akan membelikan jarik
(selendang yang biasa digunakan untuk menggendong bayi atau rok). Menurut Mbah
saya, selendang merupakan jenis sandang yang cukup istimewa, terutama bagi
masyarakat Jawa.
Selama di Sumatra, Sumiran tidak pernah memberi
kabar. Apalagi uang dan selendang. Ternyata di Sumatra Sumiran kawin lagi,
menurut kawan sekerjanya yang berasal dari sini, Desa Wringinputih.
***
Saya mengenal Mbah Mi sebagai orang yang tegar dan
tekun. Pekerjaannya sejak dulu mulai dari saya masih kecil sampai sekarang,
hanya meng-gado ayam dan membuat sapu
lidi. Sebuah pekerjaan yang sederhana untuk orang lanjut usia.
Gado
ayam merupakan istilah orang Jawa untuk menyebut sistem bagi hasil. Ayam yang
dipelihara Mbah Mi mulanya milik orang atau tetangga. Setelah bertelur, menetas
dan Anak-anak ayam sudah besar, 50% dari jumlah anak merupakan milik Mbah Mi,
sisanya diberikan kepada pemilik ayam. Itulah yang disebut sistem gado atau paron
Mbah Mi bukanlah generasi melek huruf. Kisah Mbah Mi
dengan suaminya saya rasa merupakan warisan sistem patron klien di kalangan
masyarakat Jawa. Bukan hanya soal laki-laki yang cenderung dominan dalam
keluarga, melainkan wanita yang seolah menerima keadaan tersebut. Tapi saya
kira generasi kekinian lebih objektif, tidak mau terkekang oleh nilai-nilai
dogmatis.
Sejak ditinggal Sumiran, hidup Mbah Mi justru lebih
bebas. Tidak ada lagi yang menyuruh atau memarahinya. Sampai sekarang, ia masih
hidup sendiri di rumah. Menikmati masa tuanya.
Pernah suatu kali ada orang yang mengaku keluarganya
datang ke rumah Mbah Mi untuk mengajak tinggal bersama di Kalimantan. Tapi Mbah
Mi lebih memilih hidup sendiri, di rumahnya sendiri dan hidup di tengah
masyarakat yang peduli dengannya.
Soal makan, Mbah Mi seringkali diberi oleh tetangga.
Rumahnya juga hasil sumbangan masyarakat Wringinputih. Tanah yang ia tempati
sekedar meminjam dari warga desa kami. Meski begitu, ia selalu berysukur dari
hasil gado ayam dan membuat sapu
lidi.
“Ini bukan rumah dari sumbangan pemerintah. Ini
sumbangan langsung dari masyarakat sini,” ungkap Mbah Mi.
Banyuwangi, 4 Juli 2014.